Quantcast
Channel: Bahasa Melayu – IRF
Viewing all 176 articles
Browse latest View live

Pengaruh Rasionalisme Abduh Dalam Pemikiran Harun Nasution – Bahagian I

$
0
0

Ahmad Nabil Amir || 5 May 2021

 

PENGENALAN

“Orang   semacam   Harun   Nasution, “telah   memberikan bekas terhadap perkembangan keIslaman di IAIN seperti menghasilkan suatu gejala umum di mana orang berani berdiskusi secara terbuka, berani mempertanyakan pandangan atau doktrin yang sudah mapan dan tidak melihat doktrin itu sebagai taken for granted.”[1]

Kertas ini cuba melihat pengaruh yang krusial dan mendasar dari pemikiran Muhammad Abduh terhadap Harun Nasution, eksponen penting neo-Mu’tazilah, dari tulisan-tulisannya yang berpengaruh. Kekentalannya memperjuangkan faham-faham moden yang ditegakkan Abduh, banyak didasari dari kekuatan pengaruh rasional yang diketengahkan dan filsafat dan semangat rasionalisme Mu’tazilah, seperti yang diungkapkan Harun “Harapanku memang cuma satu, pemikiran Asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional Mu’tazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional.”

 

KEHIDUPAN

Dilahirkan pada hari Selasa, 23 September 1919, Harun Nasution merupakan saudara keempat dari tiga  beradik tuanya. Ayahnya, Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama’, berpengetahuan luas tentang kitab-kitab Jawi dan kitab-kitab kuning berbahasa Melayu, kemahiran yang didapatnya dari diskusi dan penelaahannya dengan ulama-ulama setempat. Abdul Jabbar kemudiannnya diangkat menjadi kadi oleh pemerintah kolonial, sebagai kepala agama (merangkap hakim agama) dan Imam Masjid Kab. Simalungun.[2]

Abdul Jabbar, meski berpandangan tradisional, merupakan sosok ulama’ yang kontroversial di zamannya. Ia mengahwini putri seorang ulama’ asal Mandailing, yang menentang adat kerana merupakan perkawinan satu marga. Akibat tentangan, beliau pergi ke Pematang Siantar. Di kota itulah Harun Nasution dilahirkan.

Semua saudara Harun, kecuali yang tertua, Moh. Ayyub, mendapat pendidikan sekular. Ayyub tidak tamat sekolah dasar. Saudaranya yang lain, Khalil cuma tamat sekolah dasar, namun dia juga belajar agama dan bahasa Inggeris. Keahliannya berbahasa asing itulah kelak menyebabkannya diterima menjadi pegawai Departemen Agama di Pematang Siantar. Kakak perempuannya, Saidah, meski dipingit sejak remaja, tidak boleh sekolah, namun dapat mempelajari pengetahuan umum lewat saudaranya. Manakala Hafsah, adik Harun, kerana tidak dipingit, hidup dalam suasana lain. Beliau sempat menuntut di Taman Siswa, namun pelajarannya terganggu, kerana pendudukan Jepun di Indonesia.[3]

Harun lebih beruntung kerana dia dapat mengenal kebudayaan Barat. Orang tuanya memasukkannya ke sekolah Belanda. Inilah yang membukanya pada pandangan hidup yang moden dan terbuka, seperti dituturkan Harun, “lingkungan keluarganya, keterbukaan orang tua dan saudaranya, telah melapangkan jalan baginya untuk mengenal pandangan Islam modern.”

Selama tujuh tahun bersekolah di HIS Pematangsiantar, beliau mendalami bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. Ibunya juga berperanan dalam membentuk sikap dan disiplinnya, seperti menyuruhnya mengerjakan pekerjaan sehari-hari di rumah, seperti mencuci pinggan mangkuk dan menyapu. Pendidikan agama diperolehnya dari sang ayah yang mengajar mengaji al-Qur’an di rumah, di sebelah petang dan selepas Maghrib.

Usai menamatkan pengajian di HIS, Harun melanjutkan pembelajarannya di MULO, namun orang tuanya menolak, kerana dia harus lanjut belajar agama. Akhirnya, Harun mengambil jalan tengah, ia bersedia melanjutkan pengajian ke sekolah agama asalkan belajar di perguruan Moderne Islamietische Kweekscool (MIK). Maka sejak 1934, ia mulai belajar di MIK, Bukit Tinggi, di mana dia diperkenalkan dengan faham Islam moden.

Setelah itu Harun melanjutkan pengajiannya ke Mekah selama satu tahun setengah dan di Fakulti Usuluddin, Universiti al-Azhar, Mesir pada 1938. Kemudian dia meneruskan ke Universitas Amerika di Kaherah di Fakulti Pendidikan, di mana dia memperoleh Sarjana Mudanya. Di Mesir dia mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (PKI) yang aktif menyebarkan berita tentang kemerdekaan Indonesia di Mesir dan dunia Arab lainnya. Pada tahun 1953 Harun pulang ke tanah air untuk bekerja di Departemen Luar Negeri. Setelah itu dia dipindahkan ke Mekah untuk menguruskan soal Haji selama setahun, kemudian ke Belgium, selama tiga tahun sebagai sekretaris Kedutaan.

Akhirnya beliau mengundurkan diri sebagai diplomat, dan memilih tetap tinggal di luar negara. Guru Besar mata kuliah Hukum Islam di McGill University ketika itu, Prof. HM. Rasjidi, mengundang Harun untuk menuntut di sana. Pada 20 September 1962, Harun memasuki Universitas McGill, di Kanada dengan sokongan pembimbingnya di al-Azhar, Prof. Abu Zahrah. Di McGill dia mengikuti kuliah dari W. Cantwel Smith, Herman Landolt, Toshihiko Izutsu, Niazi Berkes dan Ibrahim Abu Lughod. Setelah dua tahun di McGill, dia berhasil meraih ijazah Sarjana (Master of Arts) dalam pengajian Islam, dengan disertasinya “The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Ideology, the Movement for its Creation and the Theory of the Masjumi.” Menurut Karel A. Steenbrink,[4] nilai laporan Harun rata-rata B plus dan A. Nilai tertinggi diberikan Prof. Izutsu, iaitu 9.3 yang melayakkannya melanjut kuliah untuk meraih gelar Doktor. Beliau meraih gelar doktor pertama dari Indonesia pada Mei 1968 dalam pengajian Islam, dengan disertasinya tentang pengaruh kalam Mu’tazilah terhadap Muhammad Abduh (The Place of Reason in Abduhs Theology: Its Impact on his Theological System and Views). Menurut Harun “berdasar telaah atas karya-karya M. Abduh, pemikirannya tidak identik dengan Asy’ari maupun Maturidi. Berarti dia termasuk sefaham dengan Mu’tazilah.”[5]

Semasa menjawat Rektor di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Jakarta, dan kemudian Dekan sekolah pasca siswazah, Harun telah menggabungkan mata kuliah dalam pengetahuan tradisional Islam dengan model pengajian Barat moden, seperti sosiologi, antropologi, perbandingan agama dan falsafah sekular. Pencapaiannya ini sangat signifikan dalam memperkenalkan teologi rasional Islam, di mana “Nasution’s greatest contribution lies mainly in his attempts to introduce the rational theology of Mu’tazilism in a more comprehensive manner.”[6]

 

PENGARUH

Harun Nasution merupakan intelektual Islam yang terkenal dengan pendekatan rasional dan pelopor paham-paham Mu’tazilah dan prinsip serta argumen-argumen rasionalnya yang konstruktif. Meskipun ia disebut-sebut sebagai neo-Mu’tazilah, ia sendiri menyebut dirinya sebagai seorang ahlul sunnah yang rasional. Kepentingannya dalam ranah pemikiran Islam moden di Indonesia cukup signifikan dan berpengaruh justru “Harun Nasution adalah seorang tokoh yang bisa disebut sebagai lokomotif dan gerbong pembaruan Islam di Indonesia”[7]

Pengaruh Harun juga sangat kuat dalam ranah intelektual di IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dalam upaya pembaharuan yang diperkenalkannya, saat menjabat sebagai Rektornya, di mana beliau “secara berani mengajak umat Islam di Indonesia beragama secara rasional dan meninggalkan kebekuan berpikir yang telah menjadikan Islam terbelakang. Dia dengan gigih mengajak umat Islam bersikap kritis dan berijtihad secara rasional.”[8] Mengutip dari Guru Besar Hukum Islam Universiti Kaherah, Ali Hasballah, Harun berpendapat bahawa ijtihad itu sumber ketiga ajaran Islam setelah al-Qur’an dan Hadith.[9] Dalam usahanya memperbaharui aliran teologi yang pemisif dan percubaannya membawa pemikiran liberal Barat, Harun percaya bahawa “punca keterbelakangan umat Islam adalah pada dasar teologis dan justeru dapat dirungkai dengan memperkenalkan teologi baru yang dipanggil rasionalisme Islam.”[10]

Pemikirannya membawa kesan yang krusial terhadap perkembangan filsafat dan teologi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Hal ini diakui mantan Menteri Agama Munawir Sjadzali, yang menegaskan: “Kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa kehadiran beliau di dalam keluarga besar IAIN telah menghasilkan pola pikir yang maju dan menggalakkan keberanian berpendapat serta keterbukaan terhadap dunia luar.”

Keghairahannya untuk mengubah konsep dan corak pemikiran di IAIN juga sudah dibayangkan sejak di luar negara, seperti dikisahkannya: “Aku sudah siap dengan konsep. Sejak aku masih di luar negeri, aku sudah mendengar kondisi IAIN, bahwa pemikiran di IAIN sangat sempit,”[11]

Corak pemikirannya yang berpengaruh terhadap praktik dasar di IAIN ini turut disingkap oleh Mohd Shuhaimi Ishak dalam penelitiannya tentang impak rasionalisme Islam Harun Nasution ke atas sistem pendidikan di IAIN dan pengaruh teologi yang ia kerahkan dalam perkembangan intelek dan pemikiran agama di IAIN Indonesia. Tesisnya turut menelaah pengaruh Muhammad Abduh terhadap diskusi kalam Harun Nasution dan filsafat-filsafat rasional yang diajukannya.

Dalam pengantarnya kepada buku Pengembang Islam dan Budaya Moderat (2016) yang diterbitkan sehubungan seminar “Refleksi Pemikiran dan Kontribusi Harun Nasution di Indonesia” pada 21 Ogos 2015, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Dede Rosyada mencatatkan pandangannya tentang praktik dan aspirasi yang cuba dikembangkan Harun dalam struktur IAIN:

Pak Harun merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Betapa tidak, beliau adalah guru besar yang sekaligus menjabat Rektor untuk waktu yang sangat panjang sejak 1973 sampai 1984, dan banyak melakukan reformasi akademik, tidak hanya kurikulum dan pembelajaran, tetapi juga melakukan perubahan paradigma kajian keagamaan normatif menjadi empirik, dan kajian tariqah ahlu al-hadis menjadi tariqah ahlu al-ra’yi bahkan tariqah al-jam’an (aliran konvergensi yang mencoba memadukan antara dua aliran ahlu al hadis dan tariqah ahlu al-ra’yi), dengan pendekatan komprehensif mengkaji seluruh aliran dan pemikiran, dianalisis dan disimpulkan….sosok Pak Harun sangat fenomenal, dan gerakan reformasi akademiknya sangat dirasakan oleh para mahasiswanya, sehingga kemudian, para penerus beliau menyebut kampus UIN Jakarta sebagai kampus pembaharuan, yang semua mahasiswanya harus berpandangan terbuka untuk melakukan pembaharuan, tidak saja dalam pemikiran dan sikap keberagamaan, tapi juga dalam sikap sosial dan professional mereka. Sikap reformis akhirnya menjadi identitas untuk semua alumni UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta…Disadari atau tidak, itu merupakan salah satu jasa besar dari Pak Harun yang mengubah paradigma kajian keilmuan keagamaan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.”

 

Kesignifikan Harun ini turut diuraikan oleh Nurcholis Madjid, dalam konteks pemikiran kalam dan peri pentingnya ide-ide progresif yang dilontarkannya dalam pembaharuan disiplin keilmuan:

orang macam Harun telah memberikan bekas terhadap perkembangan keislaman di IAIN seperti menghasilkan suatu gejala umum dimana orang berani berdiskusi secara terbuka, berani mempertanyakan pandangan atau doktrin yang sudah mapan dan tidak melihat doktrin itu sebagai taken for granted. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan kemampuan tertentu yang yang secara teknis disebut learning capacity, yaitu kemampuan untuk belajar[12]

 

Selanjutnya Madjid mengatakan,

“Yang secara substansi bisa kita lanjutkan dan kita kembangkan dari Pak Harun ialah studi atau kajian mengenai kalam (teologi) dan filsafat. Kalam oleh para ahli Barat disebut teologi rasional, tidak seperti teologi Kristen yang dogmatis. Kalam itu sangat dialektis dan logis[13]

Menurut Madjid, “salah satu efek Harunisme adalah membuat agama menjadi fungsional, tidak hanya simbol-simbol yang sentimental dan penuh perasaan.” Harun Nasution menurutnya tidak minat pada dzauqiyat tapi aqliyyah. Kerana kalau hanya dzauq, para pengikut kultus jauh lebih mantap, lebih puas dari orang yang beragama – Karena guru-guru kultus selalu mengatakan: “ikut saya pasti masuk surga”. Madjid juga menolak sikap beberapa sarjana yang melihat bahwa pembaharuan teologis tidak akan berdampak apa-apa pada sisi sosial ekonomi masyarakat. Ini diingkarinya.[14]

 

PEMBAHARU HUKUM

Penganugerahan Bintang Mahaputra Utama kepada Harun Nasution oleh pemerintah sebagai Tokoh Pengembang Budaya Moderat sempena Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70, pada 13 Ogos 2015, kiranya mengiktiraf kepeloporannya dalam pembaruan fiqh dan tauhid dimana “ia dianggap sebagai tokoh yang telah memberikan jasa luar biasa dalam pengabdian dan pengorbanan di bidang budaya dan ilmu pengetahuan.”

Kritiknya terkait fiqh dan tauhid, sangat membangun di mana dia mengatakan bahwa “pengajaran fikih di Indonesia menjadikan Islam terkesan sebagai agama yang hanya melulu soal halal dan haram. Mengenal Islam dari sudut pandang fikih saja memberi gambaran yang pincang tentang Islam. Apalagi jika hanya didasarkan pada satu mazhab fikih saja.”[15] Tentang tauhid, ia menjelaskan bahwa “teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid, selain kurang mendalam dan filosofis pembahasannya juga biasanya sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran lain yang ada dalam teologi Islam.”[16]

Apresiasi pemerintah terhadap Harun juga dirakamkan dengan penganugerahan Bintang Budaya Parama Dharma pada 2014 sebagai penghargaan terhadap para pengembang dan pelestari kebudayaan. Dalam buku yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI cetakan 2008 berjudul “Paradigma Baru Pendidikan Islam” ditegaskan penghargaan ini: “Dia mengenalkan multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat konsisten. Pengaruh pemikirannya sangat kuat di kalangan IAIN dan STAIN seluruh Indonesia dan masih dirasakan sampai sekarang.”

Juga diungkapkan pengaruhnya dalam pendekatan program-program dasar yang konstruktif “Selama menjadi rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990-an sebagai Direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Harun mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan pasca sarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasan keIslaman yang baru.”

 

FILSAFAT RASIONAL MU‘TAZILAH

Dalam menggembleng kebangkitan mazhab rasionalisme Islam, Harun Nasution telah mempelopori perjuangan yang signifikan dalam menegakkan ideologi dan prinsip-prinsip kalam Mu’tazilah. Paham ini ditegakkan berdasar dari pemikiran dan filsafat rasionalnya. Dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Harun menulis: “berbeda dengan aliran-aliran teologi lainnya, aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiah masih ada dan inilah pada umumnya yang dianut oleh Umat Islam sekarang. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh pengikut-pengikut mazhab Abu Hanifah. Kedua aliran inilah yang disebut Ahlussunnah. Tetapi dalam pada itu faham rasional yang dibawa oleh kaum Mu’tazilah mulai timbul kembali di abad ke 20 ini terutama di kalangan kaum terpelajar Islam. Tetapi bagaimanapun, pengikut Asy’ariyah jauh lebih banyak daripada pengikut aliran-aliran lainnya.”[17]

Aspirasi Islam yang progresif yang ditinjau dari buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya ini menguatkan pandangan dan prinsip Mu’tazilah yang mendasari perbedaannya yang prinsipal dengan mazhab Asy’ariyah, di mana menurut Harun “perbedaan dasar antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah terletak pada pendapat tentang kekuatan akal. Karena Mu’tazilah amat menghargai akal dan berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada ajaran dasar dalam agama yaitu adanya Tuhan dan masalah kebaikan dan kejahatan. Setelah sampai kepada adanya Tuhan dan apa yang disebut baik serta apa yang disebut jahat akal manusia dapat pula mengetahui kewajibannya terhadap Tuhan dan kewajibannya untuk berbuat baik dan kewajiban untuk menjauhi perbuatan jahat. Wahyu dalam keempat hal ini datang untuk memperkuat pendapat akal dan untuk memberi perincian tentang apa yang telah diketahuinya itu.”

Kaum Asy’ariyah, sebaliknya, berpendapat bahwa akal tidak begitu berdaya kekuatannya. Di antara ke empat masalah di atas, akal dapat sampai hanya kepadanya adanya Tuhan. Soal kewajiban manusia terhadap Tuhan, soal baik dan buruk (jahat) dan kewajiban berbuat baik serta kewajiban menjauhi kejahatan itu tidak dapat diketahui akal manusia. Itu diketahui manusia hanya melalui wahyu yang dikirimkan Tuhan melalui para Nabi dan Rasul.”

“Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia kaum Asy’ariyah banyak bergantung kepada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariyah sebaliknya pergi terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasionil untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asy’ariyah banyak berpegang pada arti lafzi atau leterlek dari teks wahyu. Dengan lain kata kalau kaum Mu’tazilah membaca yang tersirat dalam teks, kaum Asy’ariyah membaca yang tersurat.”

Selain dari itu, faham al-Kasb yang dibawa kaum Asy’ariyah lebih dekat kepada faham Jabariah atau fatalisme kepada faham qadariah atau kebebasan manusia. Dan karena kuat mempertahankan faham kekuasaan mutlak Tuhan, faham hukum alam atau sunnatullah akhirnya tidak mendapat tempat dalam aliran Asy’ariyah”.[18]

Pemahaman epistemologinya seputar prinsip teologis Mu’tazilah yang ditinjau dari bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya ini, menzahirkan pandangan rasional yang signifikan yang dirumuskan dari idealisme dan pandangan sarwa Abduh yang progresif, di mana “ia menggugat cara beragama di Indonesia yang tampak sempit.”[19]

Dalam ikhtiarnya mengembangkan gagasan rasional yang dilontarkan Abduh seputar prinsip dan faham pembaharuan Islam, Harun telah merumuskan sistem dan falsafah penting dari fikiran-fikirannya yang konklusif, tentang paham-paham rasional Mu’tazilah, yang cuba digarap dan dikembangkan di mana “akan halnya Prof. Harun Nasution, gagasannya tentang perlunya dikembangkan teologi rasional Mu’tazilah dan pendapatnya yang menolak adanya Negara Islam, misalnya, telah memberikan landasan normatif khususnya bagi kalangan cendikiawan dan profesional Muslim untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan ini, tanpa ada kekhawatiran dituding mengkhianati agamanya.”[20]

Paham dan hujah yang ditegakkannya sempat mengilhamkan pembenturan dan kebangkitan ideologi rasional berdepan dengan mazhab tradisional dan tak terlepas dari menimbulkan keresahan dan kegelisahan umum, di mana “Tidak dipungkiri, sepak-terjang Harun memang sempat menimbulkan pergolakan di kalangan kaum Muslimin. Namun, sekali lagi, itu semata-mata dilakukannya demi kemajuan Islam. Dan Islam, menurutnya, harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan serta kemajuan zaman.”[21]

 

NOTA KAKI:

[1] Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak Harun”, dalam Aqib Suminto, ed., Refleksi Pembaharuan Islam (Jakarta: ISAF, 1989).

[2] Akhiyat, “Studi Teologi Harun Nasution” (Skripsi Sarjana, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 1996).

[3] Ibid.

[4] Karel A. Steenbrink, “Dari Kairo Hingga Kanada dan Kampung Utan (perkembangan Pemikiran Teologis Prof. Harun Nasution)” dalam Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), 152.

[5] Akhiyat, op.cit.

[6] Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A Critical Survey (Leiden: Brill, 2001), 197.

[7] Achmad Rifki, “Mahaputra bagi Harun Nasution dan Kembalinya Islam Rasional” (15 Ogos, 2015), madinaonline.id

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ishak,  Mohd.  Shuhaimi,  Islamic  Rationalism:  A  Critical  Evaluation  of  Harun  Nasution’s Thought (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2009).

[11] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 179.

[12]Aqib Suminto, 1989, op.cit., 102-3.

[13] Ibid, 104.

[14] Ibid.

[15] Achmad Rifki, 2015, op.cit.

[16] Ibid.

[17] Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1974), 41.

[18] Ibid, 42.

[19] Achmad Rifki, op.cit.

[20] Achmad Rifki, op.cit.

[21] Iswara N Raditya, “Memadukan Wahyu dan Akal: Berislam ala Harun Nasution” (15 Mei 2018), tirto.id – Humaniora.


Dr Ahmad Nabil Amir adalah sarjana kedoktoran dam bidang Usuluddin daripada Universiti Malaya. Beliau juga adalah Ketua Abduh Study Group, Islamic Renaissance Front. Esei ini diterbitkan oleh Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian KeIslaman; Jilid 8 Nomor 1 pada I Juni 2020.

 

 


MUHAMMAD ASAD ANTARA AGAMA DAN POLITIK

$
0
0

Oleh: Talal Asad | Terjemahan: Ahmad Muziru Idham || 30 May 2021

 

Pada bulan April 2011, suatu simposium antarabangsa berkenaan kehidupan dan kerja-kerja ayah saya telah diadakan di Riyadh, di bawah naungan King Faisal Center for Research and Islamic Studies dan Kedutaan Austria di Arab Saudi. Secara keseluruhannya persidangan tersebut bertajuk “Muhammad Asad – A Life for Dialogue” (Muhammad Asad – Sebuah Kehidupan Untuk Dibicarakan), tetapi saya telah diminta oleh penganjur untuk menulis sesuatu mengenai “Muhammad Asad Antara Agama dan Politik”. Malangnya, saya tidak dapat menghadiri simposium tersebut justeru saya menghantar makalah ini untuk dibaca oleh orang lain pada pertemuan tersebut. Berikut merupakan versi makalah saya yang telah diedit dan dihuraikan dengan lebih lanjut daripada apa yang telah dihantar sebelum ini.

Jadi, saya ingin mulakan dengan memperbetulkan suatu pandangan yang menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang berminat dengan kerja-kerja dan kehidupan ayah saya, iaitu pada pertukaran agamanya yang dapat dilihat sebagai sebuah jambatan yang menghubungkan antara Islam dan Barat. Beliau selalu digambarkan oleh sesetengah orang sebagai seorang intelektual Eropah yang mendatangi Islam dengan tujuan untuk membebaskan Islam itu sendiri. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak benar. Apabila beliau memeluk Islam (aslama, istilah Arab yang bermaksud “penyerahan”), beliau memasuki sebuah tradisi keagamaan yang kaya dan kompleks yang telah berkembang dengan pelbagai cara – saling bersepadanan sebagaimana juga saling berkonflik antara satu sama lain – yang telah berlanjutan berkurun-kurun lamanya. Oleh sebab itu, dalam kerja-kerja ketika hidupnya, beliau dilihat menggunakan metodologi teologis Sepanyol pada abad pertengahan iaitu Muhammad Ibn Hazm, di mana beliau seringkali dan sangat banyak mengambil tafsiran reformis Mesir kurun ke-19 iaitu Muhammad Abduh. Meskipun beliau sangat tidak bersetuju terhadap pelbagai perkara dengan teologis Syria kurun ke-14 iaitu Taqi al-Din Ahmad Ibn Taymiyyah, namun beliau berusaha seperti Ibnu Taimiyyah untuk menggabungkan antara akal (‘aql), wahyu (naql), dan kehendak (iradah) untuk membentuk sebuah visi Islam yang utuh dan istimewa. Kebetulan, pandangannya terhadap sufisme turut dipengaruhi oleh Ibn Taymiyyah, di mana baginya, ahli sufi yang berlebih-lebihan berbanding sufisme yang sepatutnya adalah sesuatu yang tercela. Hakikatnya, kebanyakan hasil-hasil kerja ayah saya sewaktu kehidupan awalnya (Islam at the Crossroad, terjemahan Sahih al-Bukhari, penerbitan berkala Arafat, dan sebagainya) tidak ditujukan kepada orang Barat, tetapi terhadap masyarakat Muslim itu sendiri. Oleh sebab itu, saya patut mengatakan bahawa beliau tidaklah mengambil berat dalam mebina jambatan antara Islam dan Barat, tetapi lebih kepada mendalami tradisi Islam secara lebih kritikal yang telah menjadi tradisinya sendiri, dan dengan menggalakkan ahli-ahli komunitinya, iaitu golongan kaum Muslimin, untuk mengambil sebuah pendekatan yang diyakininya sebagai perkara asas dalam agama ini. Autobiografinya merupakan penerbitan pertama yang beliau tujukan kepada non-Muslim (dan sudah tentu, kepada golongan Muslimin juga), iaitu sebuah karya yang beliau usahakan untuk paparkan kepada pembaca bukan sahaja tentang bagaimana beliau menjadi seorang Muslim, malahan tentang apakah yang difkirkannya suatu keindahan tentang Islam itu sendiri.

Ayah saya bukanlah seorang ahli politik melainkan seorang pemikir agama, di mana al-Qur’an dan as-Sunnah seiringin membentuk sesuatu yang dipanggilnya sebagai “perancangan paling sempurna untuk kehidupan manusia.” Dalam keterhubungan ini justeru beliau menulis tentang idea bagi sebuah negara Islam, dan juga menyediakan cadangan-cadangan bagi sebuah Perlembagaan Islam di Pakistan. Cadangan-cadangan tersebut dihuraikannya dalam bukunya yang terkenal, iaitu Principles of State and Government in Islam. Tetapi minatnya dalam subjek tersebut merundum pada tahun-tahun terakhir hayatnya apabila beliau sibuk dengan terjemahan Qur’annya. Seperti kebanyakan intelektual yang berusia panjang (beliau meninggal dunia pada umur 92 tahun), pandangan sarwanya berkembang dan membangun melalui renungan dan persekitaran yang berubah. Saya tidak dapat menjejaki perkembangannya di sini, tetapi saya cuba memikirkan tentang apa yang diperkatakan dan ditulisnya pada dua kurun selepas pemergiannya bagi menafsir dan membina semula apa yang saya percaya pada asas-asas visi Islamnya. Dalam melakukan hal yang sedemikan, saya adakala tidak bersetuju dengan apa yang ditulisnya dan adakala cuba untuk menjadikan pandangan-pandangan tersiratnya yang saya lihat sebagai bernilai itu agar menjadi lebih jelas.

Idea yang paling utama dan penting bagi wawasan ayah saya adalah berkaitan dengan keyakinannya bahawa akses kepada Islam adalah berdasarkan akal, justeru hujah adalah penting untuk menjadi seorang Muslim. Ketika saya masih kanak-kanak, beliau memberitahu saya bahawa seseorang mesti cuba untuk meyakinkan Muslim dan non-Muslim yang lain dengan menggunakan akal, bukan dengan jalan kekerasan. Hal ini merupakan apa yang al-Qur’an maksudkan dalam ayat “lā ikrāha fi-ddīn”. Dalam al-Qur’an, beliau tegaskan bahawa Tuhan sentiasa menanggapi manusia dengan membawa mereka kepada penalaran (reason). Jika anda membacanya secara berhati-hati, anda akan menyedari bahawa al-Qur’an terlibat dalam penghujahan secara berterusan melalui persoalan-persoalan yang provokatif kerana penghujahan adalah sesuatu yang diharapkan agar dihargai oleh para pendengarnya.

Adakala Dia menyeru kepada seluruh manusia (ayyuhan-nas), dan adakala Dia menyeru kepada penganut Islam secara khusus (ayyuhal-mu’minin) dengan ragam berbentuk penghujahan, di mana seruan-Nya berusaha untuk meyakinkan para pendengarnya agar bangkit kepada kehidupan yang lain. Hujah-hujah tersebut tidak bertujuan untuk menghasilkan bukti yang tidak terbantahkan, melainkan untuk mendorong para pendengar mendedahkan dirinya kepada suatu kemungkinan yang di luar kebiasaannya. Rujukan al-Qur’an terhadap penderitaan yang dialami pada kehidupan mendatang mungkin tidak membawa apa-apa makna kepada seorang non-Muslim; kerana perihal itu ditawarkan oleh al-Qur’an sebagai cara untuk menajamkan kesedaran terhadap seseorang yang telah meyakini Islam. Dan al-Qur’an merupakan petunjuk (huda) kepada sesiapa dalam kalangan manusia yang ingin mendapatkan petunjuk. Jadi, apabila pujukannya gagal, beliau bertegas bahawa Muslim mesti hidup dalam saling kebersamaan dengan penganut-penganut semua agama: lakum deenukum wa liy ad-dīn.

Dalam konteks ini, saya ingat bahawa ayah saya selalu membaca ayat-ayat berikut daripada Surah al-Baqarah, ayat 62 yang bermaksud: “Sesungguhnya, mereka yang telah mencapai keimanan [dalam writ Ilahi ini], dan juga mereka yang mengikut kepercayaan Yahudi, dan Kristian, dan Sābi-in — siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat dan mengerjakan amal salih — akan memperoleh pahala mereka di sisi Tuhan mereka, dan tidak harus ada ketakutan pada mereka, dan tidak pula harus mereka bersedih hati.” Beliau akan menunjukkan bahawa tidak dapat diketemukan ayat-ayat yang sebegini sama ada dalam Bible Yahudi ataupun dalam Injil Nasrani. Dan ayat-ayat tersebut diperkuatkan dengan hakikat bahawa berdasarkan ajaran Islam, para pengikut Yahudi dan Kristian (ahl al-kitab) adalah milik tradisi yang di mana Islam menjadi kemuncaknya. Mereka merupakan penganut agama samawi yang telah berubah oleh peredaran zaman tetapi walaubagaimanapun tetap diiktiraf mempunyai kebenaran di dalamnya. Mereka mungkin silap pada doktrinnya tetapi hakikat kelaziman tradisi menuntut agar mereka harus dihormati. Tidak seperti pandangan kesejarahan Kristian, kehadiran penganut agama-agama monoteistik terawal yang berterusan tidak dianggap oleh Islam sebagai suatu perkara buruk tetapi sebagai suatu petunjuk tentang bagaimana mudahnya untuk kekal berdegil pada sudut pandang yang silap. Beliau menyatakan bahawa, dalam “tradisi Islam yang sebenar”, tidak ada perbezaan cetek antara sahabat dan musuh dan tidak ada pembahagian binari yang mengkategorikan manusia di dunia ini kepada baik dan jahat.  Bagi ayah saya, perkara ini membawa maksud bahawa tradisi Islam tidak sekadar menyeru kepada Muslim untuk bertoleransi dengan pengikut bagi semua agama yang lain, malahan mendorong untuk mereka kesemuanya dihormati dengan saksama. Dan menghormati adalah bermaksud bersedia untuk mendengar luahan mereka tentang harapan-harapan mereka yang terpendam dan komitmen mereka. Maknanya, menghormati seseorang adalah dengan cara menerima mereka ke dalam lingkaran persaudaraan kita, meskipun ia dibataskan kepada pengikut-pengikut yang kita panggil sebagai agama samawi (ataupun Abrahamik) pada hari ini. Ayah saya mengakui bahawa terdapatnya ayat-ayat lain di dalam al-Qur’an yang kelihatannya mengecualikan Yahudi dan Kristian, tetapi beliau berpegang bahawa ayat-ayat tersebut merupakan reaksi terhadap persekitaran sejarah yang spesifik dalam sirah Nabi dan ianya merujuk kepada penonjolan sikap oleh kumpulan-kumpulan tertentu yang menyukarkan pakatan antara mereka dan komuniti Muslimin yang baru muncul. Beliau menegaskan bahawa, ayat-ayat tersebut bukannya suatu pernyataan akidah tentang kedudukan seluruh wilayah tradisi dalam perancangan sebuah skema Islami.

Kebetulan ayah saya selalu merungut bahawa orang Barat memandang Islam sebagai sebuah agama yang agresif dan tidak toleran yang menjalankan dakwahnya pada kurun-kurun mutakhir secara paksaan. Dan sudah tentulah penganutan Islam oleh non-Muslim pada kurun-kurun terawal bukanlah hasil daripada paksaan kecuali dalam kes-kes yang terpencil, tetapi perkara-perkara besar dalam hal penganutan Islam oleh non-Muslim dan hubungan mereka dengan kekuasaan masih banyak lagi belum ditelusuri dan selalu digambarkan dengan istilah-istilah yang kasar (ketakutan, kepentingan material, mengiktiraf kebenaran yang nyata). Sudah tentulah terlalu simplistik untuk beranggapan bahawa penukaran agama adalah bererti jalan keluar yang mutlak daripada satu kategori dan masuk ke dalam kategori yang lain – melainkan jika isunya adalah soal status perundangan. Namun begitu, dakwaan palsu bahawa pertukaran kepercayaan kepada agama Islam yang secara dasarnya dicapai melalui kekuasaan merupakan suatu dakwaan lazim yang kekal menjadi kebiasaan di Barat. Sebuah contoh terkini bagi tesis ini adalah penyampaian ceramah yang luar biasa pada beberapa tahun lalu di Regensburg oleh Pope Benedict, di mana beliau mendakwa bahawa Akal (Reason) merupakan paksi dalam sepanjang sejarah Kristian tetapi perkara tersebut tiada dalam sejarah Islam, justeru kerananya menjadi punca yang menyebabkan Islam sering dikaitkan dengan kekuasaan dan keganasan.

Walaubagaimanapun, bagi ayah saya, “akal” adalah paksi bukan hanya dalam cara seorang Muslim menanggani non-Muslim malahan cara untuk mereka hidup sebagai seorang individu yang beriman. Penghujahan berakal ialah paksi kepada cara yang sepatutnya ditanggapi oleh Muslim dalam menangani perbezaan antara sesama sendiri – sama ada dalam soal urusan awam mahupun kehidupan peribadi. Pada pandangannya, perbezaan besar dalam berpendapat tidak sepatutnya membawa kepada mengkafirkan Muslim yang lain. Mereka sepatutnya menghasilkan perdebatan di mana setiap pihak menghormati antara satu sama lain sekalipun tidak dapat mencapai persetujuan. Oleh sebab itu, beliau memetik hadis Nabi: ikhtilāfu ummati rahmatun (Perbezaan dalam kalangan umatku adalah rahmat). Beliau sendiri sangat tidak bersetuju dengan ramai Muslim yang lain mengenai tafsiran yang betul terhadap ajaran dan pengamalan Islam. Tetapi, beliau mengecam ketaksuban beragama (ta’assub, tashaddud) dan keekstriman beragama (ghulūww), dan beliau membenci kekejaman yang dilakukan dengan beratasnamakan keyakinan beragama, sama ada oleh perusuh, individu, mahupun kerajaan. Seseorang itu tetaplah seorang Muslim selagi mana dia mengisytiharkan dirinya sebagai seorang Muslim; keikhlasan pada kesaksiannya itu hanyalah urusan antara dirinya dengan Tuhan.

Ayah saya menganggap agama secara umumnya (dan sebagai seorang Muslim, agama Islam secara khususnya) adalah penting dalam membezakan antara perkara yang bermoral ataupun tidak bermoral, dan itulah apa yang dicari-cari olehnya dalam justifikasi bagi sebuah negara Islam. Beliau menyimpulkan perkara ini dalam tulisannya yang berikut: “Tiada negara ataupun masyarakat yang mengetahui tentang kebahagiaan sehinggalah ia benar-benar bersatu dengannya daripada dalamannya; dan tiada negara ataupun masyarakat dapat benar-benar bersatu daripada kebahagiaan dalaman sehinggalah ia mencapai sebuah darjah kesepakatan yang besar dengan menghormati apa yang benar dan apa yang salah dalam hal-ehwal kemanusiaan; dan tiada kesepakatan yang mungkin terjadi kecuali negara dan masyarakat bersetuju terhadap sebuah pertanggungjawaban moral yang terbangun daripada sebuah perundangan moral yang mutlak dan kekal. Ianya sudah jelas, bahawa agama sahaja yang boleh menghasilkan perundangan sebegitu, dan dengannnya maka asas-asas sebuah perjanjian dalam sebarang kumpulan terhadap sebuah pertanggungjawaban moral dapat mengikat seluruh ahli dalam kumpulan tersebut.” (Principles of State and Government in Islam, 1961, m/s 6, berhuruf Italik dalam naskah asalnya). Menariknya di sini adalah, penghujahan tentang keperluan kepada sebuah negara Islam tidak terletak kepada apa yang beliau seringkali sebut sebagai “kepatuhan membuta tuli terhadap masa silam”, tetapi terhadap “akal”. Namun begitu, jika penalaran adalah cara pengabsahan bagi negara Islam, maka penalaran boleh juga mempersoalkan keperluannya, yang saya cuba untuk lakukan pada hal yang selanjutnya.

Bagi ayah saya, soal perundangan dan etika di sini adalah hampir sama, khususnya bagi Muslim yang diperlukan untuk menjadi hamba yang taat kepada kehendak Tuhan. Ayah saya percaya bahawa sesebuah negara perlu dibina dengan berdasarkan asas-asas keagamaan kerana hanya sesebuah negara dapat memberikan kekuasaan kepada perundangan ketuhanan yang diperlukan untuk menjadi undang-undang – dan perundangan Tuhan (kehendak Tuhan) merupakan sumber bagi segala moral dan kebahagiaan. Tetapi di sinilah persoalan yang menggusarkan saya: Adakah munasabah bagi non-Muslim untuk hidup secara beretika dalam sebuah negara Islam? Adakah terdapat batasan untuk mempercayai mereka jika mereka tidak dikenakan kekuasaan etika oleh perundangan negara?

Seperti kebanyakan pendukung negara Islam, ayah saya kekal berpendapat bahawa sekalipun non-Muslim diberi hak untuk mendapat perlindungan lengkap, namun mereka tidak berhak menduduki posisi kepimpinan dalam sesebuah negara Islam. Beliau berpandangan bahawa hal ini bukanlah suatu diskriminasi, tetapi sebaliknya ialah sebuah pengiktirafan terhadap hakikat bahawa non-Muslim tidak sepatutnya diminta untuk “taat sepenuhnya” (seperti yang beliau katakan) terhadap negara yang mengamalkan sebuah ideologi yang berbeza daripada mereka. Dalam erti kata lain, negara berhak untuk menuntut kesetiaan penuh daripada pihak yang memerintah, dan pihak yang memerintah pula diharapkan untuk mendapat kesetiaan daripada sesiapa yang tertakluk kepada undang-undang nasional. Lantaran non-Muslim tidak dapat memenuhi dua perkara ini (iaitu keimanan terhadap Islam dan ketaatan terhadap etika negara Islam), maka perlu ada suatu pengiktirfan dalam hal ini. Jadi, apakah yang lebih munasabah dalam hal yang sedemikian ini?

Saya hendak mulakan respon saya dengan menekankan bahawa tuntutan negara bagi ketaatan dan kesatuan mutlak daripada kesemua subjeknya adalah keseluruhannya moden. Kesatuan politik bagi semua rakyat dan ketaatan tanpa syarat terhadap negara merupakan prinsip-prinsip negara bangsa sebagai perisai terhadap musuh-musuh – negara yang bermusuhan dan pengkhianat – iaitu prinsip-prinsip di mana negara-negara pra-moden tidak boleh tuntut dan tidak perlukan. Bagi penguasa pra-moden, subjek-subjek tentang ketaatan kepada kaum bangsawan, panglima-panglime perang, dan pemerintah ini adalah sesuatu yang tidak dipentingkan. Negara moden menggunakan kekuasaan untuk menuntut kesatuan disebabkan oleh asas rasional bagi negara moden ialah ketakutan terhadap musuh-musuh dalaman dan luaran. Apabila iltizam ketaatan ini tidak datang daripada penglibatan rakyat secara individual, maka negara akan memastikan ketaatan ini dipatuhi melalui kekuasaan, tanpa mengambil kira kebimbangan dan ketidaksetujuan rakyatnya. Dalam keadaan yang sedemikan, maka masyarakat politikal yang lain menjadi musuhnya yang sebenar ataupun musuh yang berpotensi, dan seperti mana-mana negara lain yang mengambil kira soal keterlangsungannya itu sebagai persoalan utama, ia akan menggunakan setiap kemampaun yang ada untuk mempertahankan dirinya sendiri.

Tidak semua perkara yang terbangun di dunia moden ini indah belaka.

Negara moden yang liberal merupakan sebuah struktur yang mengacu kepada kemanfaatan bersama sebaliknya juga boleh menjadi punca kepada berlakunya kekejaman dan penindasan. Pemerintah dan yang diperintah adalah terpisah daripada negara, di mana pemerintah datang dan pergi tetapi negara tetap kekal selamanya. Kerajaan mengambil berat tentang kesatuan negara dan mewakili rakyatnya dalam memaparkan identiti negara tersebut. Untuk menanggani rakyatnya, kerajaan tidak menggunakan pemujukan, tetapi menggunakan perundangan untuk memerintah demi “kepentingan negara”; dan negara memiliki kaedah hukuman bagi sesiapa yang tidak mentaatinya. Sudah tentu perundangan boleh ditafsirkan dengan cara yang tidak berkesudahan, namun ianya merupakan senjata kehakiman negara di mana keputusan autoritatif dijadikan sebagai keputusan akhir berdasarkan tafsiran yang diguna pakai oleh negara. Dan sudah tentu pengisytiharan bagi sebuah tafsiran tertentu diterima sebagai Hukum Perundangan yang memberikan legitimasi terhadap sesetengah bentuk keganasan. Pemonopolian keganasan oleh negara dan birokrasi pusat yang merupakan instrumen utamanya adalah demi untuk mengekalkan kekuasaan menyebabkan pemberian kuasa kepada negara jauh lebih besar daripada sebarang kekuatan yang dapat dikumpulkan sendiri oleh masyarakat. Memang benar bahawa negara sekular dan liberal melindungi hak untuk berpersatuan dan hak untuk membangkang, tetapi tiada negara (melalui kerajaannya) membenarkan apa yang “dipanggilnya” sebagai fitnah hasutan kerana ianya merupakan sebuah ancaman kepada kewujudan sakralnya.

Tidaklah mengejutkan bahawa sesetengah Muslim menganggap ketaatan penuh kepada negara (dan negara moden memang menuntut kepada ketaatan tanpa soal) adalah bertentangan dengan ketaatan mutlak yang mereka anggap hanya boleh diberikan kepada Tuhan yang Maha Esa. Seperti kebanyakan Muslim, ayah saya menganggap bahawa menyamakan Tuhan dengan penciptaan-Nya merupakan suatu kesesatan. Dan negara merupakan salah satu ciptaan daripada ciptaan makhluk-Nya. Ketaatan kepada Tuhan tidak boleh didahului oleh ketaatan mutlak terhadap sebuah ciptaan oleh makhluk-Nya. Oleh sebab itu, saya pun tidak begitu jelas kenapa ayah saya perlu menyokong hak negara Islam kepada ketaatan yang mutlak, terutamanya apabila penyaksian iman (shahadah) itu sendiri menentukan ketaatan mutlak hanyalah kepada Tuhan dan Rasul-Nya serta tidak pernah menyebut tentang ketaatan kepada pemerintah dunia ataupun organisasi duniawi.

Tidak seperti teori masyhur Carl Schmitt mengenai “kedaulatan” (sovereignty) yang menjelaskan tentang sebuah teologi politik, namun menurut tradisi salafi, negara tidak boleh diabsahkan melalui sebuah konsep sekularisasi bagi ketuhanan, berdasarkan analogi yang dinamakan Schmitt sebagai keupayaan berdaulat (sovereign’s ability) untuk menentukan pengecualian bagi perundangan dan keabsahan Tuhan dalam mencampuri peraturan alam melalui keajaiban. Dalam tradisi Islam, Tuhan tidak boleh dilahirkan sebagai seorang Bapa Suci (heavenly Patriarch) (seperti dalam tradisi awal Eropah moden mengenai hak ketuhanan bagi raja-raja), atau sebagai pengasas Perjanjian Suci (heavenly Covenant) (seperti dalam wacana politik moden terhadap sosial kontrak). Natijah daripada ketiadaan sebuah teori “kedaulatan” dalam tradisi ini menyebabkan negara moden tidak berhak menuntut ketaatan mutlak daripada subjeknya. Ramai para pendokong negara Islam pada hari ini mempertegaskan bahawa Tuhan mempunyai kedaulatan mutlak ke atasnya.  Tetapi apabila prinsip al-Qur’an sendiri menegaskan bahawa segala-galanya dalam kosmos ini adalah tertakluk kepada kedaulatan Tuhan, maka bagaimana negara yang merupakan hasil bentukan kontrak sosial mendapatkan hak keistimewaannya untuk menuntut ketaatan mutlak daripada subjeknya? Sudah tentulah hal ini berlaku adalah disebabkan oleh tiada negara boleh mendakwakan kedaulatan yang suci, lantaran tiada seorang pun jurucakap bagi sebuah negara Islam boleh melakukan hal yang sedemikian rupa. Negara mungkin diperlukan dalam dunia kita pada hari ini bagi beberapa fungsi berguna yang hanya dapat dipenuhi melalui kewujudannya, dan sekiranya kewujudannya itu dianggap sebagai adil dan berkesan, maka sokongan daripada masyarakatnya – dan daripada orang luar yang tinggal atau melawat wilayahnya – akan mendatang. Tetapi negara tidak mempunyai pangkat atau gelaran teologikal terhadap kedaulatannya dalam Islam kerana negara Islam tidak boleh berbicara sebagaimana kalam Tuhan, tidak seperti penghujahan Schmitt yang menyerukan kepada sebuah sejarah Kristian. Negara itu adalah sebuah ciptaan, bukannya Maha Pencipta.

Cadangan yang telah diberikan adalah non-Muslim tidak boleh memberi ketaatan mutlak terhadap negara Islam yang didiami oleh mereka. Saya tidaklah menghujahkan bahawa mereka boleh menghasilkan ketaatan sebegitu, namun idea tentang ketaatan mutlak dalam sebuah negara Islam itu adalah meragukan. Apa lagi yang non-Muslim tidak boleh lakukan dalam sebuah negara Islam? Ayah saya menegaskan bahawa semua rakyat bagi sebuah negara Islam, termasuk non-Muslim, mempunyai hak untuk berbeza pendapat – hak untuk mengkritik kerajaan mereka secara terbuka. Tetapi, sejauh mana rakyat non-Muslim dalam sebuah negara Islam dibolehkan mengkritik sesebuah kerajaan yang secara tegasnya bukanlah kerajaannya? Hal ini bukanlah sekadar sebuah persoalan tentang ketakutan, tetapi juga mengenai penglibatan mereka. Sebahagian daripada jawapannya ialah negara Islam bertanggungjawab untuk melindungi non-Muslim dan memberi kebebasan penuh kepada mereka untuk bersuara dan “beragama”. Tetapi tanggungjawab untuk melindungi setiap orang secara saksama tidak memerlukan untuk mereka terlibat secara saksama dalam ruang awam. Daripada itu, apabila kita mengatakan bahawa orang dewasa bertanggungjawab untuk melindungi kanak-kanak, ianya tidak bermaksud bahawa kanak-kanak tersebut mempunyai hak untuk sama-sama terlibat dalam kehidupan orang dewasa. Perlukah non-Muslim dalam sebuah negara Islam dianggap sebagai kanak-kanak untuk dilindungi? Atau perlukah mereka digalakkan untuk meninggalkan tanah air mereka menuju ke sebuah negara yang tidak mempunyai sebuah masyarakat majoriti Muslim? Perkara utamanya adalah, sekiranya negara bukan “milik mereka”, rakyat non-Muslim tidak boleh benar-benar diwakili oleh negara Islam yang didiami oleh mereka – sama seperti rakyat Israel berketurunan Palestin (sama ada Muslim atau Kristian) tidak boleh diwakili oelh negara Yahudi tersebut.

Jadi, saya dengan hormatnya tidak bersetuju dengan ayah saya terhadap perkara ini, dan untuk menyokong perbezaan pandangan saya, saya memetik sebuah hadith Nabi: ikhtilāfu  ummati rahmatun, lantaran kami sama-sama diasuh dalam tradisi Islam, sekalipun memang benar bahawa beliau adalah jauh lebih hebat sebagai seorang ilmuwan ulung.

Namun begitu, saya berpendapat bahawa seseorang boleh mengesan sesuatu dalam penghujahan ayah saya mengenai negara Islam yang saya cadangkan perlu diambil perhatian dengan sangat teliti, iaitu tentang kedudukan agama dan moral dalam kehidupan politik. Perkara ini pertamanya memerlukan kita untuk membuat suatu perbezaan antara negara dan politik, di mana negara adalah berkaitan dengan pengamalan kekuasaan dan menuntut kepada ketaatan (lantaran itu adanya undang-undang tentang pengkhianatan), dan justeru iu juga secara dasarnya hadir bersama ketakutan; iaitu ketakutan terhadap keganasan luaran dan dalaman. Hukuman yang berasaskan undang-undang dan peperangan yang sah merupakan fungsi utama bagi negara berdaulat. Konsep kenegaraan yang sebegini salah satunya masyhur dikemukakan oleh Thomas Hobbes, dan ianya berfungsi sebagai permulaan kepada penteorian mengenai negara moden dalam tradisi Barat. Pada sisi yang lain pula, politik melibatkan perdebatan, perjuangan, dan tuntutan kepada kesamarataan – kerana seseorang yang mempertikai pandangan saya ada menyatakan bahawa, dalam hal ini, dia bersetuju dengan saya. Politik mungkin –tetapi tidak seharusnya – bertumpu kepada kekuasaan negara. Hanya kedaulatan yang menjadi tuntutan untuk negara menjadi paksi dan satu-satunya makna bagi politik.

Adakah hanya kuasa dan kepentingan material yang patut diutamakan, atau bolehkah suatu ruang ditemui bagi moral dan agama dalam kehidupan awam ini? Malahan prinsip masyhur tentang ‘amr bil-ma’ruf tidak memerlukan sebuah negara, dan prinsip lā ikrāha fi-ddīn tidak bermaksud negara mempunyai hak untuk memaksakan sebarang kepercayaan ataupun perilaku terhadap seseorang Muslim melalui perundangan. Sudah tentu dalam sejarah Islam, penguasa selalu menjustifikasikan pemerintahannya melalui kebolehannya untuk mempertahankan Islam dalam negara mahupun luar negara, tetapi tidak semua apa yang diterima dalam sejarah adalah betul hanya kerana ianya adalah sejarah. Kenyataannya adalah, dalam sejarah Muslim, walaupun ‘amr bil-ma’ruf selalunya dianggap sebagai tanggungjawab negara, tidak membawa maksud yang seorang Muslim mesti menerima tanggungjawab yang sama pada hari ini jika mereka ingin kekal sebagai Muslim sejati. Prinsip moral (Ethics) mesti menjadi sebahagian daripada politik tanpa menjadikannya sebagai sebuah fungsi sesebuah negara.

Versi teori politik liberal terkini membezakan secara ketara antara ruang awam dan ruang peribadi (walaupun pada kenyataannya ia tidak berlaku), seperti mana perundangan dibezakan daripada moraliti secara jelas (sekalipun dua hal itu adalah saling berkaitan dalam realiti kehidupan). Menurut teori politik liberal, politik dilihat sebagai subjek kepada sebuah prosedur neutral yang secara moralnya dikawal selia dan dibentuk oleh negara sekular, dan agama adalah salah satu daripada lapangan pertanggungjawaban dan nilai-nilai yang diletakkan secara keperibadian. Nilai-nilai moral dan agama dikecualikan daripada negara atas alasan bahawa konflik perbezaaan yang wujud di antaranya menimbulkan kepada suatu permasalahan yang tidak akan pernah terselesaikan secara rasional malahan membawa kepada kekacauan yang tidak terkawal. Oleh sebab itu, teori liberal menetapkan nilai-nilai keagamaan dan moral kepada wilayah peribadi, di mana subjek berautonomi dijangka mengekalkan keyakinan beragama dan membuat keputusan moralnya. Tetapi saya akan sertai kritikan-kritikan tersebut yang mencabar premis bahawa sesebuah negara sekular menjamin keamanan dan premis bahawa kemasukan agama ke dalam politik menyebabkan berlakunya peperangan ataupun perusuhan sivil.

Bagi sesiapa yang enggan membenarkan negara untuk mengatur moraliti bagi sebuah populasi nasional, namun tidak bersetuju dengan prinsip liberal yang menghalang kemasukan moraliti dan agama ke dalam politik kenegaraan, di sini terdapat suatu persoalan: Bolehkah prinsip moral dan agama dibawa masuk ke dalam kehidupan awam tanpa menjadikannya sebagai subjek kepada kedaulatan, justeru ianya perlu dipilih sama ada moral dan agama perlu diletakkan bersama ataupun akan mengganggu ketenteraman negara? Saya menduga bahawa persoalan ini turut mempunyai makna tersirat yang menjadi kebimbangan ayah saya. Keasyikannya terhadap prinsip moral menjadikannya sebagai dasar utama pemikirannya mengenai negara Islam. Tetapi pada pandangan saya, apa yang beliau tinggalkan untuk dibincangkan adalah mengenai perbezaan antara politik dan negara.

Politik tidak perlu bersangkutan dengan penentuan “kepentingan negara”. Politik boleh dikaitkan dengan melindungi ruang yang berada di luar autoriti kedaulatan negara dan dipandu oleh pertanggungjawaban berprinsip yang merentasi “negara”. Dalam ruang sebegini, subjek-subjek tidak sekadar membebaskan diri daripada kawalan negara, malahan mereka boleh menentang dan mengingkarinya berdasarkan kepada prinsip moral dan agama. Prinsip ini boleh menolak desakan negara terhadap pemonopolian politik.

Agama secara sejarahnya merupakan sebuah sumber terpenting bagi perilaku berprinsip. Oleh sebab itu, ianya boleh disarankan bagi seseorang Muslim bahawa politikal Islam mungkin tidak terletak pada aspirasinya untuk mencapai kekuasaan negara dan menerapkan perundangan negara, tetapi terletak dalam amalan penghujahan awam (public argument) dan pemujukan (persuasion) itu sendiri – dalam sebuah perjuangan yang terpandu oleh iltizam mendalam yang kedua-duanya menyempit dan melebar daripada perbatasan negara bangsa. Politik dalam pengertian ini tidak bertentangan dengan posisi pendirian awal (pre-established position): politik ini adalah tentang nilai-nilai dalam proses penemuan (atau penemuan semula) dan perbentukan. Ianya memerlukan keterbukaan dan ketersediaan untuk mengambil risiko di mana negara moden tidak boleh bertoleransi.

Saya mengakhiri tulisan saya ini dengan sebuah perkara besar mengenai visi moral ayah saya dan hubungannya dengan negara dan politik yang khususnya bagi saya adalah penting.

Lebih daripada sekali beliau membaca Surah at-Takāthur kepada saya dengan perasaan yang mengujakan: “alhākumut-takāthur hatta zurtum al-maqābir….(Kamu dikuasai sifat loba untuk mendapat habuan yang lebih dan lebih lagi, sehingga kamu terhumban ke kuburmu).” Beliau menyatakan bahawa, ayat ini mengecam konsumerisme yang tidak berpenghujung dan ketamakan di mana manusia (khususnya pada zaman kita) terperangkap. Ayat ini merujuk kepada ‘ilm al-yaqīn dan berbicara mengenai latarawunna al-jahīm (nescaya, kamu benar-benar akan melihat api yang menjulang [dari neraka]!), mengingatkan kita kepada neraka dalam dunia yang sedang kita hidup sekarang, bukan semata-mata hukuman dalam kehidupan di akhirat nanti. Ayah saya membaca ayat ini dengan menyatakan bahawa, jika kita dapat melihat kebenaran dengan jelas, kita dapat menyedari aspek kejahatan yang terkumpul dalam hidup kita; iaitu kehancuran yang kita lakukan sendiri dan juga kepada orang lain. Perkara ini merupakan sebuah moral utama yang diambil berat olehnya, dan ia merujuk kepada bermulanya sesebuah politik Islam. Seorang Muslim diharapkan untuk mempercayai bahawa ketamakan adalah sebuah gaya hidup kolektif (keingingan yang tidak pernah puas dan berlebih-lebihan) dan membanggakan diri (exhibitionism) sebagai gaya individualistik (pemaparan diri yang berlebihan dan pilihan-pilihan pengguna itu telah terkeliru daripada autonomi moral itu sendiri) yang bersama-sama menggoda manusia menjadi semakin jauh daripada apa yang dipanggilnya sebagai “kesedaran bertuhan” (God-consciousness) – dan kesannya menjadi semakin jauh daripada kesedaran tentang kesan-kesan objektif pada gaya hidup kita (pemilitarian masyarakat, membangunkan jurang antara orang kaya dan miskin, kemusnahan alam semula jadi yang berterusan, perubahan iklim, dan kemusnahan nuklear).

Namun begitu, apa yang sering tidak mendapat penilaian sewajarnya adalah keadaan terpenting bagi gaya hidup kita pada hari ini bergantung kepada keadaan negara tertentu, di mana negara tidak hanya menuntut kepada ketaatan mutlak, tetapi juga mengatur dan menganjurkan konsumerisme dan individualisme. Dalam erti kata lain, negara sekular liberal menggalakkan sebuah nilai yang paradoks menurut kepada “kebebasan” dalam bentuk pasaran, dan perundangan untuk melindungi dan mengembangkannya, yang secara keseluruhnya bersesuaian dengan peningkatan langkah-langkah keselamatan yang bercorak intrusif dimana negara membataskan “kebebasan” demi untuk mempertahankannya. Sehinggakan sistem kenegaraan ini mengamalkan ekonomi neoliberal (perluasan semberono bagi prinsip-prinsip pasaran bebas, penswastaaan harta, ketidaksamarataan dalam pengagihan keuntungan, dan pengejaran keuntungan yang tidak terkawal dalam sebuah peningkatan dunia yang semakin tidak stabil), maka politik Islam perlu mencari ruang diluar daripada lingkungannya – sekalipun terpaksa menentangnya – dan bukannya dengan tujuan untuk menukarnya melalui sebuah politik “keagamaan” tertentu. Kuasa global kapitalisme mempunyai kesan yang besar terhadap pilihan-pilihan tersedia bagi apa yang kononnya dipanggil sebagai negara “berdaulat”, tanpa mengira sama ada ianya adalah sebuah negara Islam ataupun sekular. Hal ini memerlukan politik Islam untuk membentuk persekutuan dengan gerakan-gerakan bukan Islam dan tradisi yang non-Islamik yang bersesuaian di dalam kedua-dua wilayah kenegaraan dalam dan luar negara.

Perjuangan untuk keadilan manusia dan kebajikan awam adalah bertentangan dengan kepentingan utama bagi autoriti dalam soal pengumpulan material, bagi melindungi apa yang dinikmati oleh seseorang daripada ketakutan terhadap orang lain yang mungkin juga mendambakan hal sama dengan apa yang dia sedang nikmati. Ianya merupakan perjuangan politik cara aman pada jalan moral yang benar (morally right) yang merentasi ketakutan terhadap kematian. Politik pada cara sebegini tidak menerima tuntutan negara liberal untuk menjadi sekular yang neutral. Politik dalam pengertian ini adalah kesan daripada keinginan untuk mengembangkan dan mempertahankan nilai fundamental bagi sebuah perwatakan demokratis (democratic ethos) berbanding daripada kedaulatan dan kekuasaan negara liberal demokratik (liberal democratic state).

Apakah yang membezakan antara apa yang sesetengah waktu dipanggil sebagai sebuah “perwatakan demokratis” (democratic ethos) dan “demokrasi sebenar” (real democracy) seperti yang sering didengari pada hari ini? Walaupun persoalan ini tidak dapat dijawab secukupnya di sini, namun terdapat beberapa perkara yang mungkin membantu dalam menunjukkan beberapa perbezaan. Apabila kita berbicara mengenai sebuah perwatakan demokratis, kita selalu berfikir tentang keinginan untuk saling menjaga dan menghormati, iaitu kepedulian dalam memahami orang lain – mendengari suara mereka dan tidak semata-mata memberitahu mereka apa yang mereka perlu lakukan, serta kesediaan untuk mengalami kesusahan demi orang lain. Dalam perwatakan demokratis, individu disemai dengan rasa keterbatasan, kelemahan, dan, kemusnahan. Gambaran kesakitan dan kehancuran orang lain mengundang kepedulian. Dan ianya mengambil kesakitan seseorang itu sendiri bukan semata-mata sebagai tanda kesukaran hidupnya, tetapi juga sebagai cara hidup yang positif tanpa memuliakan penderitaan. Pada sisi yang lain, apabila kita merujuk kepada sebuah negara liberal demokratik, kita memandangnya sebagai pelindung kebenaran dan bertumpu kepada identiti yang bersifat kolektif. Kita menyedari tentang kekuasaan bagi sesebuah kesatuan, kebebasan yang sah bagi semua rakyat, dan kepedulian negara terhadap soal keselamatan. Kita mengakui bahawa negara ialah sebuah struktur yang terpisah daripada pemerintah dan negara, dengan hak untuk menghukum pelanggar undang-undang negara, dan berperang dalam mempertahankan kepentingan nasional. Dalam sebuah demokrasi perwakilan, individu merupakan objek yang terlindung daripada keganasan manusia dan alam semulajadi, dan pemonopolian keganasan atas nama kedaulatan merupakan cara untuk mecapai tujuan tersebut. Negara bangsa menanggapi ketakutan semua masyarakat dengan menawarkan kepada mereka keselamatan, dan pada masa yang sama menawarkan sejenis keabadian (immortality) melalui pengorbanan diri bagi “kebaikan tertinggi negara”. Di sini, pengorbanan diri adalah sebuah tuntutan negara dalam memaparkan bahawa negara sebagai perwakilan tertinggi bagi semua rakyat, bukannya melalui tindakan bermoral yang dilakukan oleh seseorang individu demi orang lain. Saya ulang: Sudah tentu ianya bukan satu-satunya perkara yang dilakukan oleh negara moden; negara moden juga membenarkan undang-undang dan perintah serta penawaran kebajikan (selalunya undang-undang dan perintah itu lebih banyak daripada pemberian kebajikan). Tetapi ia hanyalah perjuangan tidak bersenjata sebagai sebuah tindakan bermoral/beragama (jihad), sebuah perjuangan yang tidak takut kepada kematian (namun dalam masa yang sama bukanlah perjuangan untuk kematian), yang membolehkan kelangsungan untuk sebuah kepedulian bagi peningkatan taraf hidup, dan membolehkannya untuk menghadapi bencana global kontemporari.

Politik dalam maksud ini tidak boleh dilihat sebagai sebuah perkara yang bersifat prosedur, bagi menuju kepada “keadilan sebagai kesamarataan”, seperti yang diletakkan oleh ahli teori liberal terkenal, iaitu John Rawls. Pada pandangan saya, tujuan akhir yang ingin dicapai oleh sebuah politik Islam adalah bergantung pada menjemput teman berbicara (dalam cubaan untuk mempengaruhi mereka) untuk mengubah cara hidup individu dan kolektif mereka kepada sebuah hala tuju moral yang lebih baik. Pengaruhan politik memerlukan kepekaaan tertentu bagi pendengar dan merujuk kepada perwatakan yang jelas bagi orang yang berusaha untuk mempengaruhi, serta hakikat bagi apa yang sebenarnya telah diperkatakan, dilakukan, dan ditunjukkan. Kepekaan dan kualiti perwatakan adalah perkara yang ingin dipupuk secara bersama-sama oleh politik Islam dengan caranya tersendiri yang berbeza. Ia bukanlah “politik” dalam pendefinisian yang jumud dan kaku. Ia juga tidak berkaitan dengan cubaan untuk merumuskan polisi-polisi kenegaraan yang negara akan laksanakan sebagai perundangan terhadap populasi kebangsaan. Ianya tidak sekadar terhad kepada perdebatan mulut yang formal. Politik gaya ini termasuklah pembinaan hubungan sivil dan silaturrahim dengan non-Muslim dan Muslim, termasuklah kesediaan untuk berhujah dan kebolehan untuk mendengar serta mengubah paradigma seseorang sebagai natijahnya. Politik ini ditujukan kepada orang awam yang Muslim dan non-Muslim, dan ia menjemput kedua-dua pihak untuk mengubah diri mereka daripada satu posisi (ataupun ragam hidup) kepada posisi yang lain.

Perkara pertama yang terkesan adalah bagaimana perbezaan wilayah kepolitikan yang datang daripada Carl Schmitt ini mempengaruhi pendefinisian dalam bentuk binari “kawan/musuh”, di mana pendefinisian tersebut merupakan sebuah pendefinisian yang dikaitkan dengan konsep negara berdaulat. Tampaknya bagi saya jelas bahawa pengertian politik Islam perlu menjauhkan diri dari projek sebuah negara Islam yang pada hakikatnya tidak berbeza dari mana-mana negara moden. Saya percaya bahawa hal ini juga merupakan pandangan tersirat dalam kerja-kerja dan kehidupan ayah saya. Dengan sebab itu, bahagian ini merupakan bahagian yang sangat penting bagi legasinya. Sudah tentu perkara tersebut adalah lebih penting daripada idea “dialog antara Islam dan Barat” yang telah menjadi suatu gaya popular pada masa ini. Sesuatu yang kononnya dipanggil sebagai “dialog peradaban” seolah-olah didasarkan kepada dua premis, iaitu: (a) Muslim perlu cuba meyakinkan orang Eropah dan Amerika Utara bahawa Islam bukanlah punca kepada keganasan; dan pada masa yang sama, (b) Orang Barat perlu membantu kepada reformasi Islam. Hal tersebut merupakan suatu perkara yang merendahkan maruah (condescending). Sudah tentu Muslim perlu membuka minda mereka terhadap masyarakat dan tradisi yang lain, dan belajar daripada mereka secara kritikal; sama seperti harapan bahawa orang Barat akan belajar daripada pemikiran dan pengalaman Islam secara kritikal (sekalipun ramai daripada mereka tidak mahu melakukannya). Untuk reformasi, perlu dimaklumi bahawa sejarah reformasi Islam adalah hampir lama seperti agama itu sendiri. Sudah tentu reformasi Islam pada hari ini perlu pada keaslian daripada tradisinya. Tapi pada pandangan saya, keberkesanan reformasi sebahagiannya bergantung kepada reformasi yang berlaku serentak dengan di Barat. Kita semua, pada hakikatnya, hidup dalam sebuah dunia yang saling berhubungan antara satu sama lain.

 

*Artikel asal boleh dibaca di sini [Klik].


Professor Talal Asad merupakan anak kepada cendikiawan Muhammad Asad, pengarang The Message of the Qur’an, tafsir al-Qur’an yang terbaik di dalam Bahasa Inggeris. Beliau ialah Profesor Ulung di City University of New York Graduate Center. Beliau merupakan seorang pakar antropologi sosiobudaya yang mengkhususkan diri dalam antropologi agama, dan bidang kajian beliau ialah tentang agama dan sekularisme, tradisi Islam, dan teori politik khususnya Timur Tengah dan Islam. Beliau memperoleh M.A. di Universiti Edinburgh dan B.Litt. dan D.Phil. di Oxford. Sebelum datang ke Amerika Syarikat untuk mengajar di New School, beliau mengajar di Oxford dan universiti di Khartoum, Sudan, dan Hull, England. Antara buku yang ditulis oleh beliau ialah On Suicide Bombing (The Wellek Library Lectures) (2007); Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity (Cultural Memory in the Present) (2003); dan Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam (1993). Hasil kerja beliau telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa.

 

Islam dan Kebebasan Agama Berinstitusi

$
0
0

Ahmet T Kuru || 30 July 2021
Terjemahan: Hamdan Mohd Razali

 

Ini merupakan artikel kedua dari siri-siri Cornerstone Forum yang diterbitkan di bawah projek Kebebasan Insititusi-Institusi Agama dalam Masyarakat (Freedom of Religious Institutions in Society – FORIS) dari RFO. FORIS merupakan satu inisiatif selama tempoh tiga tahun dan dibiayai oleh John Templeton Foundation untuk memberi kefahaman terhadap makna dan skop kebebasan agama berinstitusi, menilai secara global perkembangannya dan meneroka kenapa ia penting untuk diberi perhatian oleh masyarakat. Penerbitan bersiri ini berhasrat untuk menjelaskan isu-isu dalam set pertama (iaitu berkaitan dengan maksud dan skop kebebasan agama berinstitusi).

 

Pada bulan Julai 2019, Pew Research Centre telah menerbitkan satu laporan berkenaan dengan kekangan dan sekatan beragama di seluruh dunia. Walaupun hanya satu perempat kajian kes yang dilakukan melibatkan negara-negara yang majoritinya umat Islam, namun lebih tiga perempat daripada keseluruhan kajian kes tersebut menunjukkan wujudnya ‘dasar dan undang-undang yang sangat ketat berkaitan dengan kebebasan beragama’.

Di dunia Islam, lebih-lebih lagi yang mempunyai undang-undang dan sekatan peringkat atasan yang digunakan pemerintah terhadap kebebasan beragama ia secara langsung dikaitkan dengan pelbagai permasalahan politik termasuklah kekangan dan sekatan terhadap kebebasan bersuara, media dan berkumpul.

Oleh itu, bagi yang ingin melaksanakan pendemokrasian di dunia Islam, mereka harus melakukan kajian terperinci berkenaan kekangan dan sekatan terhadap kebebasan beragama walaupun dengan andaian dan anggapan bahawa agama itu merupakan satu desakan dan kuasa yang berbentuk reaksioner. Selain itu, langkah penting seterusnya adalah untuk menjawab soalan: apakah yang menyebabkan tingginya tahap kekangan terhadap kebebasan beragama yang menimpa dunia Islam?

Kebebasan beragama seharusnya difahami dari dua dimensi iaitu individu dan institusi di mana yang pertama menjaga kebebasan individu-individu dalam setiap amalan berdasarkan kepercayaan agama masing-masing. Manakala yang kedua, iaitu institusi berperanan menjaga kebebasan organisasi dan kumpulan agama untuk berfungsi dalam masyarakat selari dengan kepercayaan mereka. Pemahaman asas yang bersifat individualistik terhadap demokrasi liberal mungkin beranggapan bahawa kebebasan beragama akan lebih selamat dan selesa tanpa institusi yang mengawal kebebasan beragama. Namun realitinya, kedua-duanya adalah saling bergantung.

Artikel ini seterusnya akan menjelaskan bagaimana dalam dunia Muslim, sejarah kekangan dan pembatasan terhadap kebebasan beragama berinstitusi telah menyebabkan sekatan terhadap kedua-dua dimensi dalam kebebasan beragama.

Adakah Islam Menolak Pemisahan Agama dan Pemerintahan?

Kebebasan beragama bagi individu dan institusi memerlukan satu tahap pengasingan antara agama dan pemerintahan. Sekiranya pemerintah telah menetapkan sesebuah agama bagi negara tersebut maka tidak dapat dielak dari segi perundangan dan kewangan akan membawa kepada diskriminasi terhadap mereka yang tidak sealiran dari segi agamanya. Selain itu, dengan kewujudan hal sedemikian, ia juga akan menyebabkan berlakunya tekanan terhadap mereka yang seagama tetapi mempunyai perbezaan fahaman dan aliran dari apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Kebanyakan pemerhati mendakwa bahawa Islam secara asasnya menolak pemisahan antara agama dan pemerintahan. Sekiranya ini benar, adalah mustahil untuk mengamalkan kebebasan beragama sepenuhnya di dunia Islam. Saya tidak bersetuju dengan pandangan ini. Buku terbaru saya, Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment menjelaskan bagaimana pada awal sejarah Islam (dari abad ke tujuh sehingga ke pertengahan abad ke sebelas) kebanyakan ulama Islam berada dalam keadaan berlakunya pengasingan dengan pihak berkuasa negara dan mereka dibiayai oleh para pedagang.

Sehingga pertengahan abad ke 11, ulama Islam terkemuka, termasuklah pengasas empat mazhab utama dalam Islam, menolak untuk berkhidmat dengan pemerintah sehingga mereka diseksa. Disebabkan pandangan mereka yang bercanggah dengan pemerintah, Abu Hanifah telah dibunuh di dalam penjara, Malik dirotan, Shafii ditahan dan dirantai dan Ibn Hanbal telah dipukul di dalam penjara. Kisah yang berlaku kepada tokoh mazhab Sunni yang paling awal iaitu Abu Hanifah merupakan satu contoh yang jelas. Beliau yang merupakan seorang pedagang sutera telah menolak tawaran menjadi sebahagian daripada pihak pemerintah. Abu Hanifah menolak tawaran yang datang secara peribadi daripada Khalifah Abbasiyyah sebagai hakim dengan alasan bahawa beliau tidak layak untuk jawatan tersebut. Ini menjadikan Khalifah marah dan menuduh beliau sebagai seorang penipu. Lantas, Abu Hanifa menjawab bahawa seorang penipu tidak boleh menjadi seorang hakim. Akhirnya Khalifah telah mengambil tindakan dan memenjarakan beliau dan kemudiannya telah meracuninya sehingga meninggal dunia.

Perjuangan dan pendirian menentang kawalan pemerintah terhadap agama telah membawa kepada tokoh-tokoh utama ulama dari Sunni dan Shiah sebagai asas dan panduan kepada para ulama beberapa abad kemudiannya dari sudut kepentingan untuk meletakkan tahap autonomi yang signifikan bila berhadapan dengan autoriti politik. Berdasarkan analisa, daripada 3900 ulama Islam yang hidup di antara abad ke lapan dan pertengahan abad ke sebelas, hanya sebilangan kecil sahaja (8.5%) yang berkhidmat secara rasmi dengan pemerintah.

Walau bagaimanapun, satu transformasi telah berlaku pada abad ke sebelas disebabkan perubahan suasana politik pada masa itu. Dua pemerintah Abbasiyyah berturut-turut di Baghdad yang semakin lemah kuasa politik mereka disebabkan oleh kebangkitan tentera Shiah di beberapa bahagian dunia Islam telah berusaha ke arah penyatuan Sunni. Mereka telah mengisytiharkan apa yang digelar sebagai Aqidah Sunni, manakala beberapa kelompok Shii, rasionalis agama (Mu’tazilah) dan ahli-ahli falsafah diisytihar sebagai golongan murtad. Hukuman mati adalah bagi mereka yang murtad.

Seruan ke arah pembentukan kelompok Sunni ortodoks telah mendapat sambutan yang baik pada pertengahan abad ke sebelas dengan munculnya gerakan ketenteraan di bawah empayar Seljuk. Seljuk telah berjaya mengalahkan angkatan tentera Shiah dan membuat pemusatan sistem ekonomi serta diletakkan dibawah kawalan ketenteraan. Kemudiannya mereka telah menubuhkan beberapa madrasah serta membawa masuk para ulama berkhidmat dengan pemerintah. Model Seljuk ini yang menyatukan pemerintah dan ulama telah menjadi tonggak utama empayar-empayar Muslim selepas itu termasuklah Mamluk dan Uthmaniyyah. Hubungan antara ulama dan pemerintah ini telah meminggirkan golongan pedagang, ahli falsafah dan ulama yang tidak sependapat dengan pemerintah. Pada sebahagian besar dunia Islam pada masa tersebut, penyekutuan ulama-pemerintah ini telah mengukuhkan Islam ortodoks dan menyekat kebebasan beragama bagi individu dan institusi.

Maknanya di sini, Islam sebenarnya secara dasar tidak menolak pengasingan antara pihak berkuasa agama dan pihak pemerintah. Berdasarkan sejarah, pada tempoh tertentu, terdapat pemisahan antara ulama dan pemimpin politik sehinggalah kemudiannya berlaku penyatuan antara kedua-duanya.

Madrasah sebagai Institusi Asasi

Institusi penting yang membentuk jalinan hubungan berterusan antara ulama dan pemerintah adalah melalui jaringan madrasah-madrasah. Perdana Menteri Seljuk Nizam al-Mulk (1064-92) telah menjadi penanung kepada sebuah madrasah di Baghdad yang mana kemudiannya menjadi pemula dan asas kepada jaringan tersebut. Oleh itu, institusi-institusi madrasah ini kemudiannya diberi nama Madarasah Nizamiyyah sempena peranan beliau tersebut. Madrasah-madrasah ini dibiayai dengan dana wakaf, namun begitu, ia masih tidak boleh dikategorikan sebagai institusi persendirian atau swasta kerana ia tidak bebas daripada pengaruh pemerintah. Hal ini kerana apa yang berlaku adalah disebabkan pemimpin politik dan pegawai pemerintah menjadi pengasas kepada dana-dana wakaf madrasah tersebut.

Madrasah-madrasah ini telah menyebarkan ajaran Sunni ortodoks dengan menghapuskan  sebanyak mungkin tulisan-tulisan dari ulama-ulama Shiah, para pemikir rasionalis agama daripada kaum Mu’tazilah dan para ahli falsafah daripada kurikulum pembelajaran. Melalui madrasah-madrasah inilah para ulama yang bersekongkol dengan pemerintah telah menghapuskan pesaing mereka sehinggalah ke hari ini.

Sekularisme Asertif sebagai Penyelesaian?

Dari abad ke-19 sehingga ke hari ini, beberapa tokoh reformis Muslim telah menuding jari terhadap madrasah-madrasah dan para ulama sebagai penghalang kepada kemajuan dan pembebasan pemikiran di negara-negera mereka. Idea-idea para reformis ini mula membuahkan hasil apabila tertegaknya Republik Turki pada tahun 1923. Mengikut jejak pemimpin Turki Mustafa Kemal Atarturk, pemimpin-pemimpin sekular di negara-negara majoriti Muslim yang lain termasuk Reza Shah di Iran dan Gamel Abdel Nasser di Mesir telah melaksanakan projek pemodenan secara besar-besaran dan mengenepikan peranan ulama dalam ruang awam.

Semenjak Revolusi Iran pada tahun 1979, proses Islamisasi politik dan perundangan telah berlaku ke seluruh dunia Islam. Namun, legasi para sekularis ini masih kelihatan di beberapa negara. Buat masa sekarang, 22 daripada 49 negara majoriti Muslim mempunyai pemerintahan yang perlembagaannya sekular. Walau bagaimanapun, kebanyakan negara ini masih mempunyai sekatan dari segi kebebasan beragama.

Hampir semua negara-negara ini mengamalkan – seperti yang dinyatakan dalam buku saya sebelum ini – sekularisme asertif. Menurut sekularisme asertif ini, pemerintah memainkan peranan yang asertif dan tegas dalam memastikan agama dikesampingkan dalam ruang awam. Ia adalah sangat berbeza dengan sekularisme pasif yang mana memerlukan pemerintah untuk membenarkan agama bergerak bebas dalam ruang awam. Di negara-negara seperti Perancis dan Mexico yang mengamalkan sekularisme asertif secara dominan, pemerintah menetapkan sekularisme sebagai doktrin rasmi negara. Hal ini berbeza dengan beberapa kes yang mengamalkan sekularisme pasif secara menyeluruh seperti Amerika Syarikat dan Belanda yang mana pemerintahnya perlu bersikap bebas dan neutral dalam pertembungan antara ajaran atau doktrin sekular dan agama.

Semenjak beberapa dekad, rejim sekularisme asertif dari Turki sehinggalah ke Tunisia telah melanggar kebebasan beragama rakyat mereka dengan dasar-dasar seperti pengharaman pemakaian tudung kepala. Oleh itu, sekularisme asertif ini telah membentuk suasana tegang antara para pemerintah dengan kelompok Muslim yang taat.

Kerangka Moden Hubungan Ulama-Pemerintah

Bagi mengurangkan ketegangan, kebanyakan pemimpin-pemimpin sekular telah merangka semula bentuk hubungan ulama dan pemerintah dalam pelbagai jenis. Tindakan ini telah menunjukkan bagaimana rejim sekular cuba untuk mengabsahkan kuasa mereka dalam perihal beragama seperti yang berlaku di Turki di mana kerajaan menguasai semua masjid melalui agensi yang ditubuhkan iaitu Jabatan Pengurusan Agama (Directorate of Religious Affairs) dan di Mesir pula kerajaan mengawal dan menguasai Al-Azhar iaitu sebuah institusi pengajian terkemuka bagi golongan Sunni.

Sejak empat dekad yang lalu, proses Islamisasi ke seluruh dunia Islam khususnya negara-negara terkemuka seperti Turki, Mesir, Iran dan Pakistan telah memperkasakan lagi kerangka moden hubungan ulama dan pemerintah ini dan dengan itu, kebebasan beragama bagi individu dan institusi telah terkongkong.  Sebagai sebahagian daripada badan pentadbiran dan pemerintahan telah menjadikan para ulama bergantung dari segi kewangan dan politik dengan pihak kerajaan dan ini menjadikan mereka tidak mampu untuk menegur dan mengkritik pihak berkuasa yang melanggar prinsip-prinsip etika yang sepatutnya menjadi tanggungjawab mereka untuk mempertahankannya. Hasilnya, para ulama ini telah menampakkan kelemahan mereka dari segi moralnya untuk menjadi pengimbang kepada kuasa pemerintah apabila diperlukan.

Pertalian ulama dan pemerintah telah menghalang gerakan dan pertubuhan Islam  yang lain untuk menikmati kebebasan beragama berinstitusi. Natijahnya, kelompok ini menjadi obses dengan idea untuk mendapatkan kuasa pemerintahan sama ada untuk lebih berpengaruh atau hanya sekadar ingin bebas dari tekanan pemerintah berdasarkan kedudukan semasa masing-masing. Selain itu, memandangkan hubungan ulama dan pemerintah ini telah meletakkan tafsiran Islam secara politik dan berpusat, mereka telah melanggar kebebasan beragama bagi rakyat yang bukan Islam dan juga masyarakat Islam yang tidak sealiran dengan tafsiran tersebut.

Masa Depan Kebebasan Agama Berinstitusi di Dunia Islam

Adakah artikel ini menganjurkan ke arah pandangan yang pesimis terhadap masa depan kebebasan beragama di negara-negara yang majoritinya Muslim? Tidak begitu: dengan menyatakan bahawa Islam bukan agama bersifat monistik dan bagaimana sejarah awal Islam yang memaparkan contoh berkenaan dengan pemisahan agama dan pemerintahan, secara faktanya tulisan ini telah menganjurkan sesuatu yang optimis.

Penyekutuan dan hubungan antara ulama dan pemerintah telah menjadi satu permasalahan kepada aktor-aktor bukan Islam, gerakan dan kumpulan Islam yang berlainan fahaman malah kepada para ulama itu sendiri. Namun, ia juga bukan satu penyelesaian dengan hanya menukar corak hubungan ini kepada rejim sekular asertif. Apabila kita melihat kes-kes di negara majoriti Muslim di Afrika Barat yang mengamalkan kebebasan beragama, didapati di sana tidak ada penyekutuan di antara ulama dan pemerintah ataupun rejim-rejim sekular asertif.

Satu aspek penting bagi mencapai kebebasan beragama di dunia Islam adalah dengan memisahkan autoriti agama dan autoriti pemerintahan kepada dua entiti yang berbeza. Dengan berbuat demikian, kedua-dua ulama dan kelompok agama yang berlainan fahaman dan pegangan dapat menikmati kebebasan agama berinstitusi. Hal ini juga akan menjadikan kebebasan beragama bagi rakyat keseluruhan sama ada individu Muslim dan bukan Muslim bertambah baik.


Dr Ahmet T. Kuru merupakan Professor Sains Politik di  San Diego State University dan penulis buku Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison (Cambridge University Press, 2019).

Dr Hamdan Mohd Razali adalah Felo Penyelidik di Islamic Renaissance Front dan seorang sarjana PhD dalam bidang Sains Politik daripada Universiti Sains Malaysia.

Dr Burhanuddin al-Helmy dan PAS – Bahagian I

$
0
0

Ahmad Nabil Amir || 21 Ogos 2021

 

Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia” Presiden Soekarno

Dalam sejarah politik dan struktur pemerintahan di Malaysia, Parti Islam se-Malaysia PAS memainkan peranan yang cukup penting dalam menentukan corak dan landas perjuangan politik di Tanah Melayu sejak ditubuhkan pada 4 April 1956. Antara gagasan terpenting PAS yang dicerakinkan dalam perlembagaannya (pindaan 2001) adalah “memperjuangkan wujudnya di dalam negara ini sebuah masyarakat dan pemerintahan yang terlaksana di dalamnya nilai-nilai hidup Islam dan hukum-hukumnya menuju keredhaan Allah” dan “mempertahankan kesucian Islam serta kemerdekaan dan kedaulatan negara”

Dan cita-cita ini jelas terungkap dalam pemasyhurannya: “Bahawa dengan sesungguhnya adalah diisytiharkan, demi untuk menyempurnakan taqwa kepada Allah dan kebaktian kepada sesama manusia, yang dijadikan bagi menegakkan al-amru bil ma‘ruf wan nahyu ‘anil munkar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka inilah diisytiharkan sebuah pertubuhan yang dinamakan Parti Islam Se-Malaysia.”

Dalam bukunya Islam Embedded yang menganalisis sejarah perkembangan PAS sejak tahun 1951-2003, Dr Farish Noor menzahirkan pandangannya tentang PAS sebagai: “the most remarkable political party in the history of Malaysia”. Kebangkitan PAS antara tahun 1999-2003 telah meletakkannya ke posisi yang penting dalam arus politik tanah air: “the Pan-Malaysian Islamic Party (PAS) had become the biggest and most important opposition party in Malaysia”.

Dr Mujahid Yusof Rawa dalam bukunya Menuju PAS Baru berhujah bahawa perjuangan membina kekuatan parti harus diperkukuh dengan wacana baru yang dapat merumuskan pandangan politik Islam yang syumul dan dinamis.

Dr Siddiq Fadzil, dalam ucapannya yang noltalgik “Memahami Garis-Garis Besar Haluan Perjuangan” merumuskan bahawa perjuangan “Islam mempunyai misi tahriri-tanwiri (pembebasan dan pencerahan) yang bertujuan mengangkat harkat dan darjat manusia.”

Antara tiga garis besar yang membentuk fikrah dasar perjuangan PAS adalah menzahirkan cita-cita murni melaksanakan tuntutan syari’at, menyalakan obor nahdah, dan menegakkan syiar agama dan iltizam perjuangan ini terus dibakar dan dinyalakan dalam perjuangan menuntut pembaharuan dan reformasi Islam. Pemimpin ulung yang telah berjasa membangun dan memperkasai perjuangan ini sejak mula tak lain adalah Dr Burhanuddin al-Helmy yang memimpin perjuangan daripada tahun 1956-1969, sang doktor yang telah menebus dan mewakafkan hidupnya untuk satu perjuangan yang tak dapat dikompromi dan ditawar-tawar oleh sogokan dan ugutan penjajah.

 

Latar kehidupan

Nama asalnya ialah Amir Burhanuddin bin Ungku Mohammad Noor. Beliau dilahirkan pada 29 November 1911 di Kampung Changkat Tualang, Kota Bharu, Perak. Pak Doktor berasal daripada keturunan ulama’ dan sufi dari Sumatra yang berhijrah ke Tanah Melayu. Bapanya, Haji Muhammad Noor, adalah seorang alim Minangkabau yang mengajar tasawuf dan mengusahakan ladang tani. Beliau pernah berguru kepada Sheikh Mohammad Khatib al-Minangkabawi dan beberapa pemuka agama di Mekah. Ibunya Sharifah Zahrah Habib Osman adalah wanita Melaka dari suku peranakan Arab-Melayu. Mereka bertemu di Perak setelah Haji Muhammad Noor kembali dari menunaikan haji di Mekah.

Menurut Dr Burhanuddin dalam lakaran kisah hidupnya: “Ayahanda saya adalah seorang tasawwuf dan bertariqah Naqshabandi serta dengan lurus dan wara‘nya. Maka saya daripada kecilnya dilatih secara wara’nya dan mesti kuat beribadat mengikut-ngikut dia sembahyang berjamaah, membaca Qur’an dan [Maulid karya] al-Barzanji, ahzab dan zikir. Sebagai orang muda tiadalah saya tahu apa-apa. Saya ikut-ikut itu kerana malu dan segan jua. Saya lakukan dengan berat kerana kawan-kawan lain dapat lepas dan bermain-main saya tidak.” (Simposium Tariqat dan Tasawuf, 1972)

Dr Buhanuddin digelar al-Hulaymi atau al-Helmy kerana karakternya yang tenang dan penyabar, seperti bapanya yang digelar Abi Halim, sebagaimana dilukiskan oleh Saliha Haji Hassan dalam tulisannya Dr Burhanuddin Al-Helmy, A Political Biography: “Pilihan kata asal al-Hulaimi itu benar-benar melambangkan keperibadian Dr Burhanuddin yang lemah-lembut, santun, tenang, sabar… istilah alHulaimi menurut hukum tatabahasa Arab mempunyai makna yang sama dengan al-Helmy tetapi dalam bentuk yang merendah atau lebih kecil (Saliha Hj. Hassan 1997; Dr Burhanuddin Al-Helmy, A Political Biography). Beliau turut dikenal sebagai Pak Doktor di kalangan pengikut dan rakannya.

Pada tahun 1927, beliau merantau ke Pulau Pinang untuk menuntut di Madrasah al-Mashoor al-Islamiyyah dan berguru dengan pemikir dan reformis penting seperti Shaikh Abu Bakar al-Rafi‘i, Haji Arshad al-Bawayih, dan Ashiran Yaakob, yang menggerakkan perjuangan Kaum Muda yang telah dicetuskan oleh Syed Sheikh al-Hadi, dan Sheikh Mohamad Tahir Jalaluddin al-Azhari di Tanah Melayu. Beliau menamatkan pelajarannya dengan memperoleh thanawi (menengah atas) pada tahun 1934.

Kemudian, dengan biasiswa yang ditawarkan oleh saudagar India Muslim, beliau melanjutkan pelajaran ke India dan mengambil kursus perubatan homeopatik di Madrasah al-‘Ulum Musalmanan (Anglo Indian College) di Aligarh. Madrasah yang ditubuhkan oleh Sir Sayyid Ahmad Khan pada tahun 1875 ini berhasrat untuk melahirkan para reformis Islam yang mahir dalam falsafah moden dan disiplin sains yang luas.

Dr Burhanuddin berhasil menyiapkan tesis kedoktorannya dalam bidang falsafah, dan sewaktu menyusun disertasinya beliau merujuk kepada karya-karya besar dalam bahasa Arab dan Eropah, dan menelusuri sejarah pemikiran dan peradaban dunia yang ditulis oleh kelompok sarjana dari timur dan barat, dan berhasil menggarap dan menguasai dengan baik lima bahasa besar.

Demikian dirakamkannya: “Maka saya di India saya dapat mempelajari bahasa Inggeris dan Perancis, dan dalam mempelajari ilmu-ilmu kedoktoran homeopati asas Belanda memudahkan saya mempelajari bahasa Jerman. Kemudian masuklah saya ke dalam perguruan psikologi-metafizik, ilmu al-ruhani juga falsafah dan perbezaan-perbezaan agama besar di dunia ini. Apabila menyusun-nyusun tesis untuk kedoktoran failasuf (PhD) maka terpaksalah saya berfikir mendalam mengambil di mana titik berat, inti sari dan pati punca perbezaan dan perbalahan. Maka termasuklah membahaskan berkenaan dengan sufi itu termasuk dalam falsafah.”

Setelah pulang ke tanah air, berbekalkan pengalaman dan kelulusannya, beliau diterima mengajar di Madrasah al-Juneid, Singapura. Beliau turut menawarkan khidmat perubatan homeopati di dua cawangan kliniknya, di Johor Bharu dan di Jalan Picitan, Singapura yang dibina dengan bantuan seorang doktor India, Dr N. Rajah.

 

Pengaruh Tasawuf

Pak Doktor tertarik kepada tariqat Naqhshabandiyyah yang berkembang di India, yang mempunyai dasar dan hujah tasawwuf yang meyakinkan. Tariqat ini aktif mendakyahkan ajarannya di Asia Tenggara dengan pengaruh yang signifikan di kalangan pengikutnya yang terus berkembang dengan pantas. Ketika di India, beliau menghadiri halaqat-halaqat tasawuf ini dan mengutip pengalaman ma‘rifi, dhawqidan tajribi melalui pembacaan yang substantive.

Perkara ini dikupas dalam tulisannya: “Saya pelajari sufi daripada bahasa-bahasa Eropah. Terpaksalah balik saya mengenal al-Ghazali, al-Badawi, al-Rifa‘i, al-Rumi, al-Qushairi, Ibnu ‘Ata’illah dan lain-lain serta rujuk kitab-kitab Eropah itu kepada kitab Arab maka barulah saya mencari kitab-kitab Arabnya pula. Kemudian setelah saya siasati kedatangan Islam ke Nusantara kita ini dan datuk nenek kita memeluk agama Islam yang hanif ini terutamanya kesan-kesannya ialah daripada ulama-ulama’ Syafi’i dan ulama-ulama’ tasawwuf, sama ada ulama-ulama’ itu datang secara saudagar atau secara muballigh; bukan masuk melalui ulama-ulama’ fiqh. Islam masuk di Nusantara kita ini berkembang tidak dengan kekerasan atau paksa tetapi dengan kemahuan hati dan pilihan jua yang dapat mengatasi agama Hindu dan Buddha [se]bagaimana yang diperjuangkan oleh wali songo di Jawa dan lain-lain kepulauan maka beransur-ansur nampaklah saya kesenian ilmu tasawwuf.”

Faham tasawuf yang dipintalnya turut merangkul tasawuf moden dan agresif yang mendakap semangat jihad. Dan perjuangannya terus digilap dan dipasak dengan lebih jelas setelah menghadam disiplin agama dan sosial yang penting seperti falsafah, perbandingan agama, tasawwuf dan ilmu tariqat. Menurutnya pengajian tasawwuf harus dibarengi dengan pengetahuan falsafah dan perbandingan agama, sebagai asas keilmuan yang zahir, seperti dinyatakannya dalam buku Simposium Tariqat dan Tasawuf: “Bagi memudahkan mendekati ilmu tasawwuf dan tariqat-tariqatnya bagi mencari ilmu di zaman kebendaan dan ilmiah ini, eloklah lebih dahulu mempelajari ilmu fizik kemudian pelajari ilmu metafizik atau maa wara’a al-taba’ah, ilmu falsafah dan ilmu perbezaan antara agama-agama.”

 

Kerangka Pemikiran 

Dr Mujahid Yusof Rawa, dalam penulisannya yang kritis seperti Rejuvenasi PAS dan Menuju PAS Baru mengungkapkan bahawa langkah perjuangan yang digariskan Dr Burhanuddin harus diangkat dan dilantarkan dalam menuju PAS baru. Beliau menuntut supaya hirarki PAS berganjak ke arah perubahan, stereotaip dicabar dan pembaharuan dan kesedaran politik tentang esensi kebebasan, kesedaran watan, faham keadilan dan nafas perjuangan dan semangat kemerdekaan ditanam dan dipugar.

Dalam pergerakan politik Pak Doktor memilih wadah Islam sebagai landas perjuangan. Beliau disifatkan sebagai sosok pemikir yang terbaik dilahirkan dalam dekadnya, dan penggagas siyasah syar‘iyyah dan fiqh awlawiyyat Islam, dan faqih besar dalam mazhab. Pendekatan politiknya adalah berteraskan amalan perlembagaan dan undang-undang, dengan memilih cara aman untuk menuntut perubahan. Demilian seperti yang diungkapkan dalam pidatonya dalam Persidangan Agung PAS di Kelab Sultan Sulaiman pada Disember 1956.

“Jalan kekerasan tidaklah lagi jalan yang sesuai untuk menyelesaikan segala soal hidup manusia. PAS menentang kekerasan kerana kekerasan adalah bertentangan dengan dasar dan ideologi PAS.Perjuangan kemerdekaan tanah air akan diteruskan oleh PAS dengan jalan aman dan damai, dengan jalan berperlembagaan.”

Strategi perjuangannya dalam politik tergambar daripada kegiatannya dalam Kesatuan Melayu Muda (KMM) menentang pendudukan British dan Jepun, seperti diungkapkannya: “Maka ahli-ahli kebangsaan Melayu kiri telah mengambil langkah Musa dalam istana Firaun. Ada yang tinggal di dalam, ada yang tinggal di luar mengambil bahagian di hutan di rimba jadi anti-fasis, ada yang menjalankan gerakan rayap – semut api – harimau dan sebagainya.”

Menurut Dr Dzulkefly Ahmad, perhitungan politiknya adalah bercorak situational politics (siyasah waqi‘) seperti yang dihuraikan oleh saudara Salahuddin Ayub ketika membahaskan sumbangan dan falsafah perjuangan dan pemikiran dakwah Pak Doktor: “Dalam konteks ini, saya ingin mengajak para pemuda semua untuk kita menghayati pemikiran dakwah yang digagaskan oleh al-Marhum Prof Dr Burhanuddin al-Helmy. Beliau amat menekankan keterbukaan dalam pendekatan dakwah yang sesuai dengan naluri masyarakat sebagaimana berhikmahnya Wali Songo yang menggunakan saluran seni hiburan untuk mengajak masyarakat kepada Islam. Pendakwah tidak menghukum, tetapi memujuk dan menasihati. Perbezaan bukan asas kepada perpecahan, tetapi menzahirkan keterbukaan. Jangan kerana kita sukakan susu, lalu mengatakan kopi tidak baik, tetapi minumlah susu dan hargailah peminum kopi.

Itulah keterbukaan yang ditunjukkan oleh Dr Burhanuddin. Beliau dikenali sebagai tokoh reformis, tetapi sangat disenangi oleh ulama’ kaum tua. Beliau terkenal sebagai ahli tasawuf, tetapi begitu rapat dengan ulama’ kaum muda. Beliau menyusun strategi dakwah dengan mendekati golongan sosialis-komunis, memulakan kerjasama dengan parti-parti bukan Melayu tanpa rasa chauvinis, mendukung perjuangan nasionalis, tetapi kekal sebagai tokoh yang Islamis. Pengikut dan pengkagumnya bukan sekadar orang-orang politik, tetapi juga pertubuhan-pertubuhan bukan kerajaan. Inilah model pendakwah yang mesti dicontohi oleh Pemuda PAS pada masa akan datang.” (Seminar Pemikiran Dr Burhanuddin al-Helmy, 2009)

Ahmad Boestamam menulis tentang kekuatan pengaruh Dr Burhanuddin dan kecekalan perjuangannya: “Di atas segala-galanya, Dr. Burhanuddin al-Helmy adalah seorang patriot. Dan kalau kepada beliau hendak diberikan suatu gelaran yang tepat, layak dan sesuai dan hak sekali bagi beliau ialah Bapak Kebangsaan Melayu” (Ramlah Adam 1993; Dr. Burhanuddin al-Helmy: kajian mengenai kegiatannya dalam PKMM 1946-1948.).

Sewaktu menuntut di India, Pak Doktor telah mula bergelut dengan arus pemikiran Islam moden yang dicanang oleh Sayyid Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, Syed Ameer Ali (1849-1928), Aga Khan, Nehru dan Muhammad Ali Jinnah (pemimpin Islam Pakistan).

Pandangannya yang progresif turut dibentuk daripada pengalamannya menuntut di Indonesia, yang meraikan semangat ikhtilaf, mengangkat kekuatan akal dan ijtihad, mengembangkan faham budaya dan politik yang dinamis dan menggerakkan reformasi dan cita-cita pembaharuan yang kental untuk merobohkan benteng taqlid yang mengikat kebebasan fikrah yang diwarisi daripada pemikiran masyarakat yang jahil dan bobrok.

Hal ini dinyatakan dalam makalahnya Tasawuf dan Tariqah: “Bila saya lepas belajar ke luar di Indonesia dapat saya belajar bahasa Belanda dan guru-guru agama saya pula ulama-ulama’ Kaum Muda dan berfaham progresif dalam Islam, maka fikiran saya terbentuk dengan membaca keterangan-keterangan moden dan majalah-majalah moden seperti al-Manar dan al-Fath. Saya pelajari ilmu-ilmu usul fiqh, usul al-ahkam, mazahib al-arba’ah (mazhab empat) dan membaca kitab-kitab Bidayah al-Mujtahid, Subul al-Salam, kitab-kitab [Syeikh al-Islam] Ibn Taimiyyah, Ibnu al-Qayyim, asy-Syaukani, [Syeikh] Abdul Wahhab al-Wahhabi (yakni [Syeikh] Muhammad Abdul Wahhab), al-Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rashid Redha dan akhirnya Tantawi. Saya pun terbalik bertentang dengan ayah saya dalam pendirian. Saya memusuhi jumud kolot.”

Untuk mengejar cita-cita ini, beliau menggerakkan perjuangan menuntut perubahan dan reformasi dengan berkecimpung dalam politik marhaen dan gerakan rakyat. Selama lebih 30 tahun mengharungi perjuangan (1930-1960-an) beliau telah memimpin pertubuhan-pertubuhan penting seperti KMM (Kesatuan Melayu Muda), KRIS (Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung), PKMM (Partai Kebangsaan Melayu Malaya), PUTERA-AMCJA (Pusat Tenaga Rakyat-All Malayan Council of Joint Action), dan Persatuan Islam Sa-Tanah Melayu atau Parti Islam se-Malaysia (PAS).

Pada tahun 1937, Pak Doktor menerbitkan majalah Taman Bahagia, sebagai platform perjuangannya untuk memecahkan monopoli British di Tanah Melayu, seperti diungkapkannya: “apa lagi sebagai seorang wartawan muda pada tahun 1937 saya keluarkan majalah Taman Bahagia lalu tertangkap kerana saya didapati oleh penjajah berpolitik tegas dan berbahaya kepada penjajah dan akan membangkitkan kesedaran rakyat, hinggalah sekarang ‘Malaya jadi Palestin kedua’ masih kedengaran diperkatakan orang.”

Kamaruddin Jaafar dalam artikelnya Perjuangan dan Pemikiran Politik Dr Burhanuddin al-Helmy merumuskan bahawa dalam tiga dekad perjuangannya, riwayat politik Dr Burhanuddin dapat dirangkum dalam tiga ciri utama: kemerdekaan, kebangsaan Melayu dan Islam. Nilai-nilai ini ditanam dalam perjuangannya menentang penjajah dengan semangat dan daya tahan yang kental, dengan usaha menyemarakkan nilai progresif dan ide radikal dalam ideologi dan aqidah perjuangan PAS, seperti diungkapkan oleh Ahmad Boestmam dalam bukunya Merintis Jalan ke Puncak: “Kalau PAS berjiwa kiri dan progresif juga untungnya kepada Partai Rakyat Malaya, demikian saya memperhitungkan. Setidak-tidaknya Partai Rakyat Malaya tidak akan menghadapi ‘lawan’ yang bertambah sebagaimana kalau kiranya PAS berjiwa kanan dan tidak progresif.”

Pak Doktor menggariskan strategi perjuangan dan matlamat politik yang ideal dan halatuju yang jelas dalam harakat PAS, dengan merangka agenda yang praktis dan inklusif, yang menggabungkan tradisi pemikiran daripada semua aliran untuk mempertahankan kemerdekaan, seperti yang dilafazkannya dalam Muktamar tahunan pada 1956: “Tiap-tiap kita mengingini satu negara Malaya yang demokratis dan berdaulat dalam erti kata yang sebenarnya. Cita-cita ini belum tercapai sekarang dan tak akan tercapai pada 31 Ogos 1957 ini. Ke arah cita-cita itulah PAS akan berjuang bahu membahu dan saling berbimbingan tangan dengan segala golongan dalam masyarakat.”

Dalam mengeratkan perpaduan ini beliau mengungkapkan kesediaan PAS bertahaluf siyasi (mengikat kerjasama politik): “Dan PAS juga tidak merasa dan tidak mensifatkan dirinya sajalah yang mempunyai kesanggupan, yang mempunyai kelayakan, yang mempunyai tenaga dan kebijaksanaan untuk berjuang mencapai kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan tanah airnya. PAS tidak merasa dan tidak mensifatkan dirinya sajalah yang berkewajipan memikul tugas suci kemerdekaan bangsa dan tanah airnya kerana itu adalah tugas rakyat bersama. Saya katakan bahawa penjajahan adalah bercorak internasional, satu gergasi yang pengaruh dan kekuatannya dirasakan di seluruh dunia. Kerana itu, penjajahan tidak boleh ditentang hanya dengan tenaga satu golongan saja, satu parti saja, tetapi sebaliknya hanya dengan tenaga-tenaga anti-imperialis seluruh dunia, tenaga-tenaga anti-imperialisme seluruh masyarakat. Kerana itu PAS sanggup bekerjasama dengan apa sahaja golongan, apa saja parti, apa saja aliran dalam masyarakat atas dasar kepentingan kemerdekaan bangsa dan tanahair… perjuangan itu sama besarnya dengan perjuangan yang telah kita pusakai dari datuk-nenek kita menentang penjajahan semenjak kejatuhan empayar Melaka dahulu. Dan sudah tentu perjuangan yang sebesar itu mengkehendaki tenaga yang sebulat-bulatnya dari seluruh rakyat negeri ini, menghendaki pengorbanan yang rela dari segenap golongan progresif dalam masyarakat. Tenaga-tenaga nasionalisme, keugamaan dan sosialisme yang sihat dalam masyarakat harus kita gembelengkan, kita padukan mulai sekarang untuk merupakan satu tenaga besar demi tugas perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan tanahair kita.”

Kamarudin Jaffar dalam bukunya, Dr Burhanuddin al-Helmi: Politik Melayu dan Islam menzahirkan kekuatan idealisme perjuangan yang dicanangnya dan iktibar serta kesannya dalam pemberdayaan bangsa: “Adalah diakui umum bahawa Dr Burhanuddin al-Helmy merupakan seorang tokoh terkemuka di alam Melayu ini. Sumbangan beliau di bidang politik, perjuangan kemerdekaan dan ilmu perubatan serta peranan Islam yang diletakkan oleh beliau di bidang-bidang tersebut perlu sekali dipelajari oleh masyarakat kita hari ini”.

Lontarannya yang memukau:

“Di atas robohan kota Melaka,
kita dirikan jiwa merdeka,
bersatu-padulah segenap baka,
membela hak keadilan pusaka”

yang diucapkan semasa kongres PKMM ke-2, tanggal Disember 1946 di Melaka cukup menzahirkan aspirasi dan cita-cita besarnya untuk mengangkat harakat bangsa dan agama, dan terserlah dalam perjuangannya mendirikan partai Islam dan memimpin harakah perjuangan yang terbesar di Malaysia.

 

Rujukan

Abdullah Hussain (1996), “Burhanuddin al-Helmi, Pelopor Kebangkitan Semangat Kebangsaan Melayu”. Dewan Masyarakat, Nov. 1996.

Ahmad Boestamam (1972), Merintis Jalan ke Puncak. Kuala Lumpur: Pustaka Kejora.

Burhanuddin al-Helmy (t.t.), Hari-Hari Aku Dizalimi. Gombak: PAS.

Burhanuddin al-Helmy (1957), Suara Islam, 16 Januari, 1957.

Burhanuddin al-Helmy (1988), ‘Ucapan Dasar Parti PAS, 1956’ dalam Jomo K.S. (ed.), Islam dan Sosialisme. Kuala Lumpur: Ikraq Press.

Farish A. Noor (2004), Islam Embedded: The Historical Development of the Pan-Malaysian Islamic Party PAS (1951-2003). 2 jil. Kuala Lumpur: Malaysian Sociological Research Institute.

Ismail Said (2008), “Parti Islam Sa-Malaysia: Kepimpinan dan Perjuangan dari Tahun 1951 hingga 1970” (Tesis Phd, Universiti Sains Malaysia).

Kamarudin Jaffar (1980), Dr Burhanuddin Al-Helmi: Politik Melayu dan Islam. Kuala Lumpur: Yayasan Anda.

Kamarudin Jaffar (1979), “Perjuangan Dan Pemikiran Politik Dr. Burhanuddin Al-Helmy”. Akademika 15.Kamaruddin Jaffar (2000), Dr. Burhanuddin Al-Helmy, Pemikiran Dan Perjuangan. Kuala Lumpur: IKDAS.

Mohd Fuzi Omar (2005), “Burhanuddin Al-Helmy: Political Activities and Ideas”, dalam Zeenath Kausar (ed.),Contemporary Islamic Politcal Thought, A Study of Eleven Islamic Thinkers. Kuala Lumpur: Reseach Centre, IIUM.

Mujahid Yusof Rawa (2003), Permata Dari Pulau Mutiara. Kuala Lumpur: Warathah Haji Yusof Rawa Sdn. Bhd. dan Dewan Muslimat.

Natsir (1980), Fiqhud-Da‘wah. Kuwait: IIFSO.

Ramlah Adam (1996), Burhanuddin al-Helmy: Sebuah Kemelut Politik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka.

Ramlah Adam (1993), Dr. Burhanuddin al-Helmy: kajian mengenai kegiatannya dalam PKMM 1946-1948. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya.

Riduan Mohamad Nor (2008), Makkal Sakhti 2008: Analisis Pilihanraya Umum ke-12. Kuala Lumpur: Jundi Resources.

PAS (2003), Negara Islam. Kuala Lumpur: Parti Islam Se-Malaysia.

Saliha Hj. Hassan (1972), “Dr Burhanuddin Al-Helmi, A Political Biography” (Latihan Ilmiah, B.A, Universiti Malaya).

Salina Hj Hassan (1986), “Dr Burhanuddin Al Helmy, 1911 – 1969”. JEBAT, bil 14.

Seminar Pemikiran Dr. Burhanuddin al-Hilmi (2009), (anjuran Pusat Kecemerlangan Ummah, di Dewan Auditorium Daeng Chelak, Muzium Sultan Alam Shah, Shah Alam, 2 Ogos, 2009)

Zainal Abidin bin Abdul Wahid (1978), “Semangat Perjuangan Melayu”. Seminar Sejarah Intelektual dan Perjuangan Kebangsaan Melayu, Universiti Malaya, 18 November, 1978.


Dr Ahmad Nabil Amir adalah Ketua, Abduh Study Group, Islamic Renaissance Front. Beliau adalah Sarjana PhD dalam bidang Usuluddin daripada Universiti Malaya.

Turki perlu mengelak daripada kembali kepada “sekularisme jalur keras” (assertive secularism) selepas Erdoğan

$
0
0

Oleh: Prof. Ahmet T. Kuru || 22 November 2021
Terjemahan: Ahmad Muziru Idham Adnan

 

Ahmet Kuru merupakan seorang professor sains politik di San Diego State University yang telah lama berkecimpung sebagai salah seorang sarjana terkemuka bagi perihal sekularisme dan Islam. Buku utamanya yang diterbitkan pada tahun 2009, iaitu Secularism and State Policies toward Religion: The United States, France, and Turkey telah mencetuskan perdebatan awam yang sangat meluas apabila beliau mencadangkan agar wilayah Turki menggantikan “sekularisme jalur kerasnya” (assertive secularism) yang bercirikan Perancis ditukarkan kepada “sekularisme pasif” (passive secularism) gaya Amerika. Selepas satu dekad kemudian, persoalan sekularisme sekali lagi menjadi agenda utama di Turki di kala meningkatnya kepolitikan Direktorat Hal Ehwal Agama (Diyanet), dan kejatuhan populariti Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Dalam sebuah wawancara dengan Ahval, Kuru telah membincangkan mengenai Islam, sekularisme, dan apa yang mereka mungkin maksudkan dengan sebuah Turki pasca Erdoğan.

 

Ahval: Mengapakah terdapatnya perdebatan yang berterusan mengenai sekularisme di Turki?

Kuru: Sebab utamanya adalah kewujudan dua pandangan yang bersifat saling eksklusif. Pandangan pertama bukan sahaja dipegang oleh para Islamis malahan turut dipersetujui sama oleh para konservatif, iaitu bahawa Islam perlu menjadi pusat kepada identiti politik dan kehidupan awam di Turki. Dengan kepelbagaian tertentu, parti-parti daripada aliran kanan kesemuanya menyokong pandangan ini. Pandangan kedua pula adalah suatu kefahaman bahawa Islam itu adalah terlalu berbahaya sekiranya dibiarkan begitu sahaja, maka perlunya ada kawalan negara terhadap Islam. Pandangan ini secara umumnya disokong oleh kelompok Kemalis.

Bagi sesetengah pihak, dua pandangan tersebut dilihat sebagai bertentangan. Walhal, kedua-dua mereka adalah sama sahaja yang berpusatkan kepada kenegaraan. Meskipun alasan mereka berbeza, namun kedua-dua pihak menolak idea pemisahan Islam daripada negara. Lebih spesifik lagi, kedua-dua kumpulan tersebut mempertahankan kewujudan Diyanet sebagai sebuah agensi kerajaan yang mengawal 80,000 masjid di Turki.

 

Ahval: Tiada lagi dominasi Kemalis di Turki. Sebaliknya, ramai orang risaukan tentang autoritarianisme Islam. Bolehkah anda memberikan penjelasan mengenainya?

Kuru: Rejim semasa di Turki adalah berdasarkan kepada populisme Islam dan telah mengurangkan pemisahan antara Islam dan negara yang telahpun sedia ada lemah itu. Tanpa sebuah pemisahan yang sebegitu, Islam kembali menjadi sebuah alat kepada penguasa politik dan penindasan. Dengan menggunakan Islam, ahli politik jalur kanan memanipulasikan masyarakat Muslim dengan mengeksploitasi perasaan keagamaan mereka di Turki. Tambahan lagi, Islam telah digunakan sebagai sebuah alat untuk menyekat kebebasan di pelbagai negara yang mengamalkan perundangan Islam termasuklah negara-negara yang mana peraturan mereka itu secara sejarahnya adalah bersifat pengekangan terhadap kebebasan bersuara dan hak-hak wanita.

Maka, dari segi pemisahan antara agama dan autoriti politik, sekularisme adalah diperlukan bagi mendirikan sebuah sistem yang benar-benar demokratik di Turki. Tetapi, persoalan yang perlu diajukan: Apakah jenis sekularisme yang diperlukan di Turki?

 

Ahval: Bagaimanakah anda mendefinisikan jenis-jenis sekularisme yang berbeza?

Kuru: Terdapat dua ciri-ciri umum bagi negara sekular. Negara sekular tidak memiliki sebuah agama rasmi dan tidak menjadikan agama sebagai rujukan dalam penggubalan undang-undang. Selain daripada dua ciri persamaan ini, negara sekular juga memiliki perbezaan-perbezaannya. Buku saya mendefinisikan kepada dua jenis sekularisme yang utama. “Sekularisme pasif” merupakan ideologi yang dominan di Amerika Syarikat semenjak pindaan perlembagaan pada tahun 1971. Menurut ideologi ini, negara perlu menjadi pasif dan neutral terhadap simbol-simbol keagamaan dan sekular dalam ranah awam. Sebaliknya, “sekularisme jalur keras” telah menjadi dominan di Perancis semenjak tahun 1905. Sekularisme jenis ini memerlukan negara untuk memainkan sebuah peranan yang tegas dalam mengecualikan agama daripada ranah awam dan menerapkan sekularisme sebagai sebuah doktrin menyeluruh dengan penolakan terhadap agama. Sebab itulah kerajaan sekularis jalur keras di Perancis, Mexico, dan Turki melaksanakan dasar-dasar pengecualian terhadap Kristian Katolik dan Islam.

 

Ahval: Adakah pengasas negara Turki mengambil sekularisme Perancis sebagai sebuah model?

Kuru: Seperti Republik Perancis, Republik Turki telah didirikan sebagai reaksi terhadap pakatan antara agamawan dan monarki. Disebabkan asal-usul sejarah ini, sekularisme muncul secara keras di kedua-dua buah negara. Sebaliknya, republik di Amerika Syarikat telah ditubuhkan atas reaksi terhadap penjajahan British dan tidak wujudnya hegemoni agama dalam penjajahan tersebut. Maka, sekularisme di Amerika bangkit daripada sebuah perilaku yang pasif dan mesra dengan agama.

Dalam masa yang sama, wujud juga perbezaan di antara sekularisme Perancis dan sekularisme Turki. Di Turki, sekularis berusaha untuk mengekalkan Islam di bawah kawalan melalui Diyanet. Sementara di Perancis, sekularis tidak berusaha untuk membuat kawalan langsung terhadap Kristian Katolik. Perbezaan lain adalah sekularisme di Perancis wujud bersama-sama dengan demokrasi, manakala sekularisme di Turki adalah berkait dengan pengawasan tentera ke atas ahli politik. Maka, Turki memiliki polisi-polisi yang lebih bersifat pengecualian (exclusionary) terhadap agama. Antara tahun 1933 dan 1949, pendidikan keagamaan hampir dilarang sepenuhnya. Selepas pendemokrasian pada tahun 1950, sebuah proses yang lebih mesra bermula namun dasar-dasar tertentu yang ketat, seperti larangan bertudung, tetap wujud sehingga dekad yang lalu.

 

Ahval: Bagaimana anda boleh jelaskan mengenai perubahan sekularisme di Turki pada dekad terkini?

Kuru: Ramai pemerhati Barat telah menjangkakan bahawa Turki akan menjadi sebuah model bagi negara-negara bermajoriti Muslim yang lain dalam menunjukkan keserasian antara Islam, demokrasi, dan negara sekular. Parti Keadilan dan Pembangunan (AKP) berkuasa pada tahun 2002 dengan membuat janji-janji untuk memenuhi harapan ini. Malangnya, selepas tahun 2012, Erdoğan sebaliknya telah mengukuhkan pemerintahan berkuasa mutlaknya dan mendirikan sebuah rejim Islamis populis.

Kini, di Turki, perlembagaan dan perundangan masih sekular, namun kehidupan awam berada di bawah pengaruh wacana-wacana Islamis yang kuat. Peranan politik Diyanet yang semakin mendalam memaparkan kelemahan sekularisme dan pengukuhan wacana-wacana Islamis ini.

 

Ahval: Adakah ini hasil yang tidak dapat dielakkan daripada percanggahan yang wujud antara Islam dan secularisme?

Kuru: Terdapatnya suatu ketegangan antara kefahaman syariat Islam dan sekularisme yang dominan di Turki. Menurut kefahaman ini, syariat Islam mempunyai peraturan tentang segala-galanya “daripada adab berada di tandas sehinggalah kepada tatakelola pemerintahan”. Kefahaman ini bercanggah dengan mana-mana jenis daripada sekularisme sekalipun.

Namun begitu, sebuah tafsiran Islam yang berbeza boleh serasi dengan sekularisme pasif. Buku terbaru saya, Islam, Authoritarianism and Underdevelopment, melihat bagaimana terdapatnya suatu tahap tertentu bagi pemisahan autoriti agama dengan autoriti politik di dunia Muslim antara kurun kelapan dan kesebelas. Pada era ini, wujudnya pelbagai kefahaman mengenai syariat Islam. Pengalaman sejarah ini menyebabkan saya menjadi optimis mengenai kemunculan pentafsiran Islam yang baharu yang serasi dengan sekularisme dan demokrasi pada masa hadapan.

 

Ahval: Kemal Kılıçdaroğlu, pemimpin utama parti pembangkang – Parti Republik Rakyat (CHP) – pada baru-baru ini telah mengisytiharkan bahawa dia akan mencari suatu “penyesuaian” dengan masyarakat konservatif. Adakah ini bermakna CHP akan mengubah pendirian “sekularis jalur keras” mereka setelah sekian lama?

Kuru: Deklarasi Kılıçdaroğlu adalah sangat berpengaruh dan menerima maklum balas yang sangat positif. Dengan menganjurkan wacana sekularis CHP menjadi lebih moderat, maka dia telah melemahkan strategi polarisasi politik Erdoğan. Sebagai contoh, di bawah kepimpinan Kılıçdaroğlu, CHP tidak lagi mempertahankan larangan bertudung yang lama. Hal ini merupakan sebuah perubahan yang menjanjikan.

 

Ahval: Apakah unjuran anda mengenai sekularisme di Turki dalam masa terdekat? Tinjauan pada baru-baru ini menunjukkan bahawa populariti Erdoğan sedang menjunam, maka apakah yang akan terjadi kepada sekularisme di Turki pada era pasca-Erdoğan?

Kuru: Selepas berakhirnya rejim Erdoğan, sekularisme akan diperkukuh semula. Saya berharap agar hal ini tidaklah bermaksud bahawa Turki kembali kepada dasar-dasar “sekularis jalur keras” pada tahun 90-an itu. “Dendam sekularis” yang sebegitu hanya akan memaparkan sebuah peralihan daripada autoritarianisme Islamis kepada autoritarianisme sekularis.

Untuk pendemokrasian, reformasi di Turki perlu menginstitusikan sebuah pemisahan sebenar antara Islam dan negara. Hal ini bermakna dasar-dasar sekularis jalur keras perlu ditolak, seperti larangan memakai tudung. Ia juga akan menyangkal kedudukan semasa Diyanet, yang mencari pembiayaan negara untuk Islam, dan mewakili sebuah pakatan antara kelas agamawan dengan negara.

Golongan konservatif Muslim tidak perlu takut dengan reformasi sebegitu. Pengukuhan sekularisme dari segi pemisahan agama-negara tidak akan melemahkan kebebasan beragama bagi seseorang Muslim mahupun yang lain. Sebaliknya, ia akan memperkukuhkan lagi kebebasan beragama. Selepas mengalami sekularisme jalur keras dan Islamisme, saya berharap agar Turki akan mampu untuk mencari penyelesaian yang munasabah dalam menyelesaikan masalah-masalah seputar hubungan kompleks antara Islam, sekularisme, dan demokrasi.


Dr Ahmet T. Kuru merupakan Professor Sains Politik di  San Diego State University dan penulis buku Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison (Cambridge University Press, 2019).

Dr Burhanuddin al-Helmy dan PAS – Bahagian II

$
0
0

Ahmad Nabil Amir || 10 Januari 2022

 

Perjuangan

Pada dekad awal 30-an, Dr Burhanuddin telah memimpin referendum membantah pendudukan Palestin yang menyebabkannya ditahan oleh British kerana mempelopori gerakan memprotes Deklarasi Balfour yang diisytiharkan pada tahun 1917. Tempoh antara tahun 30-an ini merupakan dekad yang penting yang menyaksikan kebangkitan gerakan Islam di seluruh dunia, yang dicetuskan dengan penggembelingan angkatan pemuda, dengan penubuhan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) oleh Soekarno pada tahun 1927 dan Ikhwanu’l-Muslimin oleh Hassan al-Banna, pemimpin Islam Mesir pada tahun 1928.

Pak Doktor terkenal dengan kelantangannya memperjuangkan keadilan. Ketika kes Natrah (Maria Hertogh) dibicarakan di Singapura pada tahun 1950, yang telah meributkan seluruh gelanggang perdebatan di tanah air, beliau bertegas mempertahankan aqidah Islam dan bersama Abdul Muhammad menubuhkan Jawatankuasa Tindakan Natrah dan bangkit membantah keputusan Mahkamah Tinggi Singapura yang menyebabkannya ditahan kerana didakwa terlibat dalam rusuhan.

Beliau ditahan di bawah ISA (Akta Keselamatan Dalam Negeri) pada 28 Januari 1965 kerana dituduh bersekongkol menjatuhkan kerajaan dan menentang pentadbiran yang sah dan terlibat mendirikan kerajaan buangan di Riau, Indonesia. Penahanan tanpa bicara dan pendakwaan kejam itu tidak mematahkan semangat perjuangannnya dan setelah beliau dibebaskan tanpa syarat pada Mac 1966, Pak Doktor enggan menandatangi surat pembebasan kerana mempertahankan kenyataan bahawa beliau tidak bersalah.

Pengalaman dalam sel itu dicatat dengan terperinci dalam bukunya Hari-Hari Aku Dizalimi, yang mengaitkan rencana jahat pemerintah dalam menuduhnya bersubahat dengan Dato’ Raja, Ishak Haji Mohamad dan Aziz Ishak. Turut dicatatkan tekanan dan layanan buruk serta fitnah yang dilemparkan dan direka-reka terhadapnya, dan dakwaan merancang exile government dan memobilisasi gerakan subversif, yang menurutnya mencemarkan kedudukannya sebagai seorang pemimpin dan tidak selayaknya dituduh kepadanya sebagai “seorang ahli politik yang telah lama di gelanggang politik dan berjuang cara Perlembagaan dari tahun 1937 lagi”.

Hal ini seperti yang dilakarkan dalam bukunya: “Tidak pernah saya lakukan dan berniat melakukan perkara-perkara di luar Perlembagaan, peraturan kemanusiaan, Human Rights dan piagam-piagam Bangsa-Bangsa Bersatu. Segala tuduhan itu saya jawab bahawa saya tidak tahu dan mana yang patut saya nafikan saya nafikan… saya merasakan dan mengira bahawa tekanan ke atas saya dengan segala tuduhan yang tidak betul adalah direka-reka semata-mata… Perikatan dalam ketakutan dan kebimbangan disebabkan bangkangan oleh saya.”

 

Memimpin PAS

Sejarah penubuhan PAS bermula daripada gerakan Parti Golongan Muslimin Malaya (Hizbul Muslimin) yang diasaskan pada 17 Mac 1948 oleh Ustaz Abu Bakar al-Baqir. Hizbul Muslimin tertubuh hasil daripada konferens Islam se-Malaysia pertama yang diadakan pada Mac 1947, di Madrasah Ma‘ahad al-Ehya al-Sharif di Gunung Semanggul, Perak. Konferens ini ditaja oleh Parti Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) di bawah pimpinan Dr. Burhanuddin al-Helmy yang dianjurkan untuk membincangkan permasalahan ekonomi umat Melayu-Muslim, dan mendirikan pergerakan Islam yang progresif dan memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah British.

Menurut Zainal Abidin Abdul: “Sebenarnya sebelum PAS lahir, perjuangan menerusi parti politik yang menekankan soal ugama Islam telahpun dimulakan oleh Hizbul Muslimin di tahun 1948. Tetapi umur Hizbul Muslimin adalah pendek kerana kebanyakan pemimpin-pemimpinnya seperti Ustaz Abu Bakar al-Baqir, telah ditangkap oleh kerajaan British apabila darurat bermula. (Zainal Abidin Abdul 1978; “Semangat Perjuangan Melayu”. Seminar Sejarah Intelektual dan Perjuangan Kebangsaan Melayu, Universiti Malaya).

Perjuangan PAS ketika itu juga terikat dengan tuntutan politik Melayu, seperti dikemukakan dalam manifesto PAS pada pilihanraya tahun 1959: “Mengembalikan hak kedaulatan Melayu dan memberi keutamaan kepada orang-orang Melayu dalam bidang kerajaan dan pentadbiran.”

Pembabitan Dr Burhanuddin dalam PAS bermula sejak awal dengan usahanya memimpin parti dan melakarkan garis perjuangan yang mendasar bagi mendukung cita-cita politik yang besar ke arah membebaskan watan daripada cengkaman penjajah. Menurut Dr Ismail bin Said dalam tesisnya bertajuk Parti Islam Sa-Malaysia: Kepimpinan dan Perjuangan dari Tahun 1951 hingga 1970: “Ketiga-tiga tokoh ini (Tuan Haji Ahmad Fuad Hassan, Dr. Abbas Alias dan Dr. Burhanuddin al-Helmy) bukan sahaja berjuang menuntut kemerdekaan dan membela nasib orang Melayu dan agama Islam, mereka juga menyuarakan kepentingan umat Islam sejagat terutamanya di Palestin, Selatan Thailand, dan di Afrika Selatan… dengan kepimpinan yang diamalkan, mereka telah berjaya membangunkan PAS menjadi sebuah parti yang berjaya dalam tempoh dua dekad awal ini.”

Dr Burhanuddin diangkat sebagai Presiden PAS ketiga pada tanggal 25 Disember 1956 menggantikan Dr Abbas Elias. Kedudukannya yang kukuh dalam PAS telah memungkinkannya untuk melakarkan agenda perjuangan yang bermakna dalam menzahirkan gagasan mewujudkan sebuah negara yang makmur seperti diungkapkan dalam ucapannya:

“Kita dari angkatan PAS akan melancarkan bahtera perjuangan kita menuju pelabuhan cita-cita Islam yang sangat jauh pelayarannya. Kita sama-sama bertolak beriringan aliran-aliran lain dan walaupun nasionalisme dan sosialisme telah sampai, tetapi Islamisme akan berlayar terus, menuju pelabuhan kita: Baldatun Taiyyibatun Wa Rabbun Ghafur.”

[Burhanuddin al-Helmy 1957; Suara Islam]

Pucuk pimpinan PAS yang diterajui oleh Dr Burhanuddin sebagai Yang Dipertua dan Prof Zulkifli Mohamad sebagai Timbalan Yang Dipertua telah memperkasakan pimpinan, dan merobah corak perjuangan secara lebih agresif dengan kejayaan PAS merampas 14 buah kerusi parlimen di Kelantan dan Terengganu dalam pilihanraya tahun 1959. Antara tahun 1956-1969 di bawah tampuk kuasa Presiden yang baru, PAS telah menunjukkan pencapaian politik yang terbaik dengan kemantapan dasar yang dizahirkan, dan sikap keterbukaan yang tinggi dan aspirasi perjuangan yang progresif. Dan Pak Doktor, pejuang demokrat yang Islamis, meneruskan aspirasinya yang radikal untuk memimpin dan mengemudi perjuangan yang dahsyat itu.

Sumbangannya dalam menggembeling jentera parti dan memperkuat saf kader dan merobah struktur dan strategi perjuangan adalah pencapaian yang terbaik dicatat dalam sejarah politik PAS. Mengulas perkembangan ini Dr Farish Noor menulis:

For those who have studied the historical development of PAS, the years of Dr. Burhanuddin al-Helmy’s leadership appear as the period when the party was led by the most progressive Islamist intellectual in the country”.

[Farish Noor, 2004. Islam Embedded: The Historical Development of the Pan-Malaysian Islamic Party PAS (1951-2003)].

 

Reformasi Kedua 

Setelah berhasil menumpaskan penjajah dan meraih kemerdekaan pada tahun 1957, maka perjuangan Pak Doktor diisi dengan gerakan membawa perubahan dan menegakkan cita-cita Islam dan menggarap idealisme dakwah, seperti yang diungkapkan oleh Prof Zulkifli Mohamad yang menggariskan khittah Islamiyah yang tuntas dalam pidatonya:

“Setelah mencapai kemerdekaan sampailah kita kepada peringkat perjuangan mengisi kemerdekaan, dari sini bermulalah peringkat kedua perjuangan kita, peringkat jangka panjang perjuangan PAS. Sebagai sebuah parti yang berideologi, kita berazam hendak mengisi kemerdekaan itu dengan ideologi kita sendiri, iaitu ideologi Islam atau Islamisme. Kita percaya dengan Islam sahajalah negara kita dan umat kita dapat dibawa ke arah keselamatan dan kebahagiaan yang sebenar-benarnya. Dengan lain-lain perkataan bahawa tugas kita yang terpenting sesudah tercapainya kemerdekaan ialah berikhtiar supaya undang-undang dan peraturan yang diamalkan dalam masyarakat dan dalam pemerintahan negara, sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Dengan itu barulah ada nilainya Islam itu sebagai agama pembimbing hidup kemanusiaan.”

Perjuangan yang dipelopori Dr Burhanuddin menzahirkan ideologi perjuangan yang praktikal dan realistik. Sumbangannya yang penting adalah dalam merealisasikan cita-cita Islamisme dan nilai perjuangan yang pragmatik, seperti yang ditegaskan dalam pidatonya:

“Saya berpendapat bahawa sebarang ideologi hanyalah alat saja untuk memperjuangkan cita-cita nasional, cita-cita kebangsaan, iaitu cita-cita menegakkan suatu negara Malaya yang merdeka, demokratis dan berdaulat… Ideologi nasionalisme atau kebangsaan ialah [bertujuan untuk] mencapai kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial, dan terdirinya kebebasan dan kemakmuran rakyat bersih dari sebarang pengaruh penjajahan… semua isme ini timbul daripada pengalaman-pengalaman manusia yang telah berlaku dalam proses perkembangan masyarakatnya dari zaman kuno hingga ke zaman moden ini. [Tetapi] ideologi Islam (atau Islamisme) adalah berbeza dan berlainan daripada isme-isme yang lain. Keistimewaan Islamisme ialah datangnya sebagai hukum ketatapan yang diturunkan Tuhan yang menjadikan manusia seluruhnya dan menciptakan alam ini sekaliannya. Hukum ini tidak dapat di-ubah-ubahkan dan ditukar atau dipinda-pinda. Yang boleh berubah dan bertukar ialah hanya manusia itu sahaja. Islamisme tegasnya adalah hukum Tuhan bagi seseorang dalam perhubungan dan masyarakat dan dalam perhubungan dengan Tuhan.” [Farish Noor, 2004. Islam Embedded: The Historical Development of the Pan-Malaysian Islamic Party PAS (1951-2003)].

Perjuangan PAS adalah bersandar kepada tuntutan untuk menegakkan syari’at dan hukum. Inilah pijakan perjuangannya yang jelas, untuk mewujudkan “negara yang menghayati tuntutan Islam yang sebenar (al-dīn wa ad-daulah) dalam segala bidang, sama ada di peringkat kebangsaan mahupun antarabangsa… (yakni) sebuah negara kebajikan yang diasaskan atas prinsip syara‘” (PAS 2003; Negara Islam).

Inilah antara tasawwur perjuangan yang dilakarkan Dr Burhanuddin dalam harakah PAS, yang menetapkan iltizam dan kesediaan untuk mengharungi dan melompat ke tengah-tengah gelanggang dan tampil menuntut dan membela maruah agama dan bangsanya dan mempertahankannya habis-habisan. Merumuskan gerakan pembaharuan yang dipimpin oleh Dr Burhanuddin, kita dapat menyimpulkan bahawa ketangkasan ideanya telah mengangkat martabat perjuangan dengan sumbangan yang penting dalam (1) memimpin perubahan (2) mengangkat kedudukan PAS ke persada dunia (3) menyiapkan golongan pelapis (4) menggalakkan wacana demokratis dan terbuka, dan (5) mencetak kader dakwah yang mendukung cita-cita keadilan dan islah.

Ketangkasannya mengatur aktiviti politik diperkukuh dengan kemantapan daya juang dan peranannya yang aktif dalam mengetengahkan agenda Islam dan mengangkat harakat bangsa, dan inisiatif yang strategik untuk mengemukakan isu-isu yang mustahak dan mendesak ke parlimen. Strategi perjuangannya direncana dengan tuntas. Beliau berhempas pulas memperjuangkan asas politik Islam berteraskan matlamat syari’ah yang menuntut “kekuasaan diselenggarakan dengan cara yang saksama”, menggembeling masyarakat madani, dan membina kerangka pemerintahan berteraskan prinsip al-adl wa’l ihsan.

Setelah kewafatan Pak Doktor pada 10 Oktober 1969, kerusi Presiden diambil alih oleh Ustaz Mohd Asri Muda (1969-1982), Ustaz Yusof Rawa (1982-1988) dan Ustaz Fadhil Noor (1988-2002) yang telah menunjukkan daya kepimpinan yang luar biasa di kalangan pemimpin dan akar umbi PAS dan ABIM pada dekad-dekad 80-90 an. Kepimpinan Ustaz Fadhil (1937-2002) menyerlahkan kekuatan idealisme yang diasaskan oleh pejuang-pejuang PAS yang besar seperti Dr Burhanuddin al-Helmy dan Prof Zulkifli Muhammad dalam harakat politik. Kepimpinan PAS kini digalas oleh Tuan Guru Dato’ Seri Haji Hadi Awang, yang menerajui perjuangan sejak 2002.

 

Faham Islamis Nasionalis

Dr Burhanuddin berjuang mengembangkan faham kebangsaan Islam seperti yang digagaskan oleh Sang Maestro, M. Natsir di Indonesia. Tema politik yang diangkatnya adalah Kebangsaan Melayu, Hak Ketuanan Melayu dan Melayu Raya seperti dijelaskannya:

“Dalam perjuangan kita (PAS) bagi mencapai kemerdekaan, kita telah dan terus menerus memperjuangkan Melayu itu sebagai kebangsaan bagi negara Tanah Melayu ini dengan bertapak di atas asas ideologi Islam yang maha suci.”

Dan dalam bukunya Falsafah Kebangsaan Melayu (1954), beliau mengetengahkan pandangannya tentang dasar kebangsaan Islam: “Islam memandang kebangsaan itu sebagai suatu alat bukan tujuan. Kebangsaan hendaklah mengambil tempat yang sederhana dan bulat sebagai suatu lambang yang boleh menarik dan menyatukan suatu bahagian tenaga untuk mencapai cita-cita mulia yang besar dan abadi, sebagaimana Islam memandang dunia bukan tujuan tetapi hanya satu alat atau tunggangan yang menyampaikan ke akhirat”.

Nilai asabiyyah sempit ditolak, ditempa dengan asabiyyah positif yang dibarengi oleh kesedaran, semangat persaudaraan dan solidaritas sosial yang tinggi seperti yang diungkapkan oleh Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah, yang menolak fanatisme dan faham perkauman sempit dan menekankan ikatan masyarakat dan budaya yang kuat, keselarasan sosial, keadilan, dan kebenaran sebagai kunci bagi melahirkan sebuah negara yang teguh dan asas yang menopang kebangkitan, seperti dihuraikan oleh Ustaz Haji Yusuf Rawa dalam ucapan dasar Muktamar PAS pada tahun 1984:

“Kita yakin walaupun manusia dijadikan Allah terdiri daripada berbagai-bagai bangsa dan keturunan, tetapi bangsa dan keturunan tidak boleh dijadikan teras pembentukan suatu ideologi yang menentukan nilai-nilai dan pegangan perjuangan yang benar… kecenderungan menolong orang-orang Melayu dari kalangan pemimpin yang berbangsa Melayu, tidak seharusnya melampaui batas-batas kebenaran dan keadilan. Kecenderungan itu tidak seharusnya dilayani sehingga membenarkan kezaliman, pembaziran, perlindungan ke atas jenayah dan rasuah. Begitu juga pembaziran, kezaliman, rasuah dan penyelewengan, tidak seharusnya dibiarkan menjadi rintangan dalam usaha-usaha untuk memperbaiki kehidupan orang-orang Melayu.”

[Riduan Mohamad Nor 2008; Makkal Sakhti 2008: Analisis Pilihanraya Umum ke-12].

Menurut Ustaz Yusuf, faham asabiyyah ini telah mengasak dalam masyarakat yang tertindas dan merupakan warisan penjajah yang harus ditolak: “Orang-orang Melayu menjadi mundur kerana amalan sistem ‘asabiyyah yang zalim. Sistem yang zalim itu mestilah dihancur-musnahkan… kerana sistem ‘asabiyyah yang zalim itulah menjadi punca kemunduran dan penderitaan seluruh rakyat… fahaman nasionalisme asabiyyah di negara kita adalah warisan pemikiran penjajah yang dicorakkan mengikut acuan nasionalisme barat dan sikap permusuhan barat terhadap Islam. Perjuangan parti-parti asabiyyah ini tidak akan dapat mewujudkan pemikiran baru di kalangan rakyat Malaysia yang bebas dari pertentangan dan tanaqudat.”

Dalam artikelnya yang disiarkan oleh The Malaysian Insider bertajuk “Apa mesej PAS” Dr Mujahid Yusof Rawa menekankan: “Ketuanan Bangsa bagi PAS terpaksa tunduk kepada keadilan Islam, dengan cara itu orang Melayu akan selamat dan bukan Melayu akan terjamin. Inilah politik baru yang PAS cuba bawakan supaya negara ini tidak lagi terjerat dengan kitaran ketuanan bangsa yang UMNO perjuangkan selama ini.”

 

Penerus Perjuangan

Perjuangan Dr Burhanuddin ini akan terus dikenang oleh generasi PAS yang baru, yang terkesan dengan aspirasi yang dicetuskan dan digerakkannya, dan daya tahannya yang keras mengasak dan meniupkan idealisme pembaharuan. Tradisi perjuangan yang dimulakannya akan terus dinyalakan untuk menebus perjuangan para pejuang kemerdekaan yang cekal berjuang menuntut kebebasan. Harakat dan cita-cita perjuangannya yang keras akan terus dibakar dengan hasrat perjuangan yang lebih besar, seperti yang disingkap oleh sasterawan ulung A. Samad Said dalam puisinya yang khusus dilakarkan untuk Dr Burhanuddin berjudul Tapak Yang Luhur:

pagi ke malam berjuang tegap,
di tengah rakyat gigih bersikap…
menyala unggun zaman yang garang,
membakar tekad cekal berjuang.”

 

Rujukan

Abdullah Hussain (1996), “Burhanuddin al-Helmi, Pelopor Kebangkitan Semangat Kebangsaan Melayu”. Dewan Masyarakat, Nov. 1996.

Ahmad Boestamam (1972), Merintis Jalan ke Puncak. Kuala Lumpur: Pustaka Kejora.

Burhanuddin al-Helmy (t.t.), Hari-Hari Aku Dizalimi. Gombak: PAS. 

Burhanuddin al-Helmy (1957), Suara Islam, 16 Januari, 1957.

Burhanuddin al-Helmy (1988), ‘Ucapan Dasar Parti PAS, 1956’ dalam Jomo K.S. (ed.), Islam dan Sosialisme. Kuala Lumpur: Ikraq Press.

Farish A. Noor (2004), Islam Embedded: The Historical Development of the Pan-Malaysian Islamic Party PAS (1951-2003). 2 jil. Kuala Lumpur: Malaysian Sociological Research Institute.

Ismail Said (2008), “Parti Islam Sa-Malaysia: Kepimpinan dan Perjuangan dari Tahun 1951 hingga 1970” (Tesis Phd, Universiti Sains Malaysia).

Kamarudin Jaffar (1980), Dr Burhanuddin Al-Helmi: Politik Melayu dan Islam. Kuala Lumpur: Yayasan Anda.

Kamarudin Jaffar (1979), “Perjuangan Dan Pemikiran Politik Dr. Burhanuddin Al-Helmy”. Akademika 15.Kamaruddin Jaffar (2000), Dr. Burhanuddin Al-Helmy, Pemikiran Dan Perjuangan. Kuala Lumpur: IKDAS.

M. Natsir (1980), Fiqhud-Da‘wah. Kuwait: IIFSO.

Mohd Fuzi Omar (2005), “Burhanuddin Al-Helmy: Political Activities and Ideas”, dalam Zeenath Kausar (ed.), Contemporary Islamic Politcal Thought, A Study of Eleven Islamic Thinkers. Kuala Lumpur: Reseach Centre, IIUM.

Mujahid Yusof Rawa (2003), Permata Dari Pulau Mutiara. Kuala Lumpur: Warathah Haji Yusof Rawa Sdn. Bhd. dan Dewan Muslimat.

Ramlah Adam (1996), Burhanuddin al-Helmy: Sebuah Kemelut Politik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka.

Ramlah Adam (1993), Dr. Burhanuddin al-Helmy: kajian mengenai kegiatannya dalam PKMM 1946-1948. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya.

Riduan Mohamad Nor (2008), Makkal Sakhti 2008: Analisis Pilihanraya Umum ke-12. Kuala Lumpur: Jundi Resources.

PAS (2003), Negara Islam. Kuala Lumpur: Parti Islam Se-Malaysia.

Saliha Hj. Hassan (1972), “Dr Burhanuddin Al-Helmi, A Political Biography” (Latihan Ilmiah, B.A, Universiti Malaya).

Salina Hj Hassan (1986), “Dr Burhanuddin Al Helmy, 1911 – 1969”. JEBAT, bil 14.

Seminar Pemikiran Dr. Burhanuddin al-Hilmi (2009), (anjuran Pusat Kecemerlangan Ummah, di Dewan Auditorium Daeng Chelak, Muzium Sultan Alam Shah, Shah Alam, 2 Ogos, 2009)

Zainal Abidin bin Abdul Wahid (1978), “Semangat Perjuangan Melayu”. Seminar Sejarah Intelektual dan Perjuangan Kebangsaan Melayu, Universiti Malaya, 18 November, 1978.

 


Dr Ahmad Nabil Amir adalah Ketua, Abduh Study Group, Islamic Renaissance Front. Beliau adalah Sarjana PhD dalam bidang Usuluddin daripada Universiti Malaya.

Nostalgia Kolonial Macron: Projek Islamik anti-Muslim

$
0
0

Salman Sayyid  || 17 Februari 2022
Terjemahan: Ahmad Muziru Idham

Dalam satu lagi langkah Islamofobia, rejim Perancis bersedia untuk menubuhkan sebuah badan baharu bagi menguruskan penduduk Muslim terbesar di Kesatuan Eropah, iaitu Forum Islam (The Forum of Islam) di Perancis. Forum ini akan terdiri daripada orang-orang yang dipilih oleh Paris, di mana ia bukannya untuk mewakili masyarakat Muslim tetapi untuk membantu Macron membentuk Islam mengikut imej Perancis sendiri.

Perancis Sekular Membiayai Sekolah-Sekolah Kristian di Negara Muslim

Macron dan para menterinya menegaskan bahawa forum tersebut akan menghalang ekstremisme, mengekang pengaruh kuasa asing dalam hal ehwal agama minoriti di Perancis dan memastikan agar umat Islam mematuhi tuntutan-tuntutan sekularisme di negara itu dalam kehidupan awam. Sukar untuk justifikasi ini diambil secara serius apabila pada masa yang sama, rejim Perancis menggandakan pembiayaan sekolah-sekolah Kristian di negara yang mempunyai populasi Muslim yang besar.

Bagi negara yang mengaku dirinya sebagai sekular seperti Perancis untuk membiayai sekolah-sekolah Kristian asing nampaknya bercanggah dengan dasar terhadap Islam dan warganegara Muslim di negara sendiri. Malangnya, kita semua sudah terbiasa dengan piawaian berganda (double standards) oleh kuasa-kuasa Barat sehinggakan percanggahan sebegitu jarang mengejutkan kita lagi.

Islamofobia Menjadi Sebuah Pendirian Totok

Kuasa Barat mempunyai sejarah yang panjang dalam penyebaran demokrasi di dalam negara dan menyokong kezaliman serta para penjahat di luar negara, dan seseorang boleh berhujah bahawa  Perancis terlibat dalam kebiasaan kepura-puraannya yang tidak masuk akal ini. Namun begitu, semenjak awal tahun 1990-an, rejim di Perancis telah berturut-turut memulakan perang salib bagi menentang ekspresi keIslaman.

Ramai penganalisis beranggapan bahawa Islamofobia Macron hanyalah sekadar taktik pilihan raya. Walau bagaimanapun, pandangan ini mengabaikan bagaimana Islamofobia tidak sekadar berhenti di peringkat pra-pilihan raya selepas kempen pilihan raya selesai semata-mata, kerana kempen yang seterusnya memanjangkan lagi Islamofobia tersebut.

Akibat daripada serangan berterusan ini, Islamofobia telah merebak daripada menjadi intipati daripada terhadap parti berhaluan kanan kepada menjadi pendirian standard bagi sebahagian besar negara dan masyarakat Perancis merentasi spektrum politik.

 

Islamofobia sedang diarusperdanakan di seluruh dunia

Kesan normalisasi Islamofobia berkisar daripada gangguan polis dan keganasan terhadap orang Islam, diskriminasi dalam peluang pekerjaan, penggunaan pelbagai proses pentadbiran untuk mengharamkan organisasi sivil dan hak asasi manusia, termasuklah – sebagai contoh – Kolektif Melawan Islamofobia di Perancis, yang merekod dan melaporkan tentang rasisme yang ditujukan kepada Muslim. Jadi, bukan sahaja pertubuhan Perancis mempromosikan dasar Islamofobia, bahkan mereka telah berusaha untuk mendiamkan mereka yang memerangi Islamofobia dan meningkatkan kesedaran tentang akibatnya.

Melihat peningkatan Islamofobia di Perancis sebagai episod terpencil adalah merupakan suatu kesilapan. Islamofobia sedang diarusperdanakan di seluruh dunia. Rejim ultra-nasionalis di seluruh dunia semakin meluahkan ketakutan dan keinginan mereka melalui bahasa Islamofobia. Pengarusperdanaan ini bermakna meningkatkan penumpuan dalam justifikasi yang digunakan oleh golongan Islamofobia untuk menjelaskan tindakan diskriminasi mereka.

Apa yang berbahaya mengenai pengarusperdanaan Islamofobia di Perancis bukan sahaja ia secara langsung mengancam kehidupan seramai enam juta orang Islam, malahan ia telah dipupuk selama beberapa dekad dalam demokrasi liberal yang tersergam dan dikenali ramai. Maka, hal tersebut memaparkan bahawa Islamofobia bukanlah sekadar dikaitkan dengan kedidaktoran tentera, rejim totalitarian, koloni penjajah, atau dinasti yang zalim. Liberalisme dan demokrasi telah bersekongkol dengan kolonisasi atau penjajahan dan rasisme, justeru tidak ada sebab untuk mereka tidak boleh terlibat dengan Islamofobia.

Dasar Islamofobik sebagai sebuah bentuk rasisme

Islamofobia bukannya kebencian terhadap Muslim atau pertikaian tentang perkara akidah. Ia adalah sejenis rasisme yang menyasarkan tingkah laku dan kumpulan yang dianggap sebagai mempamerkan keIslaman. Islamofobia bukan hanya mengenai serangan terhadap Muslim di jalanan oleh individu tertentu; Islamofobia juga adalah mengenai diskriminasi oleh institusi. Rasisme bukanlah sekadar kepercayaan yang orang ramai bawa dalam kepala mereka; sebaliknya, ia adalah sistem pemerintahan. Apa yang penting kepadanya bukanlah kewujudan “kaum”, tetapi proses perkauman.

Ia adalah sebuah proses yang menukar kumpulan sosial kepada kumpulan biologi. Sebagai contoh, apabila Muslim melalui kawasan lapangan terbang, terdapat keseluruhan sistem pengawasan yang mengenal pasti mereka mengikut cara mereka berpakaian, penampilan mereka, negara mereka datang atau pergi, apa yang mereka bawa dalam bagasi tangan, dan cara mereka bercakap. Sistem pengawasan mengenal pasti Muslim bukannya berdasarkan status ketaatan beragama atau niat dan ciri-ciri individu, tetapi berdasarkan sama ada mereka memiliki tanda-tanda keIslaman ataupun tidak.

Walau bagaimanapun, keIslaman bukanlah semata-mata soal hijab, janggut, dan makanan halal; ia semakin dilihat sebagai sebuah identiti yang berkait di seluruh dunia dan bukannya terkandung dalam negara-bangsa. Seorang Muslim dipaparkan sebagai anti-nasional; dia dijadikan sebagai tanda tidak setia, entiti asing yang tidak dapat diubah lagi, dan suatu tanda sebuah negara itu tidak sempurna.

Sebuah nostalgia penjajah

Sekularisasi bermaksud menghancurkan keIslaman. Sekularisasi bukanlah pemisahan antara “gereja” daripada negara; apabila berkaitan dengan Muslim, ia bermaksud pengilhakan (annexation) oleh negara terhadap institusi Islam dan proses nasionalisasi wajib mereka. Percubaan untuk menasionalisasikan umat Islam dan memisahkan mereka daripada sebarang bentuk kesatuan ummah adalah merupakan sebuah ciri Islamofobia di seluruh dunia.

Ia bukanlah kepercayaan sekularisme yang mendorong rejim Perancis, tetapi ia digerakkan oleh nostalgia kolonial. Paris tidak dapat menerima kemerosotannya di pentas dunia dan melihat kegigihan sifat keIslaman yang degil sebagai suatu penghinaan terhadap bayangannya sendiri. Kemaraan Islamofobia di Perancis sepertimana di tempat lain di dunia menandakan penggantian janji kewarganegaraan inklusif dengan pemerintahan kolonial yang bersifat aperteid.

Sekiranya Forum Islam di Perancis ini bertujuan mendamaikan umat Islam dengan identiti Perancis, ia sepatutnya mempunyai struktur yang mewakili suara Muslim dan bukannya bersubahat dengan pembungkaman umat Islam. Ia tidak akan menjadi badan yang dilantik oleh rejim. Ia akan menerima hakikat bahawa masalah Islamofobia adalah masalah di Perancis, bukannya masalah umat Islam. Ia akan menerima hakikat bahawa Islamofobia adalah sejenis rasisme yang perlu ditentang, bukannya didorong. Ia akan mengiktiraf perjuangan menentang Islamofobia bukanlah sekadar perjuangan untuk keadilan bagi umat Islam atau mereka yang dianggap sebagai Muslim ataupun sekutu orang Islam, sebaliknya ia adalah perjuangan untuk memelihara dan mengembangkan kebebasan yang diperoleh dengan jerih payah untuk semua pihak.


Dr Salman Sayyid adalah Professor Pemikiran Dekolonial dan Retorik (Professor of Decolonial Thought and Rhetoric) di University of Leeds, United Kingdom. Beliau merupakan penulis bagi buku “Recalling the Caliphate:
Decolonisation and World Order” (yang diterjemahkan dan bakal diterbitkan oleh IRF kepada Himbauan
Khilāfah: Dekolonisasi dan Tatanan Dunia). Artikel ini adalah terjemahan daripada esei asal yang bertajuk: Macron’s colonial nostalgia: anti-Muslim Islamic project.

Para Penterjemah: Marmaduke Pickthall, Yusuf Ali, dan al-Qur’an – Bahagian II

$
0
0

Oleh: Steve Noyes
Penterjemah: Ahmad Muziru Idham Adnan || 15 May 2022

Artikel asal: https://rabbitholemag.com/the-translators-marmaduke-pickthall-yusuf-ali-and-the-quran/

Bagi semua perbezaan di antara ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat, terjemahan al-Qur’an, Pickthall dan Ali tidaklah terlalu berbeza. Mereka berdua memilih untuk menulis dalam sebuah daftar antik yang menyerupai bentuk kata kerja dan kata ganti nama Elizabethan English, bahasa Shakespeare dan Jonson, demi menangkap bahasa Arab al-Qur’an yang tinggi, yang sangat dikagumi oleh kaum Muslimin kerana mereka percaya ia merupakan firman Tuhan yang diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Ia benar-benar terletak di tengah semua kesusasteraan Arab. Ia merupakan bahasa Arab terbaik, atau sebagaimana firman Allah, “bi-lisāninarabiyyīn mubiin” (dalam bahasa Arab yang jelas – Sūrah Al-Syu’ara: 195).

Al-Qur’an itu sendiri jelas tentang sifatnya yang tidak tertanding. Ia mencabar masyarakat Arab untuk menghasilkan satu ayat atau satu surah sebaik al-Qur’an dan memberi amaran kepada mereka: “Sesungguhnya kamu tidak mampu”. Oleh sebab itu, suatu kepercayaan kuat bagi seseorzng Muslim adalah al-Qur’an itu tidak boleh diterjemahkan; seseorang hanya boleh menunjuk ke arah maksudnya dan memberi pengertiannya secara kasar. Terjemahan adalah sebuah kerja yang pasti tewas, kerana sesuatu pasti akan hilang dalam suatu perjalanan teks ke bahasa sasaran. Dalam al-Qur’an, terjemahan akan menyebabkan kehilangan kesan suaranya, kebagusan iramanya, dan gandingan frasa-frasa rumitnya. Penterjemah tidak akan dapat menangkap kedekatan bunyi ketukan pada baris pertama Surah Al-Lahab (Bapa Segala Api) comtohnya: TaBBaT yada aBi lahaBin wa TaBBa. (Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya binasalah beliau.) Seseorang mesti menyelesaikan pengulangan tetapi tidak dapat membaca rajah pantas T dan B. Begitu juga, seseorang tidak dapat meniru frasa yang dipadankan dan berirama dalam Surah Ar-Rahmān (Yang Maha Pengasih):

Ar-raHmān
‘allama al-Qur’ān
khalaqa al-insān
‘allamahu al-bayān
ash-shamsu wa al-qamar bihusbaan
wa an-najmu wa ash-shajaru yasjudaan

Bahasa Inggeris mesti diperpanjangkan, kerana ia menambah kata ganti nama dan kata kerja bantu, serta ia tidak kaya seperti mana ritma bahasa Arab. Maka, Yusuf Ali menterjemahkan semudah mungkin yang beliau mampu:

Yang Maha Pengasih,
Yang telah mengajarkan al-Qur’an,
Yang telah menciptakan manusia,
Yang telah mengajarkan manusia bertutur (dan memberikannya kebijaksanaan),
Matahari dan bulan beredar mengikut laluan yang telah diperhitungkan setepatnya,
Dan tumbuh-tumbuhan serta pohon-pohon – keduanya (sama-sama) tunduk menyembah.

Salah satu ciri khas al-Qur’ān adalah iltifah (berpusing), iaitu keupayaan untuk meluncur di antara beberapa sudut pandang dan strategi retorik dalam beberapa baris, justeru memaksa penterjemah untuk menambah konteks ataupun maklumat andaian bagi menentukan pembicara dan yang dibicarakan. Iltifah adalah sesuai sepenuhnya untuk kepelbagaian bahan yang al-Qur’ān ceritakan – selalunya dalam satu surah – segala-galanya daripada penglihatan imaginasi tentang Hari Penghakiman, kepada peraturan perundangan dan sosial; daripada kisah nasib bangsa terdahulu, kepada penerangan tentang alam semesta fizikal; daripada kisah dramatis yang Panjang, kepada sifat-sifat Allah. Daripada bahagian pertama Sūrah Yusuf, petikan ini menggambarkan iltifah dalam pergerakan di antara suara Allah dan Yusuf, dan di antara pembingkaian do’a dan ucapan langsung:

Yusuf Ali: Kami ceritakan kepadamu kisah yang paling indah, di mana Kami wahyukan kepadamu (sebahagian) al-Qur’ān ini: sebelum ini, engkau pun termasuk dalam kalangan orang-orang yang tidak mengetahui. Lihatlah! Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai bapaku! Aku melihat sebelas bintang dan matahari serta bulan: Aku melihat mereka sujud kepadaku!”

Pickthall: Kami ceritakan kepadamu (wahai Muhammad) sebaik-baik kisah yang Kami wahyukan kepadamu al-Qur’ān ini, walaupun kamu dahulunya termasuk orang-orang yang lalai. Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: Wahai bapaku! Perhatikan! Aku melihat dalam suatu mimpi sebelas planet dan matahari serta bulan, aku melihat mereka sujud kepadaku.”

Pada peringkat diksi, terdapat kes di mana salah satu daripada mereka adalah salah. Dalam Sūrah Al-Qāri’ah (Hari Malapetaka), Pickthall yang keliru di antara umm (rumah, tempat tinggal, perlindungan) dengan um (ibu) telah menulis, “Yang dalam kesedihan dan kelaparan itulah akan menjadi ibunya”, manakala Ali pula menulis, “Yang tempat tingalnya dalam sebuah lubang yang tidak berdasar” seperti para penterjemah lain (pit, abyss, hole, dll). Dalam Sūrah al-Fīl (Gajah), Pickthall menterjemah perkataan ’aSfin ma’kuula sebagai “tanaman hijau yang dimakan (oleh lembu)”, dan Ali pula menterjemahnya sebagai “ladang yang kosong dengan tangkai dan jerami (yang jagungnya) telah dimakan”. Ali betul: perkataan Arab ‘aSfin adalah bermaksud jerami.

Kebiasaannya Pickthall kelihatan kekal literal, manakala Ali pula meneroka dengan lebih kreatif untuk memberikan versi perumpamaan seperti kehendak bahasa Arab. Dalam Sūrah Al-Balad (Kota), Pickthall menterjemah, “Dan engkau adalah penduduk kota ini  – Demi yang melahirkan dan dilahirkan, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebuah suasana,” sedangkan Yusuf Ali menterjemahkan, “Dan engkau adalah orang yang merdeka dari Kota ini – Dengan (ikatan mistik daripada) ibubapa dan anak; Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam susah payah dan ujian“.

***

Hasil kesusasteraan Pickthall dan Ali adalah sangat mengagumkan. Pickthall menerbitkan 20 buah novel dan koleksi cerpen, manakala Ali pula banyak menulis buku non-fiksyen, terutamanya mengenai undang-undang, budaya, dan sejarah India Muslim. Kedua-duanya merupakan penyumbang tetap kepada banyak jurnal dan boleh memaparkan pengetahuan yang mengkagumkan mengenai banyak subjek Islam.

Marmaduke memulakan kerjaya sasteranya dengan kisah pengembaraannya yang mengujakan melalui Lubnan dan Syria dalam bukunya Oriental Encounters, yang menempatkan dirinya dalam tradisi pelawat Inggeris ke Timur Tengah yang termasuk Richard Burton, Alexander Kinglake, dan Charles Doughty. Sangat mudah untuk merasai kebebasan Pickthall yang menyenangkan dalam pengembaraannya, dengan latar belakang yang menyesakkan dan memulakan semangat Lihatlah! Mari kita bergerak ke hadapan! Beliau setia merakam cara pertuturan dan cerita dongeng keagamaan masyarakat yang mempengaruhi novel-novel Islamnya. Dalam novel Said The Fisherman yang merupakan hasil kejayaan pertamanya, beliau menulis watak-watak Timur Tengahnya bercakap dengan cara yang berwibawa dan baik – sikap yang sebenarnya mengaburi ketamakan yang mendasar – yang sangat mengingatkan kepada gambaran Dickens terhadap kelas penjenayah. Tetapi beliau juga menawarkan – untuk zamannya – paparan tentang keupayaan negatif yang jarang berlaku. Said diserang dengan kejam dan dihantar ke England – tempatnya mengembara dan sesat – melalui London Victoria yang halusinogenik, diiringi kelaparan dan keputusasaan; sebuah pencapaian yang benar-benar setanding dengan karya klasik tentang disosiasi gelandangan, iaitu novel Hunger karya Knut Hamsun.

Pada tahun 1914, setelah tinggal di Istanbul, Turki, Pickthall menerbitkan With the Turk in Wartime, di mana beliau melaporkan tentang Perang Dunia Pertama dari sudut pandang orang Turki, dan berhujah untuk meninggalkan dasar British di Balkan yang pro-Russia dan pro Kristian, demi memelihara Empayar Uthmaniyyah. Beliau merasakan bahawa orang Turki adalah penegak terbaik bagi tamadun Islam, sebuah pendirian yang dipegangnya sepanjang perang. Hal ini menyebabkan berlakunya konflik dengan seorang pegawai kanan British, Sir Mark Skyes, yang menafikan visanya untuk pergi ke Vienna bagi membuka saluran belakang diplomatik pro-Turki. Perkara ini adalah penting: hal ini menatijahkan – atau beliau sangat percaya – kepada penolakan visanya;-peluang untuknya di England hilang, dan beliau terpaksa berpindah ke India pada tahun 1920.

Kekecewaannya terhadap golongan elit Inggeris diungkapkan dalam novelnya yang penuh ironis, iaitu Sir Limpidus. Watak Sir Limpidus dalam novel tersebut adalah contoh keistimewaan, keterpencilan, dan ketidakpekaan, iaitu sikap masyarakat Inggeris yang berakar umbi sehingga tidak perlu lagi dinyatakan dengan jelas. “Dialah Inggeris itu; sebenar-benar Inggeris; Inggeris itu sendiri adalah beliau.” “Limpidus, kamu nampaknya dilahirkan dengan kehebatan, kerana kamu sentiasa berfikir dengan tepat bagi apa yang seorang Inggeris pada kedudukan kamu akan fikirkan”. Di sini, Limpidus bertanyakan tentang kewajaran pembunuhan politik di Balkan:

“Tetapi, bukankah ia adalah agak melampau?”

“Hal itu bukanlah perkara luar biasa di kawasan ini. Ia adalah kaedah diplomasi Timur yang diiktiraf”

“Oh, jika kamu pasti bahawa ia sentiasa dilakukan….”

Pada penghujung novel, setelah dipukul kasar oleh pekerja kesatuan pekerja, rakan sekerja yang lebih bijak daripada kelas pedagang, dan wanita-wanita yang berjuang untuk hak mengundi mereka, serta terkejut dengan “sikap tidak sopan yang keji dan tidak berterima kasih yang tersembunyi dalam kalangan masyarakat bawahan,” maka Limpidus mengalu-alukan Perang Dunia Pertama “untuk mengembalikan mereka kepada kewarasan”.

Dengan Yusuf Ali – kerjayanya sebagai birokrat Perkhidmatan Awam India yang berjaya – usaha sastera pertamanya adalah buku non-fiksyen yang ditulis – tanpa ragu lagi – sebagai tugasan kerjaya mengenai budaya ulat sutera di India, dan lebih luas lagi, mengenai kehidupan, industri, dan adat resam India seperti Life and Labour of the Peoples of India. Buku tentang sutera adalah mengagumkan kerana buku tersebut mendedahkan visi empayarnya tentang sebuah tanah di mana pekerja sutera India adalah kumpulan tidak bernama yang bertungkus-lumus dalam tugas-tugas mereka sekian lama. Satu-satunya orang yang dinamakan adalah pelabur asing dalam penggarapan sutera. Dalam Life and Labours, topeng empayar dipakaikan dengan lebih kukuh. Walaupun penerangannya tentang kampung dan bandar India adalah tepat – bilangan bakul untuk barangan keperluan di pondok pekedai; waktu senja apabila lembu dihalau pulang; laluan berbukit lumpur merentasi ladang terbiar – namun perkara-perkara tersebut dilaporkan pada masa sekarang yang tidak dibataskan waktu, seolah-olah menggambarkan drama pentas yang berpanjangan dan tidak statik yang dipanggil sebagai Village Life, tanpa perasaan ataupun variasi individu. Bahkan, beliau menulis: “Idea mengenai ‘misteri tentang Timur’, tentang kedalaman perasaan dan pemikiran yang sangat luas, di mana idea-idea Inggeris hanyalah terapung seperti buih, adalah tidak benar.” Walaupun beliau belajar bahasa Arab dan Islam sepanjang hayatnya, namun visinya mengenai tamadun India yang hampir mati secara kerasnya menghakimi orang-orang yang “berpendidikan lama”:

Impian mereka tertumpu di sudut-sudut tersebut dan di penjuru sejarah yang tidak pernah sampai ke cahaya kemodenan. Cita-cita mereka tidak pernah menyesuaikan diri mereka dengan tuntutan kehidupan moden…daripada mereka, tiada kemajuan yang boleh diharapkan.

Dalam India and Europe: A Study in Contrasts, Ali menetapkan sebuah dikotomi (palsu) di antara Timur dan Barat, dan adalah jelas bahagian mana yang beliau pilih: [Pandangan Timur adalah] kehidupan yang harus ditadbir oleh kuasa spiritual”, manakala pandangan Barat adalah “kehidupan sosial yang harus dikawal oleh undang-undang dan majistret serta angkatan bersenjata negara”.

Mereka berdua telah merentasi budaya sewaktu awal kerjaya mereka, dan cuba untuk menggambarkan jarak tersebut, namun belum memperoleh pengetahuan untuk menterjemah al-Qur’an.

Dunia Pickthall dan Ali secara fundamentalnya adalah berbeza daripada dunia kita. Ia secara radikalnya adalah lebih terpisah. Perjalanan dari dunia Barat ke Timur mengambil masa berminggu-minggu dengan kapal wap, bukannya berjam-jam. Berita dari negara jauh – terutamanya penerbitan-penerbitan daripada wilayah bukan taklukan empayar – tiba pada beberapa minggu atau bulan kemudian, mengembara perlahan-lahan melalui pos melalui jarak yang jauh. Hakikat Empayar menentukan ekonomi seluruh benua, cawangan pengeluar komoditi untuk para pemerintah empayar. Sekeping gambar daripada Felix Barker – Edwardian London – sudah memadai untuk membangkitkan kerakusan ini. Di atas dermaga berkabus, lima barisan panjang gading gajah dibentangkan di atas papan, terbentang ratusan meter, melepasi sosok dua orang lelaki bersaiz kecil, ke arah sesuatu yang tidak pernah mencapai titik lenyap. Keterkaitan  rasmi dengan Empayar British berjaya menjamin suatu akses segera ke peringkat tertinggi masyarakat di seluruh dunia. Dalam beberapa jam selepas tiba di Istanbul, Pickthall telah minum dengan menteri kabinet Turki. Yusuf Ali tinggal seketika di salah satu rumah desa Inggeris yang hebat, di mana beliau bersosial dengan Lord Morley dan aristokrat-aristokrat lainnya.

Dalam kehidupan penterjemah, sewaktu Empayar merosot dan peperangan membawa kepada perjanjian baharu, kita melihat penciptaan negara-negara bangsa baharu – terutamanya di Timur Tengah – menganggu pemikiran ummah Muslimin atau masyarakat antarabangsa. Identiti diri rakyat dengan negara bangsa (dan konflik yang terhasil) adalah kisah abad ke-20.

Ia juga merupakan zaman kefanatikan yang dipamerkan secara eksplisit, yang mengingatkan kepada baris puisi penyair Kanada, Al Purdy, tentang potret tegas nenek moyangnya yang setia pada empayar, “yang mengutuk moral keseluruhan rakyat”. Semangat zaman (zeitgeist) penuh dengan tanggapan tentang Darwinisme sosial serta kaum terunggul dan yang terendah: dalam cara fikir sebegini, kaum terunggul – iaitu Eropah – adalah sesuai untuk memerintah, manakala kaum terendah adalah sesuai untuk dijajah, iaitu layak untuk diperintah. Malah bahasa dianggap sebagai sebab dan akibat daripada tatanan dunia ini. Otto Jesperson dalam bukunya History of English Language (1905) menyatakan bahawa, bahasa Inggeris pada dasarnya bersifat kelelakian dan rasional, lantaran susunan yang masuk akal dan praktikal, manakala bahasa pribumi adalah malas, feminin dan tidak mempunyai makna yang kuat.

Kedua-dua Pickthall dan Ali adakalanya memaparkan mentaliti esensialis ini. Pickthall yang sudah tentunya dipengaruhi oleh prejudis Young Turks yang sangat dikaguminya menulis, “Orang berbangsa Turki, sebagai bangsa kulit putih, memiliki keutamaan semulajadi daripada banyak bangsa berwarna lain di dunia Muslim.” Beliau juga menggelarkan orang Armenia sebagai bangsa “pengkhianat, pengintip, penipu, pemalsu sumpah, pembohong, yang sama sekali tidak tahu malu atau tiada terhormat,” sambil menambah bahawa “ini bukanlah perkara menyenangkan untuk ditulis, namun ianya benar.” Yusuf Ali begitu meminati bangsa Inggeris sehingga beliau menggelar mereka sebagai “pemerintah asli India” kerana “keupayaan mereka mengatur tamadun mereka yang unggul,” sambil kesal dengan organisasi Muslim India (“Banyak organisasi kami hanyalah bersifat nominal”) dan pasif (“kami berpuas hati untuk mengimpikan masa lalu kami dan mengabaikan masa kini dan masa hadapan kami”).

Apabila kita melihat kehidupan dari zaman lampau, apakah yang boleh kita harapkan untuk dicari, melainkan sikap yang tidak kita persetujui dan projek-projek politik yang gagal? Cabarannya adalah untuk membaca kesetiaan politik Pickthall dan Ali melalui lensa pascakolonial yang sangat kritikal, sedangkan jika dilihat daripada kehidupan mereka, kesetiaan, dan sebab-musabab politik mereka adalah rencam, bernuansa, dan tidaklah sepenuhnya kaku. Kedua-dua lelaki itu menyokong pemulihan semula Khilāfah dalam beberapa bentuk sebagai sebuah simbol Pan-Islamisme dan penyatuan ummah Muslimin atau negara, selepas Ataturk memansuhkannya di Turki. Bagi Pickthall, Khilāfah harus kembali ke Turki yang dicintainya; bagi Ali, gerakan khilafat terikat dengan banyak perkembangan politik yang berputar di India – termasuklah kerjasama Muslim-Hindu – sebagai sebuah gerakan untuk swaraj, pemerintahan sendiri, dan angkatan solidariti. Walau bagaimanapun, Pickthall mengambil bahagian dalam banyak demonstrasi Ghandi yang enggan bekerjasama dengan Inggeris; manakala Ali, sebagai penyokong setia Empayar, tidak turut serta.

Sherif (penulis biografi Yusuf Ali) juga telah menyatakan bahawa beberapa tindakan mereka adalah “tidak bersesuaian dengan keluhuran semangat mereka. Yusuf Ali sebagai contoh adalah pengkagum British seumur hidup; ketika masyarakat sezamannya menyokong pejuangan Uthmaniyyah semasa Perang Dunia, beliau dengan sukarelanya, menjadi seorang propagandis Empayar. Pickthall pula memakai pakaian seragam British pada tahun 1918 (semasa Britain berperang dengan Empayar Uthmaniyyah) dan bukannya mengisytiharkan dirinya sebagai penentang peperangan yang peka.

“Pengajarannya adalah untuk menerima kekaburan dan ketidak-konsisten dalam kehidupan masyarakat, dan berhenti daripada menghakimi,” kata Sherif. Atau, seperti yang ditulis oleh sejarawan agung Arab, Albert Hourani, “Tetapi dalam kehidupan sebenar, percanggahan tidak perlu diselesaikan; keduanya boleh hidup beriringan.”

Penulis biografi Pickthall, Anne Fremantle, yang mengenali Pickthall semasa beliau masih seorang gadis kecil, dan mengaku kepadanya ketakutan yang luar biasa terhadap kematian. Tertekan dengan ketakutannya yang tidak rasional, Pickthall menghiburkannya dengan berkata, “Allah memudahkan segalanya bagi hamba-Nya, begitu juga kematian.”

Pickthall meninggal dunia pada tahun 1935 secara tiba-tiba akibat serangan sakit jantung semasa bercuti dengan rakan-rakannya di Cornwall ketika berhasrat untuk pulang ke India untuk meneruskan perkhidmatan di Nizam Hyderabad. Yusuf Ali pula hidup lebih lama dalam senja yang suram dan terpencil, mula-mula sebagai lelaki tua pendiam yang tinggal di National Liberal Club di London, dan kemudiannya merayau-rayau di jalan-jalan di London dalam keadaan miskin dan tanpa tujuan, dengan menggengam segala apa yang ia miliki. Sebagaimana beliau telah terjemahkan: “Jika Kami panjangkan umur seseorang, Kami jadikannya berbalik kepada sifat asalnya.” Beliau juga telah meninggal dunia akibat serangan jantung pada tahun 1953 selepas ditemui di hadapan anaktangga dan dibawa ke hospital. Kematiannya hampir tidak diketahui sehinggakan Suruhanjaya Tinggi Pakistan terpaksa menguruskan pengebumiannya.

Ansari melakarkan garis yang agak jelas dan keras di antara pendakian sosial Ali dan pengakhirannya yang sunyi, membayangkan bahawa kelas atasan Inggeris yang disayangi Ali telah mengabaikannya. Nash pula kurang gemar untuk menghuraikan kematian Ali kerana terlalu mempercayai Anglophilia; beliau lebih cenderung bahawa pepatah Arab adalah lebih merujuk kepada: qadaa’ wa qadara (dengan takdir dan ketetapan Ilahi), yang bermaksud bahawa kematian Ali adalah sesuatu yang bersifat transenden, dan bukannya sebuah keadaan sosial yang tidak dapat dihalang.

Dalam tanah Perkuburan Brookwood, kini terdapatnya jejak-jejak yang dapat ditafsirkan, di mana letaknya kuburan Pickthall dan Ali, yang telah ditandakan dengan sewajarnya, serta pencapaian-pencapaian mereka turut dicatatkan. Majlis Woking juga telah bersetuju untuk membuang tanda yang sekian lama telah memadamkan memori terhadap mereka.


Pohon Kebajikan Ahmad Syafii Maarif: Keislaman-Keilmuan-Kemanusiaan

$
0
0

Oleh: Muhammad Abdullah Darraz

 

Pendahuluan: Anatomi Pohon Kebajikan Ahmad Syafii Maarif

Menyelami satu sosok pribadi yang benama Ahmad Syafii Maarif tidak dapat dilihat hanya dari satu aspek. Buya adalah seorang manusia multi-dimensional yang perlu dilihat secara utuh. Setidaknya ada beberapa perspektif fundamental yang perlu kita lihat untuk memotret siapa itu Ahmad Syafii Maarif. Prof. M. Amin Abdullah, belum lama ini dalam pidato Syafii Maarif Memmorial Lecture untuk mengenang 40 hari wafatnya Buya Syafii mengatakan, setidaknya menyebutkan ada enam aspek yang menjadi konsen seorang Buya Syafii sepanjang hidupnya, yakni keislaman, keummatan, keindonesiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan kemanusiaan. Menurut Amin Abdullah, sepanjang karir kehidupannya, Buya Syafii telah bergumul dengan tanpa lelah dengan enam elemen dasar tersebut dalam hidup beragama, bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1]

Namun di atas enam elemen dasar yang menjadi konsen Buya Syafii itu sendiri, jika diizinkan saya ingin mencoba mendedah “anatomi konsen dan pemikiran” Buya Syafii dari tiga aspek, yakni keislaman/keimanan, keilmuan, dan amal-kemanusiaan (termasuk di dalamnya soal integritas dan moralitas). Dari sana kita akan mencoba juga melihat aspek-aspek penting sebagaimana spirit yang senantiasa dipegang oleh Buya Syafii sebagai seorang Muslim neo-modernis progresif, yang menjadikan al-Qur’an sebagai timbangan nilai dalam mengukur semua aspek dalam kehidupan ini. Maka tidak keliru kalau seandainya saya mencoba memotret sosok seorang Buya Syafii berdasarkan ayat al-Qur’an surat Ibrahim ayat 24-25.

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik (syajarah thayyibah), akarnya teguh, dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”.

Ayat ini berbicara tentang kalimah thayyibah yang diumpamakan sebagai sebuah pohon kebajikan (syajarah thayyibah), yang memiliki tiga karakter: pertama, pohon tersebut memiliki akar yang kokoh yang menghujam ke dasar bumi. Dalam konteks memotret sosok Buya Syafii, maka yang dipandang sebagai akar ini adalah aspek keislaman atau keimanan dan ketauhidan yang diyakini oleh Buya yang menjadi akar penopang kehidupan Buya secara utuh dan bulat. Satu hal yang seringkali luput dibicarakan oleh publik ketika berbicara tentang pemikiran Buya. Karena ada sebagian orang yang menyebutkan Buya adalah tokoh liberal yang telah melepaskan agama/keimanan dalam kehidupannya.

Kedua, pohon tersebut memiliki dahan yang kuat dan rantingnya tinggi menjulang ke langit. Perumpamaan ini terkait dengan konsen keilmuan Buya. Sebagaimana kita ketahui Buya adalah seorang Cendekiawan dan Intelektual Publik yang selama ini memiliki konsen terhadap realitas sosial umat dan bangsa. Ia mendedikasikan dirinya sebagai corong bagi kepentingan masyarakat luas dengan berbagai tulisan, karya dan ilmu-ilmu yang menjadi minat utamanya. Ia bukan seorang intelektual di menara gading. Tapi konsen keilmuannya dipakai untuk menjadi alat melakukan perubahan sosial, menyadarkan masyarakat, dan mengkritisi pemerintah/Negara yang dianggap belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Sebagai peminat sejarah, ia memberikan analisis yang mendalam dan kritis tehadap jalannya sejarah umat Islam sejak periode-periode awal kehadiran Islam hingga pada masa kontemporer, sehingga umat dapat “siuman” dari berbagai kejumudan, keterpurukan, dan kemunduran yang terjadi dan apa yang menjadi akar penyebab keterpurukan umat Islam pada umumnya di dunia dewasa ini.

Ketiga, pohon tersebut menghasilkan buah yang tak bermusim. Buahnya selalu ada memberikan kemanfaatan bagi siapapun yang ingin memetiknya. Buya seperti pohon besar dengan daun dan buah yang lebat menjadi tempat berteduh bagi siapa saja dari berbagai latarbelakang yang berbeda, baik agama, ras, suku, budaya dan sub-kultur lainnya. Buah itu berbentuk kecintaan Buya pada bangsa dan negeri ini, juga sikap Buya yang sangat toleran tehadap realitas perbedaan, sangat ramah dan memperhatikan terhadap kelompok miskin dan tepinggirkan, kelompok minoritas yang tertindas, juga integritas serta moralitas yang berada di atas rata-rata penduduk negeri ini. Dalam hal kemanusiaan ini, Buya juga senantiasa memperjuangkan keadilan sosial, karena kemanusiaan tanpa keadilan sosial, hanya menjadi menciptakan kerapuhan bagi bangunan kemanusiaan itu sendiri.

Keimanan yang Teruji

Buya Syafii adalah seorang Muslim sejati. Seorang yang memiliki keimanan yang kokoh. Inilah yang jika diumpamakan dengan pohon kebajikan di atas, ia memiliki akar yang kokoh. Keimanan seorang Buya adalah sebuah akar menghujam di dasar hatinya. Keimanan yang telah teruji. Di sepanjang separuh hidupnya, Buya mengalami betul ujian-ujian besar dalam kehidupannya. Ujian-ujian yang telah menguji keimanannya. Tidak kurang sepanjang empat puluh tahun pertama kehidupannya, Buya berkarib sangat intim dengan penderitaan, kemiskinan, kesengsaraan dan kehilangan yang beliau lalui bersama istri tercinta beliau, Bu Lip (Khalifah).

Sejak usianya masih sangat-sangat dini, ia sudah ditinggalkan oleh Ibunya, Fathia. Tepatnya pada saat usianya masih 18 bulan, ibundanya yang telah melahirkannya wafat pada tahun 1937. Buya menceritakan dalam sebuah tulisan Resonansi Republika “Demikianlah saat saya berusia 18 bulan pada tahun 1937, ibu wafat, sehingga bagaimana wajah dan perawakannya tak terbayangkan sama sekali.”[2]

Setelah ditinggal ibunya pada usia 2 tahun kurang, Buya kecil diasuh oleh keluarga paman dan bibinya yang merupakan adik kandung ayahnya, selama tidak kurang 16 tahun. Sepanjang usia tersebut buyamengenyam Pendidikan di sekolah rakyat dan sekolah Muhammadiyah. Sekolah dasarnya dihabiskan disekolah rakyat dan sekolah ibtidaiyah Muhammadiyah, dan smpnya di pesantren Mualimin Muhammadiyah Lintau yang berjarak 45 km dari kampung halamannya. Lalu di usia 18 tahun Buya merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di pesantren Muallimin Yogya dengan berbagai keterbatasan yang menghinggapinya. Dua tahun ketika berada di Yogya, ayahnya pergi untuk selamanya di saat usia Buya baru beranjak 20 tahun. Karena tidak ada biaya, ia tidak bisa pulang kampung untuk melakukan penghormatan terakhir dan menghadiri pemakaman ayahnya.

Dalam situasi sebagai anak rantau yang penuh dengan keterbatasan, Buya dikirim oleh Muallimin Yogya sebagai anak panah Muhammadiyah untuk mengabdi di sebuah desa bernama Pohgading di Pulau Lombok. Setelah setahun mengabdi di Pohgading, Buya kembali ke Jawa untuk melanjutkan studi tingkat univesitas. Akhirnya setelah melalui kelas sekolah pendahuluan, Buya diterima di Universitas Cokroaminoto dan belajar selama 6 tahun antara 1957-1964.

Dalam pengakuannya sebagai seorang yang hidup dalam kemiskinan, Buya mengatakan, “suasana hidup miskin adalah pakaianku sehari-hari selama bertahun-tahun. Gontai dan tertatih langkah ini untuk berumah tangga pada waktu itu sering benar dibayangi oleh situasi yang serba kekurangan itu. Guncang batinku juga tidak terlepas dari lingkaran situasi yang masih serba melilit itu”.

Setelah Buya berumahtangga, ujian kehidupan datang silih berganti. Ketika keluarga kecil ini dikaruniai seorang anak bernama Salman, kehidupan keluarga ini dililit oleh tekanan dan himpitan ekonomi, sehingga anak yang seharusnya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik menjadi menderita kurang gizi. Anak pertama Buya ini tidak dapat tumbuh dengan normal. Di saat anak seusianya sudah dapat berjalan, Salmantidak dapat melakukannya. Di saat masa-masa kritis ini, Ibu Lip dan Salman harus terpisah dari Buya untuk kembali ke Padang agar Salman dapat diurus di kampung halaman oleh keluarga istrinya Buya. Hingga kabar duka itu tiba, Salman yang lahir dalam keadaan sakit-sakitan tidak dapat bertahan hidup. Pada usia kurang dari 20 bulan, anak pertama ini akhirnya meninggal dunia, dipanggil oleh Allah swt. Buya yang sedang berada di rantau di Yogyakarta, baru bisa menjenguk istri dan makam anaknya 6 hari kemudian. Ada hal yang menyayat hati ketika membaca kesaksian Buya tentang hal ini:

“.. Salman berpisah denganku dan kembali ke Padang karena tekanan dan himpitan ekonomi rumah tangga yang gagal kuatasi. Karena kondisi labil semacam inilah Lip dan Salman harus begabung dengan keluarganya di Padang.”[3]

Setelah peristiwa meninggalnya anak pertama Buya, berbagai ujian terus menimpa Buya hingga sepanjang delapan tahun perjalanan hidup Buya bersama keluarga. Termasuk kematian anak kedua beliau yang bernama Ikhwan, ketika beliau sedang mengambil studi master Sejarah di Amerika Serikat, tepatnya di kampus Northern Illinois University pada tahun 1973. Tidak kurang sampai usia Buya 40 tahun, ujian-ujian berupa penderitaan, kesengsaraan, dan kehilangan itu terus datang bertubi-tubi.

Inilah saya kira yang menjadi alasan kuat mengapa keimanan Buya semakin hari semakin kokoh. Keimanan yang telah teruji. Tapi ketika kehidupan Buya bersama keluarga mulai merangkak naik, ujian kenikmatan dan kehidupan serba berkecukupan juga dapat Buya lalui secara baik dan konsisten. Buya tetap menjalani laku hidup sederhana. Tidak merasa menjadi orang-kaya baru yang mengubah pola dan gaya hidupnya menjadi seseorang yang berbeda. Buya tetap menjadi seorang yang tidak berpola hidup berlebihan. Karena Buya sangat paham agama, dan sangat menyadari realitas mayoritas masyarakat Indonesia masih terhimpitdalam kemiskinan, dan serba kekurangan. Maka di sinilah Buya menampakkan keimanan yang empatik. Keimanan yang tidak hanya bersifat vertikal, namun juga keimanan itu berbuah pada konsern dan kegelisahan terhadap realitas sosial yang patut ia perhatikan.

Maka bukan hanya keimanan yang kuat yang menghujam dalam dirinya, juga keimanan yang senantiasa dibaluti oleh rasa syukur kepada Tuhan atas berbagai karunia yang ia terima seberapapun sulit keadaan yang ia hadapi. Dalam hal rasa syukur ini, Buya menulis,

Hanya Engkaulah Ya Allah yang memahami betul betapa dalam rasa syukurku kepadamu. Arwah ayah-bundaku tentu akan tersenyum menyaksikan anak bungsunya belajar sampai jauh ke Barat. Tanpa bimbingan-Mu ya Allah, anak piatu yang digendong ayahnya ke tepi Batang Sumpur setelah ibunya wafat boleh jadi tidak akan ke mana-mana. Paling-paling jadi pedagang kecil tingkat desa ataukecamatan, lalu beranak pinak di sekitar itu. Oleh sebab itu, jangan biarkan aku lengah dalam bersyukur kepada-Mu. Jangan Engkau biarkan aku mati rasa setelah bergunung nikmat-Mu dilimpahkan kepadaku sekeluarga, nikmat-Mu yang tanpa putus, tanpa batas”.[4]

Keimanan Buya Syafii bukanlah keimanan yang egoistik, namun lebih jauh keimanannya menjadi dasar bagi sikap yang ramah dan humanis bagi realitas perbedaan yang ada di dunia ini. Keimanan tentang kebenaran Islam tidak lantas meluruhkan sikap respek dan rasa hormatnya terhadap pemeluk agama lain yang berbeda. Keimanan Buya benar-benar diresapi dalam batinnya baik dalam laku kehidupan sehari-hari, dalam ritual ibadah, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun demikian, Buya adalah seorang yang senantiasa mempertanyakan keimanannya, dalam artian sejauh mana keimanan itu memiliki dampak positif bagi kehidupan ini? Apa bedanya orang-orang pemegang “sertifikat” keimanan dengan orang yang tidak dalam perlombaan membangun peradaban ini? Dalam sebuah tulisan, Buya mempertanyakan lebih jauh bagaimana agar keimanan dan aqidah umat ini menjadi lebih efektif, menjadi kekuatan dan memiliki dampak sosial. Dengan mengutip pandangan Malek Bennabi (1905-1973), Buya menyatakan bahwa masalah yang kita hadapi bukanlah bagaimana membuktikan (an-nubarhina) tentang eksistensi Tuhan kepada kaum Muslim, tetapi bagaimana kita membuat kaum Muslim merasakan eksistensi-Nya serta mengisi jiwanya melalui refleksi tentang-Nya sebagai sumber energi.[5] Bagi Bennabi sebagaimana diamini oleh Buya Syafii, iman adalah sumber energi untuk mengubah realitas sosial ke tingkat yang lebih baik dan lebih sempurna. Oleh karenanya iman akan menuntut pada dinamisme dan kreativitas seseorang secara terus menerus untuk mengubah arah dan jalannya sejarah.

Dalam soal keimanan ini, kita juga bisa menangkap secara jelas bagaimana keimanan seorang Buya Syafii pada al-Qur’an. Bagi Buya, tidak ada keraguan secara eksistensial tentang keberadaan al-Qur’an sebagai kitab pedoman dan petunjuk bagi kehidupan. Buya juga memposisikan al-Qur’an bukan hanya sekedar petunjuk dalam persolan keagamaan, namun lebih jauh Buya menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam mencarikan persoalan kehidupan yang dihadapi, dengan catatan al-Qur’an diajak dialog dengan menggunakan aqlun shahih wa qalbun salim.

“Bagiku, Al-Qur’an adalah rujukan terakhir dan tertinggi dalam merumuskan sikap hidup beragama. Inilah aku setelah dewasa, setelah belajar al-Qur’an daripada Fazlur Rahman selama beberapa tahundi Chicago, tempat pendidikanku yang terakhir sekalipun dalam usia yang hampir mendekati setengah abad karena memang demikianlah jalan hidup yang harus dilalui”[6]

Pembacaan dan penafsiran terhadap al-Qur’an bagi Buya Syafii harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang lebih kreatif dan dinamis, agar petunjuknya dapat benar-benar merespon persoalan kemanusiaan kekinian[7] dan syukur-syukur dapat membentuk tatanan peradaban baru yang lebih ideal yang dapat memayungi kehidupan harmonis-damai kemanusiaan universal. Dalam hal ini Buya menyampaikan,

“Peradaban Islam tidak boleh dibiarkan seperti “kerakap di atas batu, mati tidak, hidup pun enggan. Harus ada keberanian untuk melakukan terobosan dengan berpijak atas dalil-dalil agama yang dipahami secara benar dan cerdas, tekstual sekaligus kontekstual.”[8]

Soal pendekatan yang lebih dinamis dan kreatif dalam memahami ayat-ayat al- Qur’an, Buya menegaskan,

“Penafsiran Islam klasik jangan dijadikan “berhala”, sehingga hilang keberanian untuk menafsirkan Islam dengan cara baru, segar, dan bertanggungjawab. Tafsiran baru ini harus benar dalam perspektif ilmu, tetapi tetap berada dalam parameter iman yang tulus”

Buya percaya – sebagaimana diyakini pula oleh gurunya Fazlur Rahman, bahwa realitas umat Islam yang jauh dari cita-cita ideal al-Qur’an bukan karena kesalahan al-Quran itu sendiri yang bagi sebagian orang problematis dan dianggap sukar untuk diterjemahkan dan dimplementasikan dalam kehidupan di bumi yang empiris ini. Kekeliruan itu terjadi ketika umat ini hidup dan menjalankan misi kesejarahannya tanpa panduan al-Qur’an yang dipahami secara benar. Dalam bukunya, Buya mengutip pendapat gurunya, “We live in a different kind of Islam, not in a Qur’anic Islam”. Kira-kira kalau dipahami terjemahannya adalah “Saat ini kita hidup dalam corak Islam yang lain, bukan dalam Islam yang Qur’ani”.[9]

Rupanya baik Buya maupun Rahman sama-sama menyadari bahwa Islam yang kita jalankan saat ini tidak lagi merujuk pada sebuah Islam yang didasarkan pada konsep al-Qur’an yang jenuin dan orisinal. Dalam penjelasan selanjutnya Buya menyatakan, bahwa saat ini al-Qur’an tidak lagi dipahami secara benar dan cerdas. Hal ini yang membuat umat Islam menjadi umat yang tertindas, bodoh, dan miskin. Islam yang dijalankan tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Bahkan dalam sebuah ceramah, untuk memperkuat pandangannya ini, Buya mengutip sebuah ayat al-Qur’an yang cukup relevan untuk membaca kelakuan umat pengikut Nabi Muhammad ini dalam memperlakukan al-Qur’an. Allah berfirman: “Berkatalah Rasul: YaTuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan (mahjura)” (Q.S. al-Furqan: 30)

Bahkan suatu saat dalam pertemuan terbatas yang menghadirkan tidak lebih dari 10 orang cendekiawan Muslim Top Indonesia[10], Buya membela al-Qur’an yang menjadi pedoman hidupnya itu ketika seorang sarjana Muslim memberikan “tantangan” dengan mengatakan, bahwa al-Qur’an ini merupakan kitab suci yang problematis, banyak ayat-ayat di dalamnya yang memang mengajak pada kekerasan. Rupanya seorang intelektual didikan barat yang sama-sama pernah mengenyam pendidikan di kampus tempat Buya berkuliah ini (University of Chicago) meyakini bahwa bukan hanya penafsiran para mufassir yang problematis, tetapi al-Qur’an itu sendiri yang problematis dengan keberadaan beberapa ayatnya yang cenderung pro tehadap kekerasan. Pada saat itu Buya lantas menyanggah pernyataan tersebut dan menyatakan bahwa al-Qur’an sama sekali tidak bepretensi demikian. Dalam keyakinan Buya, al-Qur’an adalah kitab suci yang penuh kebenaran, tidak mengandung problem sebagaimana diutarakan oleh intelektual tersebut. Tafsiran yang cenderung pro pada kekerasan lah yang menjadi biang kerok sehingga seolah al-Qur’an dipersepsikan orang menjadi problematis. Dalam hal ini posisi intelektual Buya jelas membela al-Qur’an dan menyalahkan umat atau pembaca atau penafsir yang gagal mengambil inti makna dari pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an.

Keilmuan: Membaca Sejarah dan Masa Depan Politik Umat Islam secara kritikal

Dalam hal keilmuan Buya adalah seorang peminat dan pembaca sejarah dengan sebuah “misi tertentu”[11]. Oleh karena itu, ketika membaca narasi sejarah umat Islam, Buya mencoba membacanya denganpembacaan yang sangat kritis. Buya seolah ingin mengabarkan pada publik bahwa Islam sebagai agama yang diyakini dan dianutnya, belum berhasil memberikan persembahan terbaik bagi dunia dewasa ini. Dan menjadi tugas dan tanggungjawab umat Islam untuk mewujudkan sesuatu bagi peradaban dunia. Ada juga kerisauan batin yang terus menyala dalam diri Buya tentang Indonesia, tanah air yang sangat ia cintai dan identitas keindonesiaan yang belum tuntas, di mana di dalamnya belum berhasil mewujudkan janji-janji kemerdekaan yang pernah diucapkan oleh para pemimpin sejak puluhan tahun yang lalu.

Pertama terkait Islam termasuk di dalamnya Politik Islam yang semakin hari semakin mengalami disorientasi, dan bahkan dalam pandangan Buya menuju pada tubir kebangkrutan, terutama bila dilihat dari segi moralitas dan memakai al-Qur’an sebagai alat ukur nilainya.

Dalam konteks ini, Buya semakin merisaukan wajah Islam yang semakin tidak ideal, yang jauh dari spirit dan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Karena seharusnya Islam yang hadir dan hidup di bumi adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi tehadap masalah-maslah besar baik dalamkonteks kebangsaan, kenegaraan, maupun dalam milieu yang lebih luas yakni fora dunia[12]. Atau dalam bahasa rumusan al-Qur’an, adalah Islam yang menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan li al-‘alamin). Islam yang dibayangkan oleh Buya adalah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang, tanpa diskriminasi, apapun agama yang diikutinya atau tidak diikutinya. Namun dalam kenyataannya wujud Islam yang semacam itu masih jauh dari harapan dan realita. Ini yang menjadi kegalauan dan kerisauan Buya selama ini.

Dalam hal kerisauannya tentang masa depan Islam yang tengah mengalami kemerosotan ini dan berada di burit peradaban, pandangan kritis Buya terasa sangat tajam menelusur secara historis ke akarnya yang terdalam. Dalam memandang masa depan dunia Islam, Buya menarik busur analisisnya secara sangat jauhke berbagai peristiwa historis umat Islam terutama pada periode-periode awal pembentukan umat ini, terutama pada berbagai peristiwa mencengangkan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Bagi Buya, periode tesebut menjadi masa-masa yang sangat menentukan nasib perjalanan umat Islam selanjutnya, dan bahkan ekses negatifnya dirasakan hingga saat ini.

Dalam banyak tulisan, sebagai seorang peminat sejarah, Buya menemukan bahwa asal mula dan biang kerok kemunduran Islam bisa dilihat dari akar konflik dan pertikaian yang terjadi duapuluh empat (24) tahun setelah Rasul wafat. Yakni pertikaian politik setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, yang telah menciptakan perang saudara yang disebut sebagai perang Unta (Jamal)[13]. Peperangan ini telah mengorbankan 6000 jiwa kaum Muslim[14]. Meski demikian menurut Buya peperangan ini belum lagi menghasilkan pertikaian teologis yang menyebabkan perpecahan kepada berbagai puak baik Suni, Syi’i, dan Khawarij. Tapi Buya meyakini bahwa pertikaian tersebut adalah pertikaian politik antar elite Arab saat itu dan bukanlah dipicu oleh pertikaian keagamaan apalagi pertikaian teologis.

Peristiwa pertikaian kedua terjadi pada perang Shiffin yang dipicu oleh ketidakpuasaan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan tehadap sikap Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menyikapi pembunuhan yang terjadi tehadap Khalifah Utsman sebelumnya. Muawiyah berasal dari Bani Umayah, sedangkan Ali bin Abi Thalib dari bahiHasyim. Keduanya sama-sama berasal dari suku Quraisy. Adapun Muawiyah merupakan satu marga dengan Utsman bin Affan.

Berdasarkan fakta di atas, Buya menyimpulkan bahwa pertikaian itu terjadi di kalangan elit Arab-Quraisy yang sebenarnya sama-sama memperebutkan kekuasaan. Maka dengan demikian patut disayangkan, karena pertikaian itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika mereka benar-benar memegang pesan kuncidalam al-Qur’an mengenai persaudaraan dalam Islam.

Dengan adanya fenomena pertikaian diantara sesama muslim tersebut, Buya sampai pada kesimpulan bahwa persengketaan dan perpecahan di kalangan orang beriman adalah sebuah pengkhianatan tehadap al-Qur’an[15]. Dalam kalimat lain, peristiwa peperangan yang menimbulkan perpecahan tersebut adalah satu bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur perdamaian, rahmat, belas kasih, simpati, dan kebaikan yang diajarkan dalam Islam.[16]

Persengketaan politik setelah perang Shiffin itu bukan hanya berakibat buruk bagi persaudaraan Islam yang koyak pada saat itu. Tetapi lebih jauh dari itu, persengketaan tersebut membuahkan pertikaian abadi yang melahirkan perpecahan berbagai kelompok yang akarnya bisa ditelusuri pada tiga firqah besar: Suni, Syi’i dan Khawarij. Dari tiga firqah ini beranak pinak menjadi lebih dari 700 firqah, sebagaimana dijelaskan oleh Buya dengan mengutip pendapat Abdul Mun’im Hifni dalam kitabnya Mausu’ah al-Firaq wa al-Jama’at wa al-Madzahib al-Islamiyyah[17]. Induk dari semua firqah ini dapat ditelusuri pada tiga ekspresi di atas yang semula semuanya bercorak Arab.

Di banyak tulisan Buya berhenti melakukan analisis tentang biang kerok perpecahan umat dan tumbangnya moralitas persaudaraan dalam Islam dengan menunjuk jari pada peristiwa Shiffin ini. Karena melalui peristiwa tersebut lahir tiga faksi utama yang menjadi cikal bakal perpecahan berbagai kelompok dalam tubuh umat Islam.

Namun demikian, sepertinya Buya agak sedikit luput untuk menelaah lebih jauh akar yang lebih dalam mengapa terjadi perpecahan dan pecah kongsi dalam tubuh persaudaraan umat Islam periode awal. Seolah Buya tidak ingin beranjak menelusuri lebih jauh ke periode yang lebih dini dari peristiwa perang Jamal atau peristiwa Shiffin itu sendiri. Karena bagi sebagian sarjana Muslim dan beberapa sejarawan kritis seperti Muhammad Abid al-Jabiri, Khalil Abdul Karim, Hisham Jait, dan Ibrahim Baydhun, akar persoalan perpecahan umat Islam berawal dari tidak tuntasnya proses musyawarah pada peristiwa pertemuan di Saqifah Bani Saidah. Peristiwa tersebut bagi para intelektual di atas memiliki ekses yang tidak kecil dan dampaknya tidaklah singkat. Peristiwa pembai’atan tehadap Abu Bakar itu sendiri ditengarai terjadi melalui sebuah dialog yang dipaksakan. Dalam istilah Khalil Abdul Karim peristiwa Saqifah menghadirkan dialog dengan senjata (al-hiwar bi al-silah)[18].

Ekses utama dari peristiwa Saqifah itu salah satunya bisa kita pertanyakan terkait posisi dan peran para sahabat dari kalangan Anshar dalam konstelasi politik umat pasca Rasul wafat terutama dalam masa-masa khilafah rasyidah. Nyaris kalau kita baca secara seksama, peran mereka sama sekali tidak menonjol, bahkan bisa dikatakan sangat nihil. Karena seolah keberadaan mereka telah tersingkirkan oleh deru dominasikekuasaan kaum Quraisy-Muhajirin. Seolah tidak ada ruang bagi kaum Anshar untuk berkiprah dalam entitas “Negara Madinah” pasca Rasul wafat. Bahkan dalam banyak riwayat, pemimpin kelompok Anshar yang benama Sa’ad bin Ubadah telah mengubah haluan politiknya menjadi seorang oposan bagi kekhilafahan rasyidah di Madinah dengan melakukan migrasi ke wilayah Syam/Suriah. Sampai-sampai dikisahkan, ia tidak mau lagi bermakmum dan berhaji bersama dua khalifah dari kaum Quraisy itu – Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khattab[19]. Ini menandakan persoalan kepemimpinan sejak Rasul wafat, bahkan sebelum jenazah beliau dimakamkan, telah menjadi faktor utama sengketa di kalangan kaum Muslimin. Dan lagi-lagi semua itu melibatkan kader-kader inti Nabi Muhammad SAW, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Fakta kerasi ni agak jarang disebutkan dan dianalisis secara lebih mendalam oleh Buya.

Kembali pada akar utama penyebab kemunduran dan krisis yang hinggap menyelimuti dunia Arab-Muslim. Dalam pandangan Buya, semua itu dikarenakan ego, kepentingan sesaat, dan hawa nafsu yang tak terkendali di kalangan sebagian umat, terutama di kalangan elitnya. Dalam sebuah tulisan Buya menyampaikan,

“Manakala ego, kepentingan, dan hawa nafsu mengalahkan kekuatan firman Allah, berarti kita telah berkhianat terhadap al-Qur’an, tetapi mengapa kita masih saja mengaku beriman kepada Kitab Suci ini? Tiga nilai buruk itu bisa saja dibungkus dalam selimut nasionalisme seperti yang sekarang berlaku antara Iran dan Saudi Arabia. Dalam kasus dua negara ini, yang dominan adalah sifat hegemonik, bukan karena perbedaan mazhab keagamaan”[20]

Tiga hal ini adalah faktor internal yang menyebabkan porak-poranda dan kehancuran yang mendera peradaban Arab-Muslim di berbagai belahan dunia. Bahkan dalam analisis lain, dengan mengutip pandangan Khaled Abou el-Fadl dan Mahmoud Khaled Mahmoud, Buya melihat ada faktor lain yang menjadi penyebab kegagalan kebangkitan dunia Islam di era kontemporer, terutama pasca era Musim Semi Arab pada tahun 2010 yang dimulai di Tunisia. Kegagalan tersebut diantaranya disebabkan oleh pertama, para pemimpinArab yang korup yang tidak mau kekuasaan dan kekayaan mereka terganggu dengan angin demokrasi yang dihembuskan Musim Semi Arab. Kedua, pemerintahan Barat yang rakus dan rasis yang cenderung mempertahankan status quo kondisi Arab yang relative dapat mereka tundukkan dan kendalikan.

Ketiga, kelompok “badut” (buffoons) yang angkuh yang mengklaim berbicara atas nama Islam. Kelompokbadut yang dimaksud Buya adalah kaum Islamis yang mewujud dalam bentuk kelompok radikal-teror seperti al-Qaeda, Jabhah Nusrah, ISIS, Boko Haram, dan sejenisnya. Mereka dalam pandangan Buya hanya sekedar pion yang diberi “kedok” Islam. Seolah-olah mereka benar-benar merepresentasikan ajaran Islam, umat Islam dan kepentingan Islam, padahal mereka hanyalah tukang manipulasi Islam untuk kepentinganpolitik-ekonomi kelompok mereka sendiri.

Tiga golongan ini diyakini telah menggagalkan upaya pembebasan dan kebebasan bangsa Arab dari tiranipenindasan, penghisapan, dan korupsi yang dilakukan oleh persekongkolan elit Arab dan pemerintahanbobrok Barat.[21] Hal ini ditambah dengan kegagapan umat Islam dari masa ke masa dalam membaca perilaku politik elit Muslim sejak awal hingga masa kontemporer telah menambah kegagalan yang sedang berlaku.

Persaudaraan Kemanusiaan yang Utuh dan Bulat

Isu kemanusiaan adalah isu utama yang digeluti oleh Buya Syafii. Bagi Buya, kemanusiaan itu seharusnya hanya satu, utuh, bulat dan tidak lonjong, sebagaimana ia meyakini benar tentang konsep kemanusiaan al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang secara jelas memotret manusia dalam kemanusiaannya sebagai entitas (umat) yang tunggal (Kāna al-Nass Ummah Wahidah). Untuk mengafirmasi pandangan al-Qur’an tentang konsep kemanusiaan yang tunggal ini, Buya juga seringkali mengutip pandangan dan sikaptokoh perdamaian dunia asal India, Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa “all humanity is oneundivided and indivisible family, and each one of us is responsible for the misdeeds of the others”.[22] Oleh karena itu prinsip kemanusiaan harus dijadikan dasar dalam bersikap dan menghadapi berbagai persoalan di dunia ini, termasuk menjadi dasar dalam beragama. Kebinekaan dan keragaman umat manusia baik dari segi latarbelakang suku, agama, etnis, dan budaya tidak boleh menciptakan sebuah situasi perpecahan yang dapat meruntuhkan perumahan kemanusiaan semesta. Maka satu-satunya sikap dalam menghadapi keragaman dan perbedaan yang ada di dunia adalah menerimanya dengan sikap terbuka dan lapang dada penuh ketulusan.

Oleh karena itu dalam pandangan Buya, perspektif kemanusiaan dalam menyikapi perbedaan harus diperkuat oleh ikatan persaudaraan sesama umat manusia tanpa melihat ragam asal usul kelahiran, suku, agama, budaya, dan latar belakang primordialitas lainnya. Maka dalam hal ini, Buya menawarkan sebuah konsep persaudaraan kemanusiaan universal. Sejurus dengan itu, konsep persaudaraan kemanusiaan universal harus juga disokong oleh keadilan universal, sehingga dalam hubungan antar umat manusia, perdamaian dan harmoni tetap dapat dijaga.

Ketika membicarakan masalah kemanusiaan universal ini, Buya berdialog dengan al-Qur’an terutama melalui beragam penafsiran terhadap ayat-ayat yang mengandung pesan kemanusiaan universal. Salah satu yang dikaji adalah surat al-Hujurat ayat 10. Bagi Buya untuk meneguhkan kemanusiaan universal, berbagai kelompok umat manusia harus benar-benar mewujudkan persaudaraan sejati antar umat manusia. Dalam al-Qur’an, persaudaraan sejati ini didasarkan pada persaudaraan keimanan dan bahkan persaudaraan lintas iman yang berbeda.

Dalam sebuah tulisan ketika mengupas makna dari ayat tersebut, Buya menyatakan, “ikatan keturunan, latarbelakang sejarah, dan bangsa tidak boleh menghancurkan bangunan persaudaraan universal berdasarkanagama. Tetapi yang berlaku adalah sebaliknya: persaudaraan imaniah berantakan akibat perbedaan suku, bangsa, mazhab, dan latar belakang sejarah. Betapa jauhnya bangunan dunia Islam dari cita-cita mulia al-Qur’an.”

Bagi Buya, persaudaraan umat manusia yang didasari oleh keimanan adalah sebuah persaudaraan yang sejati, sebuah persaudaraan yang tidak lagi hanya diikat oleh ikatan keturunan, latar belakang sejarah, bangsa, suku, etnis, dan budaya. Namun dalam kenyataannya seringkali persaudaraan kemanusiaan yang didasarkan pada ikatan keimanan, hancur luluh-lantak juga oleh adanya sentiment kesukuan, etnis, dan budaya. Hal ini yang patut disesali ketika mengevaluasi perjalanan bangunan persaudaraan di antarasesama umat Islam baik pada masa-masa awal pembentukan Islam, maupun pada periode yang lebih kontemporer.

Ketika membahas pesan kunci tentang persaudaraan universal pada ayat 10 surat al- Hujurat ini, Buya mengutip terjemah al-Qur’an yang dilakukan oleh Abdullah Yusuf Ali, di dalamnya dikatakan, “Pelaksanaan/penguatan persaudaraan Muslim merupakan cita-cita sosial Islam yang terbesar. Atas dasar itulah Khutbah Nabi saat di haji wada’ disampaikan, dan Islam tidak mungkin diwujudkan dengan sempurna sampai cita-cita ini berhasil diraih)[23]. Bagi Buya, Yusuf Ali telah menangkap dengan sempurna pesan historis dari ayat 10 ini”.[24]

Masa Depan Demokrasi dan Harapan pada Mentalitas Negarawan

Sejak awal Buya membela demokrasi sebagai sebuah sistem yang ideal untuk diterapkan di manapun termasuk di Indonesia. Meskipun pembelaan itu dilakukan dengan catatan yang cukup panjang. Karena dalam kenyataannya, penerapan sistem demokrasi tidak selamanya berjalan dengan penuh harapan dan sesuai dengan cita-cita ideal sistem tersebut diterapkan. Dalam pengakuannya, Buya memang membela demokrasi dalam teori, tapi secara konsisten mengkritiknya dalam praktik[25]. Dalam pandangan Buya, seharusnya antara teori dan praktik demokrasi tidak ada kesenjangan yang tejadi.

Dalam alam Indonesia merdeka, sejak awal demokrasi dijadikan sistem yang berlaku untuk menjalankankehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam perjalanannya, perkembangan demokrasi di Indonesia telah dirusak, dalam pandangan Buya, oleh para elitnya sendiri. Sepuluh tahun setelah kemerdekaan, negeri yang baru merangkak ini telah berhasil menyelenggarakan sebuah pemilihan umum yang berkualitas, jujur,adil, dan berwibawa pada tahun 1955. Hal ini dilakukan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap yang berasal dari partai Masyumi.

Bagi Buya keberhasilan Pemilu 1955 menjadi tonggak penting kehidupan demokrasi di Indonesia pasca-Kemerdekaan. Karena peristiwa politik tesebut menjadi penanda kemerdekaan dan kebebasan politik yang dimiliki oleh rakyat pasca sepuluh tahun merdeka. Namun usia kehidupan demokrasi atau prosesdemokratisasi tersebut harus terganggu dengan peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan dibubarkannya Konstituante hasil Pemilu 1955, karena Konstituante dianggap gagal menetapkan undang-undang dasarterutama mengenai pasal dasar negara. Maka kekuasaan akhirnya dimonopoli oleh pemimpin tertinggidan menetapkan sistem Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Proses ini jelas bagi Buya telah mencederai kehidupan demokrasi yang baru seumur jangung.

Demokrasi Terpimpin jelas merupakan sebuah sistem politik otoritarian yang telah memasung kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun yang juga lebih memprihatinkan setelah Demorasi Terpimpin tumbang dan digantikan dengan Demokrasi Pancasila ala Orde Baru, yang bukan hanya telah memasung, tapi malah telahmematikan demokrasi di Indonesia. Pembunuhan demokrasi ala Orde Baru dilakukan dengan mengatasnamakan Pancasila. Maka dalam istilah Buya, inilah yang disebut sebagai tragedi Pancasila, tragedi demokrasi selama tiga dasawarsa lebih.

Pancasila telah begitu indah diagungkan dalam kata dan kalimat, dalam pidato dan acara-acara resmi kenegaraan, namun senyatanya dikebiri dan dibungkam dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini Buya begitu sangat kritis ketika melihat kenyataan pahit semacam ini. Bahkan Buya menyebutnya sebagai pecah kongsi antara kata dan perbuatan dalam menggumuli Pancasila. Karena sejak awal Pancasila dirumuskan dengan kesaktian, namun selalu terkapar dalam realitas implementasi di lapangan.

Dalam kesaksian Buya, bahkan di antara lima sila Pancasila, ada satu sila yang telah menjadi yatim piatu, bahkan sejak kelima sila itu dilahirkan. Yakni sila ke-5 “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Ini artinya sila ini memang merupakan satu sila yang tak pernah diperhatikan dan dirawat oleh “ayah dan ibu kandung” yang telah melahirkannya serta “ayah-ibu sambung” yang seharusnya merawatnya. Sila yang sepertinya terlantar atau mungkin sengaja diterlantarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejak lahir hingga saat ini.

Jikapun demokrasi mengalami pasang-surut dan timbul-tenggelam dalam kehidupan bangsa ini, sila keadilan sosial tetap absen dalam menemani hiruk pikuk kehidupan rakyat Indonesia. Demokrasi sejatinya harus memastikan dan menjamin keadilan dan kesejahteraan sosial dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat luas. Realitas demokrasi baik pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) maupun pada era Demokrasi Pancasila (1966-1998), bukan hanya telah gagal menghadirkan keadilan sosial, tapi juga telah sama-sama memasung kebebasan dan kemerdekaan rakyat. Baru pada era Reformasi, kerana kebebasan itu telah dibuka seluasnya dalam batas-batas yang diharapkan, namun tetap gagal dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Ini tak lain menurut Buya karena kultur demokrasi kita masih belum matang dan ajeg. Demokrasi kita masih terlalu goyah jangankan untuk menghadirksan sebuah cita ideal keadilan sosial, bahkan untuk memastikan kebebasan itu berjalan, seringkali ruang demokrasi gagal untuk menghadirkannya. Bukan hanya karena pasungan struktural dari kekuatan negara yang cukup hegemonik, tapi juga pasungan itu juga seringkali hadir dari sesama warga bangsa yang merasa berada di atas angin mayoritas. Ini menjadi persoalan demokrasi kita.

Dalam angan Buya Syafii, untuk menghadirkan keadilan sosial, kultur demokrasi pada bangsa ini harus benar-benar diperkuat dengan menghadirkan sebanyak mungkin sosok- sosok negarawan yang memiliki visi yang jauh dan luas untuk kepentingan bangsa. Sebuah visi untuk sungguh-sungguh menghadirkan keadilan sosial melalui proses demokrasi. Bahkan bukan hanya menghadirkan sosok negarawan, tapi yang juga sangat penting adalah mewujudkan mentalitas negarawan di kalangan warga dengan semangat mau berkorban untuk kepentingan yang lebih luas dan berlapang dada terhadap perbedaan. Mentalitas negarawan adalah sebuah karakter yang pada dirinya “sudah selesai”. Dalam artian ia tidak lagi memikirkan kepentingan jangka pendek untuk dirinya dan kelompoknya. Seseorang yang betul-betul telah selesai dengan persoalan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Sehingga ia betul-betul memfokuskan diri dan energi positif yang dimilikinya untuk berkhidmat pada kepentingan bangsa, kepentingan negara, kepentingan umat dan manusia pada umumnya.

Sosok dan mentalitas negarawan seperti ini dapat memastikan umur demokrasi kita menjadi lebih panjang untuk diwujudkan dan dihidupkan dalam riak pergerakan berbangsa dan benegara. Satu pribadi yang seringdijadikan rujukan utama sosok dan mentalitas negarawan yang sejati dalam pandangan Buya Syafii adalah sosok Bung Hatta, sang proklamator Indonesia. Ia bukan hanya seorang yang demokratis secara nyata, tapi ia benar- benar seorang negarawan yang memikirkan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya. Seorang yang menangguhkan urusan pernikahannya yang bersifat pribadi karena memikirkan kemerdekaan bangsa ini yang lebih fundamental. Pada sosok-sosok dan karakter yang dimiliki oleh seorang seperti Hatta lah Buya Syafii menaruh harapan dan optimisme agar bangsa ini bakal segera siuman dari berbagai krisis kehidupan yang menimpanya, termasuk krisis dalam kehidupan berdemokrasi. Sebagaimana optimisme Hatta sendiri terhadap realitas demokrasi di negeri ini, sebagaimana ungkapannya berikut:

“Pengakuan di muka Tuhan akan bepegang pada Pancasila itu tidak mudah diabaikan. Dan di situ pulalah teletak jaminan bahwa demokrasi tidak akan lenyap di Indonesia. Ia dapat tetekan sementara dengan bebagai rupa. Akan tetapi lenyap ia tidak. Lenyap demokrasi berarti lenyap Indonesia Merdeka”[26]

Penutup

Artikel ini tidak berpretensi untuk menguraikan semua isu, tema, dan konsen yang selama ini telah digeluti oleh Buya Syafii Maarif. Buya sebagai seorang intelektual publik tentu memiliki kepekaan yang cukup tinggi terhadap berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, agama yang senantiasa menggelayuti kehidupan bangsa ini. Tapi kiranya mudah- mudahan tulisan ringan ini cukup untuk memotret pemikiran Buya Syafii berdasarkan pada perspektif keimanan/keislaman, keilmuan, dan kemanusiaan yang menjadikonsen dan perhatian Buya Syafii selama ini. Tentu ketiganya tidak luput untuk dilihat berdasarkan konteks Indonesia dan keindonesiaan yang menjadi tanah air dan identitas yang sangat Buya cintai secara tulus itu. Satu hal yang sering terngiang dari pesan fundamental yang sering Buya sampaikan tentang kecintaannya yang tulus pada tanah air ini adalah agar tanah air dan bangsa ini bisa bertahan dalam keutuhan dan persatuan sampai satu hari sebelum kiamat. Mari kita jaga asa dan cita Buya ini besama-sama!

 

Nota akhir:

[1] M. Amin Abdullah, Buya Ahmad Syafii Maarif, Muslim Progresif, Fruitful Patriotism, dan Pembela Pancasila, Makalah disampaikan dalam Syafii Maarif Memorial Lecture, 5 Juli 2022, hal. 2

[2] Ahmad Syafii Maarif, Menggali Makam Ibu, Resonansi Republika, 19 Februari 2013. Lihat juga Ahmad Syafii Maarif, MemoarSeorang Anak Kampung, hal. 68

[3] Ahmad Syafii Maarif, Memoar Si Anak Kampung, hal. 184

[4] Maarif, Memoar Si Anak Kampung, hal. 82

[5] Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, hal 202

[6] Maarif, Memoar Si Anak Kampung, hal 61

[7] Mun’im Sirry, ‘Ahmad Syafii Maarif dan Rekonfigurasi Pembacaan al-Quran’, dalam Darraz, dkk (eds.), Muazin Bangsa dari MakkahDarat, hal. 56

[8] Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, bandung: Mizan, 2015, hal. 318-319

[9] Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, hal. 278

[10] Pertemuan terbatas ini diadakan di sebuah tempat di Jakarta yang difasilitasi oleh Leimena Institute pada 6 Desember 2017. Di antara yang hadir selain Buya adalah Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. M. Amin Abdullah, Prof. Dr. Alwi Shihab, Kyai Shalahuddin Wahid, Kyai Masdar Farid Mas’udi, Prof. Mun’im Sirry, Ph.D., Dr. Jacob Tobing, Matius Ho, Ph.D., dan beberapa lainnya termasukpenulis sendiri yang hadir dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri perdebatan tersebut.

[11] Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, hal. 15

[12] Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, hal. 17

[13] Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, hal. 3, 15

[14] Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, hal. 4

[15] Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, hal. 29

[16] Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, hal. 41

[17] Lihat Abdul Mun’im Hifni dalam kitabnya Mausu’ah al-Firaq wa al-Jama’at wa al-Madzahib al- Islamiyyah, Kairo: Dar al-Rasyad, 1993; Lihat Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, hal. 192

[18] Khalil Abdul Karim, al-Judzur al-Tarikhiyyah li al-Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Sina li al-Nasyr, 1990, hal. 110; lihat juga M. Abdullah Darraz, Khilafah, Bay’ah dan Pembentukan Otoritas Politik-Keagamaan dalam Islam, dalam M. Abdullah Darraz (ed.), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme, Bandung: Mizan, 2017, hal. 515

[19] Baca ulasan mengenai hal ini pada tautan berikut: https://geotimes.id/kolom/saad-bin-ubadah-dan- absennya-politik-representasi-dalam-khilafah-rasyidah-bagian-1/ dan https://geotimes.id/kolom/saad-bin-ubadah-dan-absennya-politik-representasi-dalam-khilafah-rasyidah-bagian-2/

[20] Maarif, Al-Quran, Umat Islam, dan Persaudaraan Universal, Resonansi 13 Januari 2015

[21] Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, hal. 158

[22] Lihat Ahmad Syafii Maarif, Persaudaraan Sejati Umat Manusia: Perspektif Seorang Muslim, Makalah disampaikan pada Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman, bertempat di Kompleks Museum Misi Muntilan, Jl. R.A. Kartini No. 3, pada 24-25 Oktober 2014

[23] Maarif, Al-Quran, Umat Islam, dan Persaudaraan Universal, Resonansi 20 Januari 2015; lihat juga Maarif, Krisis Arab dan MasaDepan Dunia Islam, hal. 139-140

[24] Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, hal. 140

[25] Maarif, Islam dalam Bingkai KeIndonesiaan dan Kemanusiaan, hal. 145

[26] Hatta, Demokrasi Kita, Jakarta: Pustaka Antara, 1966, hal. 30; Lihat juga Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, hal. 162-163.


Muhammad Abdulah Darraz adalah Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Beliau juga adalah aktivis Intelektual Muda Muhammadiyah, dan Direktur Eksekutif di MAARIF Institute for Culture and Humanity periode 2017-2019. Ucapan ini disampaikan dalam Workshop Ilmiah Forum Mahasiswa PAscasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada Sabtu 16 Juli 2022 dengan tema: “Guru Bangsa dan Politik Indonesia: Analisis Pemikiran Gusdur dan Buya Syafii Maarif, Menyongsong Politik Indonesia di Masa Depan”.

Fazlur Rahman dan Interpretasi Teks al-Qur’an

$
0
0

Ahmad Nabil Amir & Ahmad Muziru Idham || 9 Ogos 2022

Pendahuluan

Fazlur Rahman (1919-1988) adalah ahli hukum dan intelektual Islam yang terkenal. Fikrahnya dapat dirumuskan dalam perjuangan menegakkan nilai etika dan moral yang syumul dalam masyarakat dan sistem yang adil serta usahanya membezakan antara apa yang dianggap “Islam yang normatif” (dalam arti tidak hanya menekankan apa yang seharusnya menurut ajaran) ketimbang “Islam yang historis” (kontekstual). Gagasan-gagasan radikal yang dikembangkannya banyak memaksanya untuk meninggalkan Pakistan dan berhijrah ke Amerika – didorong oleh pertembungan idea yang parah dan ancaman yang menggugat daripada puak fundamentalis yang fanatik dan radikal.

Mengingat derasnya arus pemikiran yang menyerbu dalam kehidupannya, Rahman cuba mewarasi semuanyayang berkembang dengan membenahi aliran pemikiran dan ideologi-ideologi yang mengasak dunia intelektual dalam sejarah moden pada abad ke-20. Berawal dengan iltizam untuk merumuskan satu filsafat danpandangan alam yang mendasar, beliau meninjau ulang berabad-abad pemikiran dan pemahaman tentang mazhab hukum, dan cuba memperbaharui dan merumuskan dan membawa idealisme yang dapatmenampung keperluan-keperluan moden, dengan mengembangkan pemahaman dan pikiran-pikiran hukumyang bebas, progresif dan dinamik.

Bertitik tolak daripada kemungkinan-kemungkinan ini, makalah ini bermaksud meninjau kerangka pemikiran Fazlur Rahman (1919-1988) dan manhaj kritikal dan saintifik yang dibangunkan dalam penafsiran teks al-Qur’an. Ia cuba menyikapi prinsip- prinsip asas daripada manhaj pembaharuan yang dibangunkan dan signifikasi historis daripada pembacaan tematik dan kontekstualnya yang membentuk idealisme dan fahamkontekstualis yang fundamental yang mendasari metodologinya dalam pemahaman teks yang dilontarkan dalam buku-bukunya seperti Islam (University of Chicago Press, 1979), Major Themes of the Qur’an(University of Chicago Press, 1980), Islamic Methodology in History (Islamic Research Institute, 1995), Revivaland Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oneworld Publications, 1999), dan Prophecy inIslam: Philosophy and Orthodoxy (University of Chicago Press, 2011).

Riwayat Hidup Fazlur Rahman

Dilahirkan pada 21 September 1919 di Hazara, daerah yang terletak di barat laut Pakistan, Fazlur Rahman Malak terlingkung dalam keluarga Muslim yang taat dan berfaham dan berhaluan moden. Kesan dari keterbukaan keluarganya ini  mempengaruhi pembentukan dan pandangan hidupnya yang bebas, yang tumbuh dalam tradisi pemikiran moden di saat sistem pelajaran mengalami keterbelakangan diakibatkan sistem-sistem lapuk yang diwarisi dalam persekolahan cara lama. Kesan ini disinggung dalam karyanya yang merakam tentang usaha pembaharuan dalam perkembangan sistem pendidikan agama:

My mother and father had a decisive influence in the shaping of my character and earliest beliefs. From my mother I was taught the virtues of truthfulness, mercy, steadfastness, and above all, love. My father was areligious scholar educated in traditional Islamic thought. Unlike most traditional Islamic scholars of that time, who regarded modern education as a poison both for faith and morality, my father was convinced that Islamhad to face modernity both as a challenge and an opportunity. I have shared   this same belief with my father to this very day.[1]

Kemudian beliau melanjutkan pengajiannya dan menuntut di Universiti Lahore dalam pengajian Bahasa Arab dan memperoleh MA dengan kepujian. Setelah menerima PhD-nya dari Oxford University beliau mengajar di McGill University di mana beliau menubuhkan Institut Pengajian Islam. Pada tahun 1961 Presiden Ayub Khan memanggilnya ke Pakistan untuk mengepalai lembaga penyelidikan di bawah mandat pemerintah dan dilantik sebagai Direktur, Islamic Research Institute di Lahore. Di Pakistan beliau mengeluarkan bukunya Islamic Methodology in History yang membuka intisari ijtihad. Pada akhir tahun 60-an, dengan peralihan rejim yang lebih konservatif, dan akibat idea-ideanya yang radikal, telah meledakkan protes dan rusuhan di seluruhnegara yang memaksanya berhijrah ke Amerika Syarikat pada tahun 1969.

Di Amerika, beliau mengajar di University of Chicago dan menubuhkan program Near Eastern Studies. Beliau turut berkhidmat di State Department Amerika Syarikat sebagai penasihat negara Muslim, dan selaku Distinguished Service Professor di Universiti Chicago sejak 1986. Dalam peralihannya daripada pandangan-pandangan rejim yang konservatif, beliau membawa pendekatan yang moden dengan kecenderungan filsafat yang mendalam dan humanis. Ini terlihat dalam filsafat teologi yang sistematik dan asli yang digelutinya dalam metode-metode yang dibangunkan dan analisa-analisa berbobot yang ditawarkan untuk memikir ulang tradisi Islam. Penulisannya yang analitik dan kritis kental membawakan pembahasan tafsir dan isu-isu sejarah yang signifikan dan menyuguhkan aspirasi moral yang kreatif. Ini digarap dari prinsip dan semangat moral-etika al-Qur’an, dan pemahaman yang sistematik dalam disiplin-disiplin falsafah, hukum, teologi, pendidikanyang klasikal dan moden. Insipirasi dan kesan luar biasa dari pengaruh intelektualnya ini diungkapkan oleh Donald L. Berry, “Fazlur Rahman memaparkan sebuah suara segar yang mendedahkan kepada Barat kepada sebuah Islam yang tidak pernah dilihat ketika sebelum ini.”[2]

Dalam menegakkan aspirasi hukum dan ideal perundangan yang diilhamkan al- Qur’an, beliau mempertahankan perintah-perintah moral yang bersifat adil, contohnya dalam keizinan berpoligami, seperti kupasannya pada ayat al-Qur’an (4:1 29): “Dan kamu tidak akan sesekali dapat berlaku adil di antara wanita,betapa sekalipun keinginanmu untuk melakukannya” yang tampak bercanggah dengan ayat al-Qur’an (4: 3) yang berbunyi: “Dan sekiranya kamu khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim, kemudian nikahilah dalam kalangan wanita [yatim] yang kamu ingini, dua tiga, atau empat. Tetapi sekiranya kamu khawatir tidak dapat berlaku adil [kepada isteri- isteri kamu], maka [nikahilah] hanya seorang.” Dalam mendamaikan kedua-dua ayat ini Rahman membawa penghujahan yang menarik yang selari dengan pandangan yang dipakai oleh kaum modernis Islam: “Kelihatannya terdapat kontradiksi antara kebenaran untuk berpoligami sehingga empat orang isteri; keperluan berlaku adil di kalangan para isteri; dan pengistilahan tegas bahwa keadilan seumpamanya adalah – lumrahnya – mustahil. Tafsiran golongan tradisionalis adalah klausa kebenaran itu mempunyai kuasa perundangan, sementara tuntutan keadilan – meskipun penting – ditinggalkan kepadasuami. Kelemahan pendirian ini dari sudut pandang normatif agama adalah sesuatu harus ditinggalkan kepada baik suami, sekalipun lumrahnya, ia pasti akan dilanggar. Kaum modernis Islam, sebaliknya, cenderung memberi keutamaan kepada tuntutan keadilan ditambah dengan pengistilahan tentang kemustahilan untuk berlaku adil, dan menyatakan bahwa kebenaran berpoligami dimaksudkan hanya untuk sementara.”[3]

Fazlur Rahman dan Semangat Al-Qur’an Yang Mendasar

Fazlur Rahman terkenal sebagai seorang cendekiawan Muslim yang berpengaruh pada abad ke-20, dan dianggap sebagai seorang “neo-modernis‟, istilah yang beliau gunakan untuk menggambarkan pendirian yang kritikal terhadap kedua-duanya modernisme dan tradisionalisme Islam. Memandangkan beliau menghabiskan lebih dari tiga dekad daripada kehidupan dewasanya dalam dunia akademik di Barat (sebagai profesor di Universiti Durham, Universiti McGill, Universiti California di Los Angeles, dan Universiti Chicago), tidaklah mengherankan yang sumbangannya kepada dunia Islam kebanyakannya terbatas kepada lapangan intelektual. Ketika pemerintahan Jenderal Ayub Khan, Rahman memang mencuba untuk menerapkan ideanyadi Pakistan melayani sebagai kepala Islamic Research Institute dan di Lembaga Penasihat Ideologi Islam. Meskipun begitu, beliau mengundurkan diri pada 1968 setelah lapan tahun berikutan tekanan yang tak kenal belas dari puak konservatif Muslim di Pakistan. Dalam kata pengantarnya terhadap buku Major Themes of the Qur’an, terkait dengan perjalanan hidup Fazlur Rahman yang mula memberi tumpuan terhadap kajian Qur’ani sewaktu di Chicago, Ebrahim Moosa menulis,

“Apabila mendapati bahawa dirinya berada dalam bahaya di Pakistan pada tahun 1968, Fazlur Rahman mencari peluang-peluang akademik di Amerika Syarikat dan meluangkan saki-baki hidupnya di Universiti Chicago. Beliau tidak biasa dengan akademi Barat. Dalam menyiapkan kerja kedoktorannya di Cambridge pada tahun 1950, beliau telah meluangkan lebih daripada sedekad mengajar di Universiti Durham di United Kingdom dan Institute Universiti McGill bagi Pengajian Islam di Kanada. Di Chicago, kerjanya beransur-ansur beralih kepada perihal etika dengan suatu penekanan terhadap al-Qur’ān. Kemungkinannya, beliau melihat Major Themes sebagai bahan asas bagi sebuah teologi baharu, yang berakar dalam etos al-Qur’ān. Pada tahun 1980, dia telah menjadi kurang tertarik dengan falsafah, dan lebih berminat dengan ahli-ahli teologi-fiqh seperti Abu Hāmid al-Ghazālī (meninggal dunia pada 1111), Taqī al-Dīn Ibn Taymiyyah (meninggal dunia pada 1328), dan Shāh Walī Allāh (meninggal dunia pada 1762). Dalam sebuah memoirnya pada ketika itu, beliau menjelaskan kerja-kerja begini sebagai “mendenyutkan pemikiran Ketuhanan sebagai realiti hidup yang bertanggungjawab untuk solat, membimbing realiti hidup manusia secara individu dan kolektif, dan mengambil bahagian dalam sejarah.”  Fazlur Rahman menulis dengan bijaksana, bahawa kajian al-Qur’ān dan sirah Nabi Muhammad itu memberikannya makna dan tujuan yang segar untuk menilai semula tradisi Islam.”[4]

Dari pengalaman akademik dan keterlibatannya dalam masyarakat Islam, Rahman percaya bahawa sebarang pembaharuan dalam pemikiran Islam harus bermula dengan al-Qur’an kerana ia memainkan peranan utama dalam kehidupan Muslim. Beliau justeru asyik dengan “memperbaiki metode penafsiran al-Qur’an” di zaman kontemporer.[5] Beliau mengkritik ahli tafsir abad klasik dan pertengahan kerana kegagalan merekayang sistematik dalam menghasilkan “weltanschauung” yang menyatu dan berkesan yakni yang kohesif danbermakna bagi kehidupan secara keseluruhan daripada al-Qur’an.[6] Rahman menyimpulkan bahawa“terdapat keperluan yang mendesak bagi teori hermeneutika yang akan membantu kita memahami makna al-Qur’an secara keseluruhan sehingga kedua-dua bahagian teologis al-Qur’an dan bahagian akhlak dan etika-hukumnya menjadi kesatuan yang utuh”.[7] Rahman percaya bahawa “sejarah dapat dikawal melalui wacana Qur’āni normatif, terutamanya sisi buruk sejarah dapat diperbaiki daripada penyimpangan, sementara pembangunan sejarah positif yang dicapai oleh manusia dan masyarakat boleh diambil secara terpilih.”[8] Disebabkan itu maka Rahman sangat menitikberatkan etika moral yang diekstrak daripada prinsip-prinsip Qur’ani kerana aspek tersebut dilihat berupaya membangunkan peradaban manusia dengan lebih baik.

Teori Gerakan Berganda (Double Movement Theory)

Rahman mengusulkan metode hermeneutika bagi penafsiran al-Qur’an yang  beliau gelar ‘teori gerakan berganda’ (double movement theory), di mana “gerakan pertama adalah dari seluk-beluk al-Qur’an kepada penarikan dan penyusunan prinsip, nilai dan objektif jangka panjangnya yang umum; [dan] kedua adalah dari pandangan umum ini kepada pandangan yang spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang‟.[9] Dalam bahasa mudahnya, Abdullah Saeed menjelaskan gerakan pertama itu mempertimbangkan konteks sosiosejarah sewaktu zaman pewahyuan al-Qur’an kepada masyarakat Arab dalam meneroka kasus-kasus al-Qur’an yang spesifik bagi memahami prinsip-prinsip umum seperti keadilan, kesaksamaan dan kebebasan; manakala gerakan kedua merupakan kaedah penaakulan daripada prinsip umum Qur’anik tersebut kepada hal yang lebih khusus dalam merumuskan hukum yang relevan dengan keadaan moden masa kini.[10] Maka, latar belakang pewahyuan al-Qur’an bukan sahaja perlu difahami bagi mencapai prinsip-prinsip umum, bahkan situasi kontemporari perlu dikaji bagi membentuk dan melaksanakan perundangan.[11]

Teori Gerakan Berganda ini “memberikan pemahaman yang sistematis dan kontekstualis, sehingga menghasilkan suatu penafsiran yang tidak atomistik, literalis dan tekstualis, melainkan penafsiran yang mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian.”[12] Dari usaha hermeneutika ini, Rahman menarik premis yang menentukan bahwa “perhatian pusat al-Qur’an adalah tingkah laku manusia”, atau bahawa al-Qur’ansebahagian besarnya merupakan panduan etika bagi perhubungan antara manusia. Etika adalah intisari al-Qur’an dan ia adalah “mata rantai yang diperlukan antara teologi dan hukum”.[13] Beliau mengkritik kecenderungan ahli hukum Islam yang melihat al-Qur’an terutamanya sebagai kitab perundangan dandengan pendekatan “atomistik”, “menafsirkan setiap perenggan atau ayat dari segi hukum seakan ia berdiri dengan sendirinya” dan mengambil hukum-hakam “daripada ayat-ayat yang tidak sama sekali bersifat hukum dalam muatannya”.[14]

Moh. Agus Sifa dan Muhammad Aziz[15] menekankan bahawa pendirian Fazlur Rahman ini adalah selari dengan Imam asy-Syatibi, seorang ulama usul fiqh yang terkenal dengan teori maqasid syariah, bahawa “memahami al-Qur’an perlu memahami situasi dan kondisi di mana al-Qur’an itu diturunkan dan memahami teks bahasa Arab dibutuhkan juga pengetahuan sejumlah keadaan (muqtadhayat al Ahwal), keadaan bahasa (hal nafs al-khithab), keadaan mukhathib (pengarah) dan keadaan mukhathab (audien).” Darihal itu, pendirian Imam asy-Syatibi yang menyarankan agar para pentafsir al-Qur’an untuk memahami al-Qur’an berdasarkan teks dan konteks bahasa Arab pada ketika itu adalah sejajar dengan kefahaman Rahman dalam Teori Gerakan Berganda. Secara tidak langsung, ia adalah kritik Rahman terhadap mufassir klasik yang tidak memberi perhatian kepada konteks zaman Arab dan bagaimana pewahyuan al-Qur’an diturunkan sebagai respon kepada kasus-kasus peristiwa sewaktu zaman Nabi.

Daripada Teori Gerakan Berganda ini Rahman mengajak untuk membedakan di antara etika al-Qur’an dan hukum, di mana pentafsiran tradisional sering bertumpu kepada persoalan hukum ketimbang prinsip-prinsip moral yang melandasi hukum.[16] Hal tersebut menyebabkan ajaran Qur’an sering difahami sebagai kitab hukum semata-mata sedangkan pelajaran terbesar yang harus diambil oleh umat Islam daripada ajaran al-Qur’an adalah perihal etika dan moraliti yang menjadi dasar kepada kehidupan yang seimbang. Disebabkan itu, Rahman menggerakkan ‘Teori Gerakan Berganda’ kerana merasakan bahawa “penafsiran teks tidak cukup bercorak kebahasaaan sebagaimana selama ini berkembang, tetapi harus lebih berdimensi sosiologis, aksiologis, dan antropologis sehingga penafsiran sesuai dengan kebutuhan kontemporer masyarakat.”[17] Maka, kata Abdullah Saeed, ‘Teori Gerakan Berganda’ ini tidak sekadar mengharapkan para ulama tradisional sahaja dalam menentukan hukum-hakam keIslaman terhadap sesuatu perkara, bahkan turut melibatkan pakar dalam lapangan bidang berkaitan seperti sejarah, falsafah, perundangan, etika, sosiologi dan antropologi dalam membantu dalam proses untuk mendapatkan hukum Islam yang bermakna, relevan dan sesuai.[18]

Teori yang berkaitan dengan pentafsiran terhadap etika-hukum al-Qur’an ini tidaklah bertujuan merumuskan suatu set peraturan, sebaliknya Rahman cuba membimbing para pentafsir al-Qur’an kepada asas kontekstual dan linguistik al-Qur’an yang lebih luas dan tidak terperangkap dengan pendekatan klasik yang dekontekstual dan reduksionis.[19] Kepentingan daripada pendekatan Rahman dalam mendekati al-Qur’an ini adalah beliau mengambil kira kedua-dua keadaan pada waktu pewahyuan al-Qur’an dan zaman moden yang berkaitan dengan teks al-Qur’an terhadap sesebuah komuniti.[20] Teori Gerakan Berganda ini memberi ruang kepada pentafsir al-Qur’an untuk menghasilkan makna-makna kontekstual baharu dan relevan dengan konteks sosiobudaya.[21] Dengan cara itu, maka ianya dapat menghidupkan kembali semangat al-Qur’an yang sesuai sepanjang zaman dengan tawaran suatu metode yang komprehensif, holistik dan kontekstual.

Etika al-Qur’an

Bagi mereka yang tertanya-tanya tentang unsur yang membentuk etika al-Qur’an, Rahman menjawabpertanyaan ini dengan menyatakan bahawa terdapat sekurang-kurangnya tiga konsep etika kunci daripada al-Qur’an, yakni Iman, Islam, dan Taqwa. Mereka berasal dari pangkal kata Arab yang berbeza tetapi yang mengejutkan sama dalam pengertiannya. Bersama-sama, mereka membentuk landasan dari etika al-Qur’an dan memberikan ciri etosnya.[22] Iman bermakna “keamanan” atau “keselamatan”. Makna islam juga“kesejahteraan” dan “keselamatan”, sementara perkataan taqwa bermakna “untuk melindungi”, “untuk menyelamatkan dari kehancuran” dan “untuk memelihara”. Rahman justeru menyimpulkan bahawa “renungan tentang tiga istilah kunci ini dan analisisnya membawa kita langsung ke dalam “ke bawah sedar dari al-Qur’an”seakannya. Ia memberi kita intipan ke dalam lapisan yang terdalam dari makna, semangatnya yangmendasar. Semangat al-Qur’an pada asasnya diarahkan untuk memelihara dan membangunkan integriti perorangan dan kolektivisme”.[23]

Berdasarkan di atas, jelaslah bahawa semangat dasar dari etika al-Qur’an adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter di bawah kuasa Tuhan, atau memakai istilah Rahman “untuk menegakkan orde sosial yang berdaya maju di muka bumi yang akan bersifat adil dan berlandaskan etika”. Objektif ini ketara sejak permulaan penurunan al-Qur’an di mana Islam kuat menentang “politeisme (penyembahanberhala), pemerasan orang miskin, penyelewengan dalam perdagangan, dan ketiadaan rasa tanggungjawab yang umum terhadap masyarakat”.[24] Perlawanan terhadap kaum musyrikin bukan hanya disebabkan mereka mempercayai kemajmukan tuhan, tetapi lebih penting kerana politeisme menjadi asas dari ketidakadilan sosial.[25] Memandangkan ajaran yang substantif dari al-Qur’an adalah untuk memberi tuntunan bagi tingkah laku manusia di dunia ini, oleh itu tidak bermakna untuk menjadi seorang Mu’min,  jika dia tidak mempunyai kesedaran sosial dengan membenarkan atau tidak menentang sistem politik autokratik atau oligarkis dan tidak membantu segmen yang lebih lemah daripada masyarakat. Kepercayaan atau keimanan tanpa tindakan, sama sekali tidak dapat dipertahankan. Malah “lima rukun” Islam yang dianggap agama par excellence, mempunyai keadilan sosial dan pembinaan masyarakat yang egaliter sebagai matlamatnya”.[26] Pendeknya, Islam sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an adalah agama moralitas dan kemanusiaan.

Pemikiran Hukum dan Tafsir

Dari penelaahan dan pemikiran ulangnya terhadap tradisi Islam dan pandangan- pandangan sejarah danajaran spiritualnya, beliau telah menggariskan interpretasi hukum yang prinsipal terkait dengan sifat dasar dan metodologinya, dalam merespon kepada cabaran dunia moden di mana Rahman berhujah bahawa ijtihad (penalaran bebas) harus memainkan peranan kunci dalam kehidupan Muslim kontemporer. Prinsip asas dalam tafsir al-Qur’an-nya yang analitik dilacak daripada faham-faham klasik Barat dan fikiran-fikiran Greek yang disuguhkan dalam tafsir moden. Ia menggagaskan prinsip dan metodologi hermeneutik yang radikal dan asli.

Terkait dengan hal ini, Abdullah Saeed menulis tentang signifikasi hukum-etika yang diilhamkan Fazlur Rahman dan menghuraikan metodologi al-Qur’an dan rumusan hukum yang dikembangkannya, “On balance, Rahman’s approach to the Qur’an was among the most original, daring and systematic of the mid to late twentieth century. His  emphasis on the context of the revelation has had far reaching influence on the debateamong Muslims of questions such as human rights, women’s rights and social justice.[27]

Dalam karya pentingnya Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (ed. EbrahimMoosa) – karyanya yang terakhir yang ditulis sebelum wafatnya pada tahun 1988 – Rahman menyuguhkan hujah-hujah saintifik yang memperlihatkan ketinggian daya ijtihad dan kekuatan analisis dalam menyikapi permasalahan mazhab dan aliran fundamentalisme Islam, berhadap-hadapan dengan kemunculan sekte-sekte awal dan pembentukan ortodoksi sunni, yang digali daripada sumber-sumber Islam abad pertengahan, di mana “dalam karya ini, Rahman menantang persepsi hari ini tentang fundamentalisme Islam dan melanjutkan untuk mengaksesnya semula,” suatu karya “yang sangat mendalam, cerdas dan provokatif” di mana “tidakdiragukan lagi, bahwa para ahli, mahasiswa dan pengagum Rahman akan melihat karya yang menggairahkan ini sebagai penghormatan besar bagi pemikir yang benar-benar legendaris.”

Menyikapi faham dan asas-asas pemikiran hermeneutis Fazlur Rahman, dan pandangannya tentang proses penurunan wahyu dan pembauran kesedaran Nabi SAW di dalamnya, Nurcholish Madjid menunjukkan, “tampak padaku Fazlur Rahman benar ketika dia menegaskan yang al-Qur’an tidak turun kepada Nabi dalam kekosongan. Maka salah satu cara untuk memahami pesannya adalah dengan memahami konteksnya. Justeru jika anda bercakap tentang asbab al-nuzul atau sebab turunnya wahyu ia bukanlah latar yang spesifik daripada wahyu tetapi juga tentang lingkungan budayanya.”[28]

Pada Rahman, fikiran dan jiwa Nabi dengan akrab terlibat dalam wahyu sebanyak mana Tuhan sebagai sumbernya, tegasnya al-Qur’an sepenuhnya daripada Tuhan, sebagaimana ia sepenuhnya daripada Nabi – yang membayangkan ia bukan penerimaan pasif tetapi melibatkan kesedaran Nabi yang membaur didalamnya. Dan “lantaran pernyataaan kontroversil dan revolusioner Rahman terhadap ciri wahyu yang diterima Nabi Muhammad-lah, yang mencetuskan protes besar-besaran daripada ulama’ konservatif Pakistan,mengisytiharkan bahawa Rahman “seorang munkir-i Qur’an (penyangsi al-Qur’an).”[29]

Fazlur Rahman menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 26 Julai 1988 akibat kompilasi daripembedahan akibat penyumbatan pada pembuluh darahnya. Beliau tidak sedarkan diri dan koma selama satu setengah bulan. Jasadnya dikebumikan di pemakaman Arlington Height Cemetary di Chicago. Salah seorang muridnya di Chicago, Ahmad Syafii Maarif mengenangkan “Sebagai salah seorang pelajarnya diChicago pada tahun 1979-1982, saya sangat merindui dan menangisi Rahman ketika kematian datang menjemputnya pada 26 Julai 1988.”[30]

Kesimpulan

Pengaruh dari fahaman kontekstualis yang digagaskan Fazlur Rahman ini telah memberikan asas yang penting dalam menimbulkan aliran neo-modernis Islam yang mengusung pemahaman teks yang progresif dan moden. Konsepsi-konsepsi dan pandangan yang dibawanya terkait dengan penafsiran al-Qur’an yang kritikal ini telah membawa pemahaman teks al-Qur’an yang kontemporer, rasional, dan segar. Usaha Rahman untuk melacak kembali sumber-sumber Islam yang klasik dan mengkritiknya dalam konteks pemahaman sejarahnya telah memungkinkan tradisi Islam dibaharu dan dikembangkan dalam konteks perkembangan moden dan falsafahnya yang perennial. Perkembangan yang mencabar di abad moden ini menuntut respon balas yang tuntas sebagai diajukan Fazlur Rahman terhadap pandangan-pandangan agama yang jumud dan reaksioner.

Rahman bukan saja cuba untuk menumbangkan konservatisme Islam yang berurat berakar di dunia Muslim, dia juga mempertikaikan banyak usaha-usaha Barat untuk memahami Islam…melukiskannya sebagai rekaan yang fatal, arkaik, dan statik. Dalam mengkritik pandangan-pandangan hukum yang dogmatik dan konservatif ini, Rahman menampakkan keaslian dalam perdebatan intelektual yang mengagumkan yang diajukan dalam membawa pemahaman kontemporer terkait kandungan etika-hukum al-Qur’an dan hubungkaitnya dengan dunia moden dan konteks sejarahnya.

Nota Hujung:

[1] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, diterjemahkan oleh  AhsinMohammad dan Ammar Haryono, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 154.

[2] Donald L. Berry, “Fazlur Rahman: A Life in Review” dalam Earle H. Waugh dan Frederick M. Denny (eds.), The Shaping of an American Discourse: A Memorial to Fazlur Rahman. Atlanta, (Georgia: Scholars Press, 1998), h. 41.

[3] Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Minneapolis-Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), h. 47-48.

[4] Ebrahim Moosa, “Foreword”, in Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an [Second Edition], (London: The University of Chicago Press, 2009).

[5] Fazlur Rahman, Islam & modernity: transformation of an intellectual tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1984), h. 1.

[6] Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur‟ān”, Inquiry 3 (5), 1986, h. 45.

[7] Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur‟ān”, h. 45.

[8] Ebrahim Moosa, “Foreword”, in Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an [Second Edition], (London: The University of Chicago Press, 2009).

[9] Fazlur Rahman, Islam & modernity: transformation of an intellectual tradition, h. 7.

[10] Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: a framework for interpreting the ethico-legal content of the Qur’an”, Taji-Farouki, S (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, (1), pp. 37-66. Oxford University Press, 2004.

[11] Fazlur Rahman, Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law: Sheikh Yamani on ‘Public Interest’ in Islamic Law”, New York University Journal of International Law and Politics, 12(2), 1979, pp. 219-224

[12] Rifki Ahda Sumantri, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman Metode Tafsir Double Movement, KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 7(1).

[13] Fazlur Rahman, Islam & modernity: transformation of an intellectual tradition, h. 154.

[14] Fazlur Rahman, Islam & modernity: transformation of an intellectual tradition, h. 3.

[15] Moh. Agus Sifa & Muhammad Aziz. “Telaah Kritis Pemikiran Hermeneutika “Double Movement” Fazlur Rahman (1919 – 1988).” Al HIKMAH, Jurnal Studi Keislaman, 8(1), 112-127.

[16] Aksin Wijaya, Paradigma Teoantroposentris dalam Konsentrasi Tafsir Hukum Islam, h. 144

[17] Ibid, h. 144

[18] Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: a framework for interpreting the ethico-legal content of the Qur’an”, Taji-Farouki, S (ed.), Modern Muslim Intellectuals And The Qur’an, (1), Pp. 37-66. Oxford University Press, 2004.

[19] Ibid, h. 58

[20] Ibid, h. 58

[21] Muhammad Yusuf, Nahdhiyah & Anwar Sadat. “Fazlur Rahman’s Double Movement and Its Contribution to the Development of Religious Moderation”. IJISH (International Journal of Islamic Studies and Humanities), 4(1), 51-71

[22] Fazlur Rahman, “Some key ethical concepts of the Qur‟ān”, Journal of Religious Ethics 11 (2), 1983, h. 170.

[23] Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur‟ān”, h. 49.

[24] Fazlur Rahman, Islam & modernity: transformation of an intellectual tradition, h. 5.

[25] Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur‟ān”, h. 197.

[26] Fazlur Rahman, Islam & modernity: transformation of an intellectual tradition, h. 19.

[27] Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach, (London & New York: Routledge, 2006).

[28] Saeed. A. & Johns, A.H., “Nurcholish Madjid and the Interpretation of the Qur‟an: Religious Pluralism and Tolerance.” Taji-Farouki, S (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, (1), pp. 67-96. Oxford University Press, 2004.

[29] Donald L. Berry, “Fazlur Rahman: A Life in Review” dalam Earle H. Waugh dan Frederick M. Denny (eds.), The Shaping of an American Discourse: A Memorial to Fazlur Rahman. Atlanta, h. 41.

[30] Ahmad Syafii Maarif, “Fazlur Rahman, Semangat Moral-Etika Qur‟anik, dan Proses Pewahyuannya,” Kertas kerja dibentangkan pada International Fazlur Rahman Symposium, selenggaraan Inonu University, Malatya, Turkey, 05-06 May 2016.


Dr Ahmad Nabil Amir adalah sarjana kedoktoran dalam bidang Usuluddin daripada Universiti Malaya dan Ketua, Abduh Study Group, Islamic Renaissance Front.

 

Ahmad Muziru Idham adalah Felo di Islamic Renaissance Front dan lepasan Sarjana dalam Hubungan Antarabangsa daripada Universiti Kebangsaan Malaysia.

 

SCRIPT – Wawasan Anwar Ibrahim Bagi Malaysia Yang Lebih Baik: Sebuah Ulasan

$
0
0

Penulis: Nageeb Gounjaria & Ahmad Farouk Musa  || 10 Oktober 2022

 

“…kerajaan yang bakal pemerintahnya mendatangi tugasnya dengan kurang keghairahan pasti mempunyai kerajaan yang terbaik dan paling tenang, manakala kerajaan yang pemerintahnya tidak sabar-sabar untuk memerintah adalah kerajaan yang terburuk.”

[Plato, Republik]

SCRIPT: FOR A BETTER Malaysia yang diterbitkan bersama oleh Institut Darul Ehsan (IDE) dan Centre for Postnormal Policy and Future Studies (CPPFS) merupakan penerbitan terkini Anwar Ibrahim. Manifesto setebal 180 halaman tersebut yang ditulis untuk pilihan raya umum ke-15 akan datang merangkumi rangka kerja dasar pemimpin pembangkang tersebut. Rangka kerja dasar tersebut akan membimbing pembangunan jangka panjang negara, di mana beliau berusaha dalam memenuhi janji bagi kempen reformasinya bagi sebuah Malaysia yang berkembang maju, dinamik, inklusif, lagi adil.

SCRIPT – akronim bagi Kelestarian (Sustainability), Penjagaan (Care) & Kasih Sayang (Compassion), Hormat (Respect), Inovasi (Innovation), Kemakmuran (Prosperity) dan Kepercayaan (Trust) – merangkumi enam pemacu atau peraturan yang harus membimbing penggubalan dasar untuk membetulkan, menyelaraskan semula, dan memperkasakan Malaysia yang terjejas pada zaman pascanormal kita. Menurut pengarang, era baharu kita ini tidak pernah berlaku pada zaman sebelum ini, di mana era ini dicirikan oleh sebuah dunia yang bukan sahaja lebih global dan saling berhubung, bahkan juga lebih berkonflik, huru-hara, dan rumit. Dalam mengharungi samudera ketidakpastian yang tidak menentu, maka pendekatan konvensional tidak lagi berfungsi. Oleh sebab itu, jalan keluar kepada permasalahan rumit memerlukan kepada penyelesaian yang sofistikated dan bukannya tergesa-gesa.

Tegas Anwar Ibrahim, enam pemacu teras tersebut adalah saling berkaitan dan memerlukan kepada penyelarasan bersama antara satu sama lain bagi mencapai keberkesanannya. Beliau kemudiannya terus mendekonstruksi pemacu-pemacu teras tersebut bagi menunjukkan bahawa hal-hal tersebut telah diperkecilkan kepada suatu kebiasaan yang sekadar untuk merasa bagus – jikalaupun bukanlah kata-kata kosong yang tidak bermakna – yang kebanyakannya memenafaatkan hanya kepada segelintir mereka yang berkedudukan.  Aturan atau presep yang telah dimandulkan ini tidak boleh berfungsi sebagai paksi kepada sebuah projek pembangunan negara yang besar melainkan ianya disemarakkan semula; umpama sebuah rumah yang berada di atas asas yang goyah, cenderung untuk runtuh.

Sebagai usaha untuk menyemarakkan aturan ini, pengarang tersebut menyeru kepada semua rakyat Malaysia agar menggali kearifan tempatan peribumi mereka yang kaya namun kurang dihargai ini dengan lebih mendalam untuk meraih inspirasi. Bagi menggerakkan perkara tersebut, beliau menggambarkan bagaimana aturan yang ditambah baik itu dapat melancarkan kuasa transformatif mereka dengan lebih serasi dengan realiti Malaysia dan setia kepada aspirasi rakyat, yang kini kami akan berikan tumpuan.

Mari mulakan dengan kelestarian (sustainability). Secara umumnya, kelestarian adalah merujuk kepada tanggungjawab dalam penggunaan sumber-sumber semulajadi dengan cara yang memenuhi keperluan dan kebajikan semasa tanpa menjejaskan generasi mendatang. Dengan menggabungkan dua konsep daripada bahasa Melayu, iaitu kemampanan dan keseimbangan, maka sebuah definisi Malaysia akan meluaskan kelestarian yang merentasi persekitaran semulajadi untuk merangkumi masyarakat luar bandar dan bandar, keluarga dan individu yang membentuk sebahagian daripada ekosistem.

Bahkan, Tuhan memberi amaran kepada kita tentang akibat daripada keterlibatan dalam sikap yang berlebih-lebihan:

[Kerana mereka telah lalai akan Tuhan,] kerosakan telah zahir di darat dan di laut hasil apa yang tangan manusia kerjakan: dan kerana itu Dia akan merasakan kepada mereka  [keburukan] sebahagian daripada perbuatan mereka, supaya mereka dapat kembali [kepada jalan yang benar].

[Sura ar Rūm; 30:41]

Penjagaan (care) biasanya ditakrifkan sebagai pemeliharaan dan perlindungan kesihatan serta kebajikan orang lain. Manakala belas kasihan pula adalah perasaan kesedihan atau kebimbangan terhadap penderitaan atau keperluan orang yang disayangi (insan lain atau makhluk hidupan lain) bersama-sama dengan keinginan untuk mengurangkan penderitaan tersebut. Bahasa Melayu mempunyai konsep peduli dan penyayang yang kedua-duanya merupakan gabungan daripada perkataan peng+sayangsayang (love); belas kasihan (compassion) — cinta (love). Dalam konteks Malaysia, penjagaan dan belas kasihan memerlukan cinta kepada orang lain (jiran, komuniti dan masyarakat lain) dengan cara lebih menyeluruh. Hal tersebut menjadikannya sebagai satu kewajiban untuk memberi dan hak untuk menerima, sama sepertimana konsep zakat dalam Islam.

Dalam hal ini, Tuhan memerintahkan kita untuk menjaga orang miskin dan orang yang memerlukan:

“Tahukah kamu [jenis orang] yang mendustakan semua hukum moral?  Sesungguhnya, inilah [jenis orang] yang menyingkir anak yatim, dan merasa tiada desakan  untuk memberi makan orang yang memerlukan.”

[Sura al-Maūn; 107:1-3]

Hormat (respect) bermaksud mengambil berat terhadap pendapat, kehendak, dan hak orang lain berdasarkan pendidikan, pencapaian, dan pangkat mereka dalam masyarakat. Ia selalunya merangkumi unsur kesetiaandan ketaatan. Bahasa Melayu mempunyai dua persamaan, iaitu hormat (menghormati maruah manusia) dan perkataan pinjaman Arab adab (berbudi bahasa, kesopanan, kerendahan hati). Konsep penghormatan dalam budaya Malaysia yang diperkaya akan menekankan hak asasi manusia dan maruah yang tidak boleh dipisahkan sebagai asas tingkah laku sivik; perihal itu akan diberikan kepada orang lain tanpa mengira timbal balik.

Al-Qur’an memerintahkan kita untuk melayani semua makhluk dengan rasa hormat, penghormatan dan bermaruah. Menghormati kemanusiaan adalah termasuk menjauhi penyebaran berita palsu dan menyemai perbalahan dalam kalangan manusia. Hormat juga termasuklah mengasihi orang lain walaupun mereka bukan dari bangsa atau agama kita sendiri.

“Wahai manusia! Saksikanlah, Kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan telah menjadikan kamu ke dalam bermacam bangsa dan kabilah, supaya kamu dapat mengenal antara satu sama lain. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Tuhan adalah seorang yang paling mendalam kesedarannya pada Tuhan. Saksikanlah, Tuhan adalah Maha-mengetahui, Maha-menyedari.”

[Surah al-Hujurat; 49:13]

Satu lagi komponen penghormatan adalah dengan melayani orang lain seperti mana kita ingin dilayani dan cara kita mengharapkan Tuhan akan melayani kita, iaitu, dengan kasih sayang dan belas kasihan. Penghalang di antara kita dengan rahmat Tuhan adalah dosa-dosa besar yang Tuhan perintahkan untuk kita jauhi. Tuhan memperingatkan kita terhadap dua daripada dosa-dosa itu, iaitu mengintip dan mengumpat, yang akan menimbulkan kekacauan masyarakat:

“Jauhi semua prasangka [tentang satu sama lain] —kerana, saksikanlah, sebahagian dari prasangka [itu] adalah [sendirinya] suatu dosa; dan jangan mengintip satu sama lain, dan jangan benarkan dirimu memperkatakan keburukan sesamamu di belakang kamu…”

[Surah al-Hujurat; 49:12]

Inovasi (Innovation) – yang selalunya dikaitkan dengan teknologi – merujuk kepada idea, produk, proses atau sistem baharu yang merupakan penambahbaikan pada konsep atau operasi terdahulu. Dalam leksikon bahasa Melayu, inovasi diterjemahkan sebagai pembaharuan, pengenalan, rekacipta dan reka baru, di mana semuanya disemai dengan idea reka bentuk sedar dan usaha kreatif. Malaysia yang inovatif menyediakan persekitaran yang kondusif bagi kreativiti buatan sendiri untuk berkembang dan melahirkan idea, produk, proses dan sistem yang lebih baik yang akhirnya memberi manfaat kepada rakyat.

Al-Qur’an menerajui sebuah revolusi sains dan teknologi apabila diturunkan pada 1400 tahun yang lalu. Sesungguhnya ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi adalah Iqra’! Baca! Banyak ayat dalam al-Qur’an yang meletakkan orang berilmu dalam kedudukan istimewa sambil mendorong kita untuk menuntut ilmu dengan tekun. Hanya melalui sains lah maka kita dapat menemui dan menghargai kerja-kerja Tuhan. Malah, walaupun kebanyakan orang mengatakan bahawa Tuhan bekerja dengan cara yang misterius, namun kami lebih cenderung untuk mengatakan bahawa Tuhan bekerja dengan cara yang saintifik!

Dalam beberapa ayat pertama al-Qur’an, Tuhan berfirman:

“Bacalah  dengan nama Tuhanmu, yang telah menciptakan—yang menciptakan manusia daripada sel germinal! Bacalah—kerana Tuhanmu ialah Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajar [manusia] mengguna pena.”

[Surah al-Alaq; 96:1-4]

Kemakmuran (prosperity) – yang secara umumnya dikaitkan dengan kejayaan kewangan dan keselesaan material – dilucutkan konotasinya yang terlalu materialistik dalam versi Malaysianya. Anwar Ibrahim percaya bahawa kemakmuran sebenar adalah termaktub dalam konsep Islam falah (kejayaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan). Falah, perkataan yang dikumandangkan sebanyak lima kali sehari dalam azan oleh muazzin untuk solat berjemaah, merupakan pusat kepada Islam. Bertentangan dengan Marxisme, Islam tidak menganggap kekayaan sebagai kejahatan secara intrinsik. Walau bagaimanapun – tidak seperti kapitalisme – Islam meluaskan konsep tersebut kepada seluruh masyarakat dan bukannya membataskan kepada individu, dengan menekankan bahawa kelimpahan adalah rahmat untuk dikongsi.

Al-Qur’an memberi penekanan khusus pada pengagihan kekayaan, di mana kekayaan tidak boleh ditimbunkan oleh golongan kaya. Dalam konteks Malaysia, kami dapati bahawa dasar neoliberal rejim semasa, dengan penekanan kepada pasaran bebas dan penswastaan, hanya menguntungkan segelintir golongan elit terutamanya terhadap usahawan kaya. Dasar ekonomi ini mesti dirombak. Apa yang kita perlukan adalah sistem ekonomi adil yang saksama kepada semua tanpa mengira kaum dan fahaman di samping menjunjung semangat sebenar demokrasi, hak individu, toleransi, kesetaraan gender, dan pluralisme.

Wawasan Anwar Ibrahim terhadap ekonomi tersebut mengingatkan kepada mesej Qur’ani:

“…supaya ia tidak menjadi [suatu faedah] yang berlegar dan berputar di sekitar kelompok kamu yang telah [sedia] kaya…”

[Surah al-Hashr; 59:7]

Plato pernah berkata:

“Tidak sepatutnya wujud kemiskinan melampau ataupun kekayaan berlebihan dalam kalangan masyarakat, kerana kedua-duanya menghasilkan kejahatan yang besar.”

[Plato, Republik]

Akhir sekali, kepercayaan (trust). Dengan memahaminya sebagai suatu keyakinan tetap bahawa ianya merupakan hal yang benar dan tidak memerlukan kepada pengesahan empirikal, maka kepercayaan itu biasanya dikaitkan dengan pemeliharaan diri, kekayaan, dan harta benda. Sesungguhnya kepercayaan itu adalah asas kepada masyarakat. Di tengah-tengah kepercayaan semasa yang semakin menyusut dalam masyarakat kontemporari, maka kearifan tempatan mempunyai tiga perkataan untuk menghidupkan semula makna sebenar bagi kepercayaan, iaitu perkataan pinjaman Arab amanah (sumpah tanggungjawab moral duniawi, ketuhanan, dan rohani), dan perkataan Melayu kepercayaan (iman) serta pertanggungjawaban(tanggungjawab yang perlu dibalas dengan mulia).

Memenuhi amānah atau kepercayaan menjadikan kehidupan peribadi dan sosial seseorang lebih bermakna. Ia bukan sahaja merupakan kualiti orang beriman, bahkan merupakan ciri-ciri orang yang bermaruah dan berintegriti. Malangnya, dalam masyarakat kontemporari kita, pemimpin yang kurang amānah dijulang sebagai pahlawan. Masyarakat telah gagal memahami keutamaan amānah seperti yang didokong dalam Al-Quran:

“…dan yang menepati amanah dan ikrar mereka; dan yang memelihara sembahyang mereka [daripada semua maksud duniawi]. Merekalah, mereka yang akan menjadi pewaris yang akan mewarisi syurga; [dan] di sana mereka akan tinggal.”

[Surah al-Mu’minūn; 23:8-11]

Selepas dekonstruksi, dekolonisasi, dan menambah baik pemacu yang akan memandu agenda reformasinya, seterusnya Anwar Ibrahim dengan gigihnya menunjukkan bagaimana elemen-elemen tersebut boleh digunakan dalam penggubalan dasar merentasi semua sektor kerajaan (pendidikan, ekonomi, undang-undang, alam sekitar, budaya, pelancongan, industri, pertanian, penjagaan kesihatan, pengangkutan, dll). Sememangnya sektor-sektor ini lusuh selepas bertahun-tahun berlakunya salah urus tadbir secara terang-terangan, rasuah yang berleluasa dan kronisme yang berakar umbi. Akibatnya, sistem pendidikan tidak berfungsi; ekonomi menyusut; kos sara hidup terus meningkat; ramai orang jatuh miskin; sistem perundangan telah dirampas oleh orang kaya dan berkuasa; kemerosotan alam sekitar terus berlaku tanpa henti; pelabur asing meninggalkan negara beramai-ramai; ketakutan dan syak wasangka antara masyarakat telah meningkat; jurang bandar-luar bandar semakin melebar – dan seterusnya senarai-senarai lain yang lebih panjang.

Dengan peringatan mengenai sifat realiti pascanormal kita yang sentiasa berubah, justeru pengarang memberi amaran bahawa dasar-dasar yang digariskan dalam buku ini tidak diukir di atas batu; bukan seperti mana tablet Nabi Musa. Sebaliknya, sambil kekal berpegang teguh kepada rangka kerja SCRIPT, beliau menyokong etos pragmatisme, di mana dasar harus diutamakan, disesuaikan atau dibuang berdasarkan keperluan dan cabaran yang berubah mengikut zaman.

Pengarang patut dipuji kerana wawasannya untuk Malaysia 2.0, iaitu Malaysia yang lebih tulen, yakin mencipta dan mengejar matlamat serta takdirnya sendiri berbanding sekadar mengikut apa yang telah diterapkan oleh orang lain; sebuah Malaysia yang menjadi pembawa obor dan bukannya pengikut buta; sebuah Malaysia yang hidup dan bernafas beersama dengan orang lain, bukannya di bawah orang lain.

Hal sedemikian itu memerlukan kepada imaginasi yang tidak terbatas dan takungan keberanian yang besar bagi menghasilkan visi yang berani berdasarkan paradigma baru, serta perancangan yang kukuh untuk merealisasikannya. Sesungguhnya ia merupakan ciri negarawan dan pemimpin yang sejati. Tidak diragukan lagi bahawa Anwar Ibrahim ialah seorang yang sebegitu. Beliau mempunyai semua kualiti seorang pemimpin yang baik. Pada dirinya ada kompas moral yang kuat dengan sauh yang ampuh, keupayaan untuk bergerak dalam persekitaran yang kompleks dan tidak menentu, serta potensi untuk mencipta ruang buat pembaharuan dan pertumbuhan untuk masa bergelora di hadapan kita. Walaupun beberapa kali dipenjarakan dan dihalang, namun beliau tidak pernah berputus asa memperjuangkan Malaysia yang adil dan inklusif. Beliau menginspirasikan kita untuk mengikut jejak langkahnya demi mengejar matlamat bersama dan mencipta masa depan kita sendiri.

Seperti semua manifesto, buku ini adalah suatu seruan untuk bertindak; seruan untuk bersiap siaga dalam menghadapi cabaran yang tidak dijangka sebelum bencana menimpa lagi; seruan untuk semua rakyat Malaysia – dari semua latar belakang dan kepelbagaian – agar mengenepikan perbezaan mereka, mengambil bahagian dalam membina kehidupan yang lebih baik buat diri mereka dan generasi akan datang, serta mengambil bahagian dalam pencapaian kita.

Pembaca akan mendapati bahawa buku ini memiliki wawasan yang luas dalam pendekatannya. Buku ini mengambil kira pengalaman politik Anwar Ibrahim yang panjang, bacaan, syarahan, perbincangan, dan meditasi bersendirian bersama input berharga daripada pelbagai pemikir, pakar strategi, ahli ekonomi, pakar undang-undang, saintis politik dan futuris. Buku ini adalah bacaan penting bagi sesiapa yang berminat dengan Malaysia dan masa depannya.


Esei ini adalah terjemahan daripada esei bertajuk SCRIPT – Anwar Ibrahim’s Vision for a Better Malaysia: A Review. Esei asal turut disiarkan di Free Malaysia Today: https://www.freemalaysiatoday.com/category/opinion/2022/10/11/anwar-ibrahims-vision-for-a-better-malaysia-a-review , di Academia.Edu: https://www.academia.edu/88282245/SCRIPT_Anwar_Ibrahims_Vision_for_a_Better_Malaysia_A_Review?email_work_card=view-paper , dan di sesawang IRF: https://irfront.net/post/articles/script-anwar-ibrahims-vision-for-a-better-malaysia-a-review/

Kemanusiaan Dalam Beragama: Persoalan Asas & Kritikan Sosial

$
0
0

Oleh: Abdul Rahman Sayuti || 19 Disember 2022

Agama mempunyai bahasa universal yang melampaui batas perkauman, tempat dan pengalaman kolektif tersendiri. Agama juga boleh menjadi pembatas yang eksklusif bagi sesuatu kumpulan, tempat atau kaum dengan masyarakat yang lain. Persoalan di sini adalah, bagaimanakah secara logiknya kitab-kitab suci dan dasar kepercayaan itu diterjemahkan oleh agamawan daripada setiap agama sebagai bahasa universal bagi menjalin komunikasi dialog dalam komuniti pemeluk agama itu sendiri dan masyarakat?

Mampukah mereka menterjemahkan ajaran agama yang diyakini benar itu sebagai bentuk keperihatinan terhadadap persoalan kemanusiaan? Masalah akan menjadi berbeza ketika beberapa kelompok agama dalam semua pemeluk agama menjadikan agama dan Tuhannya bagi kepentingan politik dan ekonomi yang sempit yang hanya menguntungkan kumpulan dan dirinya sendiri. Hasilnya, agama dan Tuhan hanya akan menjadi pengesah kebenaran dan kebaikan secara sepihak.

Berdasarkan kepercayaan kebenaran sendiri itulah yang menjadikan setiap tindakan pemeluk agama dan elit agamawan menjadi selalu benar dan sah untuk melakukan apa-apa tindakan menindas dan mengganggu kewujudan komuniti pemeluk agama lain serta menafikan pemeluk agama yang sama yang mempunyai kefahaman dan kecenderungan yang berbeza.

Di sinilah peranan agama yang terlembaga atau terinstitusi akan mengalami kepincangan dan gagal memenuhi fungsi kewujudannya bagi menyelesaikan masalah kemanusiaan, kemiskinan dan nasional. Berperang dan berbalah merebut kebenaran dan kebaikan menurut versi kita sendiri walaupun kita sedar setiap tindakan kita bukan sahaja tidak sedikitpun membantu menyelesaikan masalah, bahkan membuat majoriti masyarakat makin terkeliru, merana dan menderita.

Doktrin Kemanusiaan

Sudah sampai waktunya wahyu dan ajaran Tuhan ditafsirkan sebagai doktrin 𝐊𝐄𝐌𝐀𝐍𝐔𝐒𝐈𝐀𝐀𝐍. Kesalehan dalam beragama haruslah diertikan sebagai kepedulian dan sekaligus kemampuan menyelesaikan krisis kemanusiaan, masalah ekonomi dan kemiskinan malahan masalah nasional. Jika para agamawan serta pemeluk agama yang menyatakan dirinya yang paling soleh itu gagal membuktikan kepedulian kemanusiaan, maka agama yang diyakini dan dipeluknya hanya menjadi alat tunggangan demi kepentingan politik dan ekonomi bagi kelompoknya sendiri sahaja.

Tuhan pun akan marah ketika melihat betapa umat yang menyakini kebesaran dan kebenaran wahyu-Nya ternyata menjadi pecundang, penyimpang dan penindas kemanusiaan. Namun ketika agama dikenali sebagai parti politik, Lembaga, institusi atau NGO dan simbol fizik, maka ia secara tidak sengaja menjadikan pemeluk agama lain seperti ajaran cinta, kasih sayang dan rahmah hanya berlaku bagi diri dan kelompok seagamanya sendiri. Orang lain yang berbeza agama dan kepercayaan  bukan sahaja seolah-olah tidak berhak menerima rahmat dan cinta, malah akan dianggap sebagai pendosa dan kafir yang layak diperlakukan secara tidak adil dan tidak berperikemanusiaan.

Perkara ini juga berlaku kepada penganut agama yang sama tetapi berbeza pendekatan, corak kefahaman dan berbeza organisasinya. Persoalan utama di sini adalah, apakah kita bersedia mengembangkan model keagamaan universal (Rahmatan Lil-Ālamin) yang bukan hanya memenuhi aturan formal ritual ibadah semata-mata, bahkan turut memberi tumpuan kepada kemanusiaan, penderitaan manusia, dan krisis nasional di luar batas kepartian serta kelompok institusi keagamaan dan perkauman?

Adakah para agamawan, pemeluk Islam, serta gerakan-gerakan keagamaan terlibat aktif dalam mencari penyelesaian di atas? Ataupun mereka hanya sekadar sibuk bertarung, berbalah dan bersengketa merebut kebenaran dan kebaikan menurut versi mereka tersendiri sedangkan penderitaan masyarakat dan masalah kemiskinan saban hari makin membimbangkan?

Masyarakat Pluralisma Dan Kemerdekaan Beragama

Menurut Abdulaziz Sachedina dalam bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism, beliau dengan tegas membezakan antara kebenaran agama dengan fanatisme agama. Baginya, seorang pemeluk agama semestinya meyakini kebenaran agama yang dianutinya  tetapi tidaklah bermaksud dengan meyakini kebenaran agamanya itu membuatkan ia membentuk kebencian  terhadap agama lain yang berbeza.

Sebaliknya pula fanatisme agama adalah yakin akan agamanya tetapi dalam masa yang sama mencipta permusuhan terhadap agama lain yang berbeza dengannya. Dalam konsep pluralisma, Sachedina beralasan bahawa bukan sahaja perlu untuk meletakan kesedaran dalam keadaan masyarakat plural sahaja, tetapi juga bagaimana kita tidak akan menjuruskan konsep ekslusif itu kepada fanatisme. Lantaran itu amat tepat sekali apa yang disarankan oleh beliau sepertimana yang termaktub di dalam al-Qur’an Surah al-Maaidah ayat 48 yang bermaksud:

Kami jadikan (tetapkan) suatu syariat dan jalan ugama (yang wajib diikuti oleh masing-masing). Dan kalau Allah menghendaki nescaya Ia menjadikan kamu satu umat (yang bersatu dalam ugama yang satu), tetapi Ia hendak menguji kamu (dalam menjalankan) apa yang telah disampaikan kepada kamu. Oleh itu berlumba-lumbalah kamu membuat kebaikan (fastabiqul khairat); beriman dan beramal soleh). Kepada Allah jualah tempat kembali kamu semuanya, maka Ia akan memberitahu kamu apa yang kamu berselisihan padanya.

Asas pemerhatian Sachedina pada ayat ini adalah konsep “fastabiqul khairat” sebagai asas prinsip pluralism yang dibangunkan atas prinsip etika berbuat kebaikan dengan memahami dan mengakui  keterlibatan aktif bersama penganut agama lain. Al-Qur’an jelas dasarnya menganjurkan keterlibatan kerjasama antara agama lain atas dasar ia sebagai  penegak keadilan dan kebenaran kerana menurut beliau, sudah jelas al-Qur’an itu mengiktiraf kemuliaan manusia dan kemerdekaan beragama. Manusia bebas memilih dalam urusan keimanannya sejajar dasar pluralism agama yang mendorong kebebasan dalam beragama.

Maka dalam hal ini, menjamin sebuah masyarakat yang plural dan kebebasan beragama, negara  tidak seharusnya mendokong atau mendominasi wacana agama tertentu sahaja dalam masa yang sama menindas kepercayaan dan penglibatan agama lain mahupun daripada sekte atau mazhab yang berlainan dengan mazhab negara. Semua warganya mempunyai hak untuk melaksanakankan aktiviti kepercayaan agama masing-masing dan haruslah diberi ruang kebebasan yang sebenarnya tanpa sebarang sekatan, pencerobohan dan penindasan.

Seruan Ke Arah Manusiawi

Islam adalah agama yang menuntut kepada seruan pengislahan dan pembaharuan. Kecelakaan yang menimpa ketika ini adalah bagaimana pengamalan atau perlaksanaan undang-undang syariah yang bersifat historis atau pentafsiran klasik yang membentuk wajah syariah itu dilihat sebagai agama yang bersifat ekslusif, menindas, dan melanggar hak asasi kemanusian.

Penganut  agama yang bersifat fundamentalis hari ini menggambarkan wajah permusuhan dan kekerasan. Para Islamis hari ini gagal meletakkan konsep agama sebagai titik kesatuan yang menghubungkan kemajmukan dalam budaya dan agama. Kegagalan ini mengakibatkan wacana intelektual tradisi Islam gagal dikembangkan dalam konteks masyarakat kontemporari.

Seperti yang telah dijelaskan Abdullah An-Naim,  untuk mencapai tahap reformasi yang secukupnya, kita perlu mengenepikan teks-teks al-Qur’an dan sunnah era Madinah kerana teks tersebut memenuhi tujuan yang sementara manakala menerapkan teks-teks pada era  Mekah yang sebelum ini dianggap tidak sesuai tetapi menjadi keperluan mendesak masakini. Demikian itulah yang telah di anjurkan oleh Mahmoud Mohammed Taha dengan ungkapan al-Risalah al-Tsaniyah min al-Islam  iaitu Risalah Kedua Islam; bahawa seruan risalah yang disampaikan period Mekah adalah seruan perpaduan yang sebenarnya dengan melihat kepada keadaan mendesak dunia global hari ini yang lebih memerlukan kesatuan hidup masyarakat plural yang aman damai.


Abdul Rahman Sayuti ialah seorang Hāfiz lulusan Maahad Tahfiz Al-Qur’ān Hira’. Beliau mengambil Diploma Bahasa Arab di International University of Africa, Khartoum, Sudan sebelum melanjutkan pelajaran dalam jurusan Dirasat Islamiyyah di Universiti Al-Iman, Sana’a, Yemen. Beliau mendapat Ijazah Sarjana Muda Shari’ah dan Undang-undang daripada Universiti Islam Antarabangsa Sultan Abdul Halim Mu’adzzam Shah (UniSHAMS), Kedah Darul Aman.

Para Penterjemah: Marmaduke Pickthall, Yusuf Ali, dan al-Qur’an  – Bahagian I

$
0
0

Oleh: Steve Noyes
Penterjemah: Ahmad Muziru Idham Adnan || 14 May 2022

Artikel asal: https://rabbitholemag.com/the-translators-marmaduke-pickthall-yusuf-ali-and-the-quran/

Marmaduke Pickthall dan Yusuf Ali, para penterjemah al-Qur’an pada awal kurun ke-20, dikebumikan di bahagian Muslim di Tanah Perkuburan Brookwood berhampiran Woking, Surrey, iaitu setengah jam di luar London. Tanah Perkuburan Brookwood pada satu ketika pernah menjadi tanah perkuburuan terbesar di dunia. Kubur mereka bersaiz hanya beberapa ela sahaja; mereka menikmati suasana kejiranan yang mereka tidak pernah hadapi dalam masa hidup mereka. Satu-satunya pertemuan mereka yang direkodkan adalah pada tahun 1917 apabila Pickthall memeluk Islam (walaupun ada kemungkinan mereka bertemu semula di India). Tertulis pada batu nisan Pickthall sepotong ayat Qur’an: “Sesiapa yang benar-benar hamba Allah, tiada ketakutan terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”. Batu nisan Ali memiliki pelbagai gelaran, serta tertulis “Aku adalah untuk Allah dan kepada Allah aku akan kembali.” Ramai Muslim yang berkhidmat dengan Britain pada Perang Dunia Kedua telah dikebumikan di sini, bersama tokoh-tokoh Muslim British yang lain, seperti Arthur Quilliam yang mengasaskan masjid pertama Britain di Liverpool, Lord Hewadley dan warga British yang telah memeluk Islam, beberapa pegawai pada Empayar Uthmaniyyah terakhir, dan sarjana-sarjana Orientalis. Kubur orang Islam agak uzur dan berkarah, serta bekerdipan dan berselingan dengan bayang-bayang dahan-dahan pohon pine berserta cahaya matahari yang memutih.

Setelah aku memberikan penghormatan yang sewajarnya, aku mendapati bahawa peta di tepi jalan tidak menyebutkan tentang kuburan bahagian Muslim, meskipun bahagian-bahagian lain ditandakan dengan jelas. Aku menemui kubur Ali dan Pickthall disebabkan aku sudah mengetahui kuburan mereka di sana. Maklumat yang hilang tersebut agak mengganggu fikiranku. Ia menggambarkan sesuatu mengenai ketiadaan perwakilan; suatu lompang yang disengajakan dalam sejarah.

Pickthall dan Ali merupakan Muslim bertakwa yang menjawab tuntutan zaman mereka terhadap agama, bangsa dan budaya serta terdera oleh perubahan sejarah dan peperangan. Dalam pergolakan hidup, yang merangkumi keruntuhan dua empayar – Empayar Uthmaniyah dan British – mereka berjaya memancarkan teks utama umat Islam ke dalam bahasa Inggeris. Pada mulanya, aku tertarik kepada mereka disebabkan mereka berdua seolah-olah melambangkan pertukaran pada arah yang bertentangan: Pickthall menjadi seorang Muslim, manakala Ali pula menjadi seorang Inggeris.

Pickthall Menjadi Seorang Muslim Dan Ali Menjadi Seorang Inggeris

Yusuf Ali dilahirkan pada tahun 1874 dalam keluarga Islam di Surat, iaitu sebuah bandar yang berbahasa Gujerati di India. Beliau menukar kesetiaannya seumur hidup kepada Empayar British sewaktu di sekolah Kristian Protestan dan di Cambridge, England tempat beliau belajar tentang perundangan. Beliau berjaya lulus peperiksaan untuk Perkhidmatan Awam India, dan kembali ke India sebagai majistret daerah dan pemungut cukai. Kerjayanya yang kemudian lebih jelas digambarkan sebagai gabungan kepimpinan pendidikan di India, usaha diplomatik kecil yang mewakili India, mempropagandakan bagi pihak Pejabat Dalam Negeri British, menerbitkan mengenai sejarah dan budaya Muslim secara meluas, serta kesarjanaan Islam perorangan. Perpindahannya kepada sebuah realiti politik yang menghanyutkan – Raj (kekuasaan British di India) – telah membentuknya dan menjadikannya agak bertentangan dengan gerakan untuk memiliki kerajaan sendiri di India. Sekitar tahun 1920-an, selepas usaha-usaha untuk mewakili Muslim India di Persidangan Paris dan persidangan-persidangan lain, beliau berpindah ke Lahore dan menjadi pengetua di sekolah lelaki Muslim. Kebanyakan hidupnya adalah dipenuhi dengan pengembaraan; beliau merentasi dunia untuk memberikan kuliah-kuliah mengenai sejarah dan kebudayaan Islam, menghadiri persidangan pendidikan dan antara agama, serta pernah mengetuai pembukaan sebuah masjid di Edmonton.

Marmaduke Pickthall pula dilahirkan di London pada tahun 1875. Beliau merupakan anak kepada seorang menteri Methodist, dan memulakan penukaran agamanya pada awal 1890-an apabila beliau melawat wilayah yang kini dikenali sebagai Israel, Lubnan, dan Syria serta mempelajari bahasa Arab. Sewaktu perjalanannya, beliau menemui seorang sheikh di masjid Damsyik dan menyatakan hasratnya untuk memeluk Islam; sheikh tersebut menasihatinya supaya beliau bersabar sehingga  berpeluang berada dalam kaumnya sendiri. Marmaduke menunggu sehingga tahun 1917 untuk memeluk Islam, iaitu sewaktu beliau berusia 25 tahun. Beliau merupakan seorang sasterawan, pengarang bagi 20 buah novel dan koleksi cerita, yang berlatarkan England dan Timur Dekat.

Sewaktu Perang Dunia Pertama, beliau menyatakan ketidaksetujuannya secara terbuka dengan ahli politik British mengenai nasib Empayar Uthmaniyyah dan bertelagah secara khusus dengan seorang pegawai Pejabat Luar Negeri, Sir Mark Sykes, yang menulis kepadanya berkata, “Saya tidak rasakan bahawa adalah wajar untuk anda menjalinkan persahabatan mutlak dengan negara musuh… dan seterusnya bercakap dengan nada permusuhan yang jelas terhadap kerajaan anda sendiri.” Selepas hal tersebut, Pickthall yakin bahawa Sykes telah menyenaraihitamkannya; beliau telah jatuh miskin dan peluangnya di Britain telah hilang. Beliau berangkat ke India untuk menyunting Bombay Chronicle dan Islamic Culture, dan kemudian berkhidmat kepada Nizam Hyderabad sebagai pengetua dan pegawai istana.

Yusuf Ali, sebagai peguamcara, pegawai kolonial, propagandis untuk kerajaan British, dan jurusosial tetap dengan kelas atasan, tidak pernah mengalami pengawasan yang mencurigakan seperti ini sebagai seorang Muslim di England. Sebaliknya, beliau telah dipilih ke Persatuan Kesusasteraan dan Kesenian Diraja, dan dijadikan sebagai Komander Empayar British. (Walau bagaimanapun, di India, beliau dihalang daripada kelab dan gymnasium olahraga British yang eksklusif). Permasalahannya adalah lebih kritikal. Pada tahun 1920, Ali juga meninggalkan England ke Lahore sesudah lama perceraian pahitnya dengan seorang wanita Inggeris, Teresa Shalders, yang telah memulakan hubungan sulit dengan Obed Thorne sewaktu ketiadaan Ali dalam tempoh yang lama. Ali telah dibenci dan diasingkan daripada anak-anaknya, yang ditinggalkanya dalam jagaan seorang pengasuh ketika beliau meneruskan kembaranya. Khususnya anak lelakinya, Bloy – menurut Dr. Jemil Sherif, penulis biografi pertama Ali – yang terus membuatkannya sengsara. Pada akhirnya, beliau terpaksa memilih untuk memutuskan hubungan dengan anaknya. Beliau menyatakan kekecewaan ini dalam kata pengantar terjemahannya:

“Kehidupan bagi seorang lelaki adalah tertakluk kepada badai dalaman yang jauh lebih dahsyat daripada kehidupan fizikal di sekelilingnya. Dalam badai sebegini, dalam kepedihan pahit sebuah kesedihan peribadi, yang hampir-hampir meruntuhkan nalarku, dan membuatkan hidupku seolah-olah tidak bermakna, sebuah harapan baru lahir dalam usaha sistematik bagi projek yang telah lama aku idami. Dengan siraman air mata, manuskripku ini terus berkembang…”

Terjemahan al-Qu’ran mereka – terjemahan Pickthall diterbitkan pada tahun 1930, manakala terjemahan Ali pula diterbitkan pada tahun 1934 – terus kekal dicetak, dan telah dianggap secara meluas sebagai terjemahan yang paling jujur dan tersusun oleh Muslim berbahasa Inggeris. (Banyak terjemahan Inggeris terdahulu selalunya tidak tepat, disusun secara eksentrik, atau bertujuan memburukkan Islam). Namun tidak dapat dipastikan berapa ramai masyarakat Inggeris yang telah memeluk Islam hasil daripada terjemahan mereka tersebut.

Sherif merumuskan pencapaian Pickthall dan Ali dengan kemas. “Mereka menjadikan bahasa Inggeris sebagai bahasa Islami,” katanya.

“Mereka Menjadikan Bahasa Inggeris Sebagai Bahasa Islami”

Meskipun konteks mereka berdua adalah berbeza pada waktunya, namun kehidupan Pickthall dan Ali berada di tangan sekumpulan kecil ahli akademik dan penulis yang mempelajari Islam British. Sesebuah kehidupan yang secara retrospektifnya dipelihara dalam buku-buku mempunyai ciri pembeza yang lebih jelas berbanding hanya tanggapan, peristiwa dan hubungan yang dilalui Ali dan Pickthall; tafsirannya tidak dapat tidak menjadi reduktif, walau betapa pakar sekalipun ia. Kedua-dua penterjemah tersebut merupakan orang yang berjaya dan sememangnya orang yang memiliki keistimewaan, tetapi mereka menghadapi halangan disebabkan kehidupan mereka merentasi banyak sempadan  – Pickthall semakin diperhatikan dengan syak wasangka oleh golongan kelas atasan Inggeris disebabkan simpatinya terhadap Turki sewaktu Perang Dunia Pertama, manakala Ali kecewa dengan prejudis dalam Perkhidmatan Awam India yang menafikan kenaikan pangkatnya.

Bagi Sir Peter Clark, iaitu penulis buku Marmaduke Pickthall: British Muslim, kepentingan Pickthall adalah pada keberaniannya dan memberi manfaat kepada Muslim dan yang bukan Muslim: “Pickthall, seperti kebanyakan Muslim dalam persekitaran non-Muslim, berada dalam posisi defensif. Selama berabad-abad lamanya terdapat pembohongan dan fitnah terhadap umat Islam. Dengan keberanian dan integriti peribadinya, beliau menghadapi permusuhan ini dengan tulisan-tulisannya. Daripada dahulu sehingga kini terdapatnya komuniti global Muslim…namun banyak konflik dalaman dalam dunia Islam. Dengan akar umbinya dalam masyarakat Inggeris, kefahaman terhadap Pickthall dan kerja-kerjanya membantu kita untuk memahami bahawa tidak ada yang asingnya – bagi non-Muslim – mengenai Islam… serta membantu orang lain untuk memahami antara satu sama lain serta mengurangkan ketegangan budaya antara agama. Terjemahan al-Qur’annya… telah menjadi jambatan kepada kebanyakan orang untuk memahami Islam, dan bagi sesetengah orang… adalah jambatan untuk memeluk Islam.”

Dalam The Infidel Within, Dr. Humayan Ansari menggambarkan kehidupan Yusuf Ali sebagai sebuah strategi yang bertujuan menarik minat golongan atasan British, seperti kaum elit India yang lain pada ketika itu, iaitu suatu sikap yang Ansari sifatkan sebagai “penghormatan, kalau bukan kepatuhan.” Beliau menjadikan Ali kedengaran seperti penjilat kolonial yang hebat, dan ia sememangnya benar bahawa Ali mengagumi British, mengenangkan bahawa “cinta Anglo-Saxon terhadap organisasi dan kemajuan telah meletakkan mereka pada tahap tertinggi bagi kemajuan manusia.” Beliau mengekalkan sokongan padu terhadap Empayar British sekian lamanya walaupun ketika kemerdekaan India telah terjamin. Ansari menyatakan bahawa, propaganda Perang Dunia Pertama Ali yang menggesa Muslim India “untuk mati demi negara, Padishah, Raja, dan Empayar” digambarkan sebagai “bersujud” dan “menjilat” pada ketika itu, dan beliau betul-betul memerhatikan bahawa “sememangnya kerajaan menganggapnya sebagai jurucakap Muslim terkemuka di Britain.”

Sherif, penulis biografi pertama Ali, dibesarkan dalam sebuah perumahan di mana terjemahan al-Qur’an Ali merupakan satu-satu buku Muslim yang dimilikinya. Apabila Masjid London lama telah dirobohkan pada awal 1980-an, beliau terjumpa sebuah buku skrap yang dipenuhi dengan keratan akhbar Ali, yang mendorongnya untuk menjadi penulis biografi Ali. Beliau melihat banyak konsistensi yang merentasi wawasan keagamaan Ali dan Pickthall, dan legasi mereka terdiri daripada kesarjanaan dan jasa mereka ke arah pendidikan Muslim yang lebih baik. “Kedua-dua lelaki itu datang daripada persekitaran berbeza dan memiliki kesetiaan politik yang tidak sama, namun memiliki pandangan keagamaan yang sangat serupa.” Dalam salah satu esei terakhirnya, The Idea of Salvation in Islam, Yusuf Ali mencatatkan tangisan seorang lelaki, “Kesombongan! Semuanya adalah kesombongan!” Frasa yang Pickthall selalu gunakan adalah, “Mati, sebelum kamu mati.” Kedua-duanya adalah kiasan kepada kilauan sementara dan kemahsyuran bagi kewujudan material.

Sherif juga turut menekankan tentang ketakwaan awal mereka. Pickthall merupakan seseorang yang sangat spiritual meskipun beliau belum menjadi seorang Muslim, contohnya beliau berpuasa pada hari perkahwinannya bagi menghormati nazar Kristian. Manakala Yusuf Ali, sewaktu berusia 19 tahun di Cambridge, beliau akan datang ke London untuk terlibat dalam perhimpunan Muslim dan membaca puisi pujian terhadap Nabi.

Dr. Geoffrey Nash berkata, walaupun sebilangan tafsiran Yusuf Ali tentang al-Qur’an adalah idionsinkratik dan tidak ortodoks, namun beliau patut dihormati kerana “cuba mentafsir al-Qur’an yang pelbagai makna dengan kefahamannya tersendiri.” Bagi Pickthall, Nash mengingatkan kita bahawa khutbah-khutbahnya di Masjid Woking merupakan kesinambungan daripada kerja Arthur Quilliam sebelum ini di Liverpool. Quilliam berusaha untuk menyampaikan Islam dengan cara yang munasabah kepada masyarakat Inggeris. Dalam jurnalnya, The Crescent, beliau menyelitkan artikel-artikel keagamaan dengan artikel-artikel mengenai sains pembangunan, dan membincangkan pengharaman Muslim terhadap alkohol dari segi Gerakan Kesederhanaan.

Sewaktu Marmaduke dan Yusuf masih muda, pada tahun 1890-an, terdapat suatu tradisi perdebatan yang rencam sepanjang abad ke-19 mengenai keperluan untuk mereformasi Islam, sama ada untuk menjadikannya sesuai dengan pembangunan kuasa dan keunggulan teknologi Barat, ataupun untuk memurnikan Islam dengan kembali kepada suasana zaman Nabi dan para Sahabatnya.

Terdapat beberapa penyelesaian yang diperhujahkan: konsep pan-Islamisme, pengembalian semula kewibawaan Khalifah, nasionalisme Arab, Islam yang lebih fundamentalis, menggunakan sistem perundangan dan pendidikan Barat, dan pemberontakan. Perdebatan tersebut berlaku di banyak negara: Algeria, Tunisia, Mesir, Lubnan, Arab, dan Empayar Uthmaniyyah sendiri. Pernyataan masalah dan cadangan-cadangan penyelesaian yang dikemukakan memiliki tiga kecenderungan utama.

Pertama: Islam berada dalam bahaya disebabkan kemerosotannya sebagai sebuah tamadun dan perlu menerima penguasaan Barat serta menggunakan kod perundangan dan teknologinya – untuk menjadikan kerajaan sekular – dan berusaha ke arah kenegaraan Islam secara individu bagi entiti-entiti geografi, jika perlu, dengan bekerjasama bersama penjajah Eropah.

Kedua: Islam adalah rasional, demokratis, dan boleh membentuk asas kerajaan yang berkesan (tinggal sahaja ianya perlu diubah suai). Para penjajah boleh mengajarkan kita pelbagai perkara berguna, namun mereka juga adalah berbahaya dan mesti ditentang kerana mereka akan melemahkan moral dan cara hidup spiritual kita. Persoalannya adalah, aspek Barat yang manakah kita akan tolak dan terima.

Ketiga: Satu-satunya asas untuk masyarakat Muslim dan kesejahteraan manusia umum ialah al-Qur’an, dan as-Sunnah daripada perbuatan dan perkataan Nabi. Dengan terlalu banyak perhubungan dengan Barat, terlalu banyak kepercayaan masyarakat Islam yang menyeleweng, dan terlalu sedikit perhatian diberikan terhadap teras agama kita, maka Islam secara berbahaya telah hanyut daripada akarnya. Kita mesti kembali kepada kesucian umat Islam yang terawal jika kita berharap untuk memperbaiki nasib kita.

Imaginasi tidak banyak diperlukan untuk melihat dalam pendirian ini bagi ciri-ciri tipikal yang muncul di dunia kita sekarang. Kenegaraan, orientasi keagamaan, penentangan terhadap pencerobohan: ianya adalah tekanan-tekanan yang masih wujud pada hari ini, serta kehidupan Pickthall dan Ali menggambarkan perjuangan konseptual di antara idea-idea Timur dan Barat; Dunia Pertama dan Dunia Ketiga; sekularisme dan teokrasi. Para penterjemah tidak memainkan peranan besar dalam perdebatan ini, namun projek politik utama yang mereka dokong – Pickthall, sebuah Empayar Uthmaniyyah yang diperbaharui; Ali, sebuah India yang diperintah oleh British – telah ditakdirkan punah oleh sejarah. Kekuasaan British India dan Kekuasaan Uthmaniyyah telah tiada, namun bentuk geopolitik negara pernah dan masih dipengaruhi oleh penjajah.

Terjemahan al-Qur’an oleh Pickthall dan Ali yang diterbitkan pada tahun 1930-an telah mendapat sanjungan yang meluas, hasil kerja yang panjang dan tertumpu, di mana Pickthall menghabiskan cutinya selama dua tahun yang diberikan oleh Nizam Hyderabad, dan Ali menyiapkannya sewaktu pelayaran kapal wapnya yang kerap. Kerja mereka tidaklah berlangsung tanpa sebarang kritikan. Ia tidak mungkin tidak boleh dikritik. Al-Qur’an yang terdiri daripada 114 surah dan lebih daripada 250 ayat panjang merupakan teks yang sukar untuk diterjemah. Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab klasik, fus’hah, iaitu sebuah bahasa yang tidak memiliki sebarang persamaan sama sekali dengan bahasa Inggeris, sama ada dari segi perbendaharaan kata, sintaksis, mahupun ortografi. Hampir setiap hari ada makalah baharu yang dimuat naik di Academia.com yang menganalisis dan mengkritik beberapa aspek terjemahan mereka. Namun kritikan merupakan bentuk sanjungan kesusasteraan yang paling tulus.

Mereka juga menghadapi beberapa tentangan apabila terjemahan disiapkan pada tahun 1930-an. Pickthall ditentang oleh para ulama daripada masjid Al-Azhar di Kaherah, manakala Ali dibantah oleh sasterawan India Muslim yang menganggap terjemahannya penuh dengan kesilapan kerana pengetahuannya yang tidak sempurna mengenai ilmu-ilmu berkaitan bahasa Arab.

Cara mereka menguruskan kritikan-kritikan ini memberi suatu petanda tentang keperibadian mereka. Pickthall mengembara ke Mesir untuk melobi para alim ulama di Universiti Al-Azhar bagi mendapatkan persetujuan mereka dengan mengeksploitasi perbezaan pendapat dalam kalangan ahli lembaga universiti; separuh daripada mereka beranggapan bahawa terjemahan al-Qur’an adalah satu keperluan, manakala separuh lagi menganggapnya sebagai mustahil dan bahkan suatu penghinaan terhadap agama. Apabila diberitahu bahawa beliau mesti mendapatkan fatwa untuk meluluskan kerjanya itu, Pickthall hanya berkata bahawa beliau sudah memiliki fatwa tersebut daripada seorang imam di India. Hal ini menggambarkan bahawa Pickthall merupakan seorang ahli taktik mahir yang mencari sekutu bagi ke mana-mana sahaja beliau pergi.

Sebaliknya, Yusuf Ali tidak mahu terjemahannya itu diluluskan oleh para ulama Muslim Arab. Responnya terhadap kritikan-kritikan mengenai bahasa Arabnya itu berbau defensif yang kelihatan tercalar yang setelah berdekad-dekad diraikan di tiga benua, tidak banyak yang dapat mengurangkannya: “Saya tidak menyangka bahawa begitu banyak kecemburuan manusia, salah faham dan kekeliruan menyakitkan yang harus dilalui oleh seseorang yang tidak mencari keuntungan duniawi dan berlagak seakan tiada memiliki kewibawaan dogmatik.” Mungkin inilah sebabnya apabila Pickthall menterjemahkan frasa al-Qur’an sebagai “dendam”, Ali pula menterjemah frasa yang sama sebagai “rasa kecederaan yang tersembunyi”.

Pengetahuan mereka tentang bahasa Arab mungkin tidak sempurna ataupun fasih, tetapi Ali belajar bahasa Arab daripada bapanya semenjak kecil, dan Pickthall pada usia 19 tahun telah menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab di Masjid Woking. Kedua-duanya telah menulis secara meluas dan mendalam dalam banyak subjek Muslim sepanjang kerjaya mereka yang memaparkan keterdedahan mereka terhadap banyak aspek kesarjanaan Islam terdahulu yang mengagumkan.

Penulis biografi Pickthall, Dr Peter Clark berkata bahawa, Pickthall merupakan seorang autodidak yang belajar sendiri tentang bahasa Arab, dan “beliau memakai topeng keangkuhan pada waktu tertentu, ekspresi luaran yang kurang yakin dengan diri, dan tidak mempunyai guru ataupun mentor”. Pickthall menguasai bahasa Arab dengan baik. Dalam biografi Pickthall yang lain, Loyal Enemy, yang ditulis oleh Anne Fremantle, beliau memetik daripada surat Pickthall, “pengetahuan bahasa Arab saya adalah lebih baik daripada para ulama Muslim.”

Pickthall tidak berusaha untuk menulis sebuah tafsir al-Qur’an, dengan membataskan dirinya menulis sebuah esei pengenalan tentang kehidupan Nabi, tetapi Peter Clark memanggil eseinya sebagai, “The Cultural Side of Islam“, yang diterbitkan dalam Islamic Culture pada tahun 1927, di mana esei tersebut merupakan sebuah kenyataan yang fasih dan jelas mengenai Islam liberal. Bagi Pickthall, Islam adalah berdasarkan akal, dan beliau memetik sebuah hadith di mana Nabi Muhammad bersabda (atau dikatakan telah bersabda): “Yang pertama diciptakan adalah akal”. Baginya, Islam adalah sentiasa malar segar dan lebih daripada cabaran zaman – bahkan beliau memuji “kemodenan al-Qur’an dan banyak ajaran Nabi yang mengagumkan – tetapi beliau menekankan bahawa “pada akhirnya adalah penting untuk membezakan antara tubuh ajaran Islam dan cerita dongeng yang telah dilemparkan sebagai sebuah pakaian yang berfesyenkan antik”. Tambahan pula, Islam adalah bersifat optimistik, tidak fatalistik, dan menggalakkan manusia berusaha ke arah pembaikan diri. Beliau mengimbau Damsyik, Aleppo, dan Baitulmaqdis pada tahun 1890-an dan menulis, “Apa yang mengejutkan saya, meskipun ia rosak dan miskin, namun ia adalah kegembiraan bagi kehidupan tersebut berbanding dengan apa-apa yang saya lihat di Eropah.” Beliau menawarkan Islam sebagai alternatif kepada “Komunisme, Sosialisme, Bolshevisme, dan semua isme yang lain.”

Yusuf Ali menuliskan beberapa catatan yang serupa dalam “The Religious Polity of Islam” yang ditulisnya dalam jurnal yang sama. Tapi baginya, Islam sebagai penanda kepada kemajuan yang lebih besar, tetai bukanlah benar selama-lamanya. “Nabi menunjukkan jalan negara yang tidak berpuak-puak, tidak bersifat sakral, dan tidak autokratik”. Ali, seperti Pickthall, melihat Islam sebagai berakar umbi dalam kehidupan seharian yang praktikal, yang menunjukkan bahawa Muhammad “sentiasa mengikuti ajaran dengan teladan”, namun pergi lebih lebih jauh berbanding Pickthall dalam mencirikannya sebagai “agama awam”. Beliau berpendapat bahawa salah satu daripada punca kemerosotan Islam adalah kerana ia “ditunggangi para ulama”. Beliau juga percaya bahawa Islam adalah tidak bertentangan dengan penggunaan kod-kod perundangan daripada negara-negara Eropah.

Walaupun penekanan mereka berbeza, namun kedua-duanya memaparkan sebuah Islam yang moderat dan toleran sebagai peluang politik dan sosial untuk berdaya maju bagi dunia moden. Nash menyebutkan perkara ini sebagai “sebuah kemodenan di mana Islam bukan sahaja bersesuaian, malahan boleh memimpin”.

Kita mengetahui tentang pemikiran Yusuf Ali mengenai al-Qur’an dengan lebih lanjut berbanding Pickthall disebabkan tafsiran Ali diterbitkan bersama terjemahannya. Ali sering cenderung untuk membuang tafsiran yang berlebihan dan bernada mistik. Seperti kata seorang ulama al-Qur’an, Dr. Abdurahim Kidwai, “Walau bagaimanapun, kelihatan beberapa catatannya tentang syurga, neraka, dan malaikat mencerminkan tasawufnya dan terlalu menekankan terhadap perkara-perkara spiritual, serta bercampur-baur dengan semangat pseudo-rasionalis pada zamannya”. Bahkan, Ali percaya bahawa al-Qur’an merupakan ekspresi bagi kebenaran sejagat kepada semua agama yang hanya dapat dihayati oleh orang-orang yang teruji seperti dirinya. “Pada pandangan saya, agama bagi semua orang yang berfikir adalah sama, meskipun betapa berbezanya pada falsafah yang digunakan untuk menjelaskan naluri spiritual mereka, ataupun acuan yang mereka letakkan harapan spiritual mereka”. Beliau memberikan gambaran yang memihak kepada sebuah spiritualiti universalis sintetik, seorang Esperanto yang beragama, yang serupa – mungkin – kepada Teosofi.

Al-Qur’an sendiri menyatakan bahawa ia mengandungi ayat-ayat dalam makna muhkamat (literal) dan mutasyabihat (metafora), namun “hanya Allah mengetahui makna bagi ayat-ayat mutasyabihat“. Dalam tafsirnya, Ali melayari semua itu dan menulis esei yang menyeluruh mengenai makna kiasan bagi cerita Yusuf dan Zulikha (isteri firaun): sebuah khutbah tentang cinta spiritual yang bersifat platonik yang muncul selepas api keghairahan dipadamkan. Apabila menterjemah ayat daripada Surah Al-Fajr  sebagai “dengan selang-seli antara genap dan ganjil”, iaitu salah satu daripada siri pasangan yang bertentangan, Ali mengulas secara kiasan, “Kedua-dua perkara yang abstrak dan konkrit sering difahami secara bersenjangan daripada perkara yang berlawanan dengannya. Dari segi spiritual, kenapa kita tidak memahami kehidupan kita secara lebih baik dengan merujuk kepada Hari Akhirat?”

Prakata Penterjemah “Major Themes of the Qur’an” oleh Fazlur Rahman

$
0
0

Ahmad Muziru Idham Adnan || 1 Mac 2023

Kesarjanaan Fazlur Rahman (1919-1988) dalam wacana keIslaman adalah tidak asing lagi sehingga beliau tergolong sebagai antara tokoh reformis Islam berpengaruh abad ke-20. Sekiranya Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rashid Rida (1865-1935) telah meletakkan batu asas kepada seruan islah dan tajdid yang membangunkan semangat reformisme Islam untuk kembali kepada landasan al-Qur’ān dan as-Sunnah, Fazlur Rahman pula telah memulakan suatu pendekatan baru terhadap metodologi tafsir al-Qur’ān dengan memperkenalkan konsep tafsir tematik yang terhimpun dalam karya agungnya, Major Themes of the Qur’ān, yang kemudiannya diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu sebagai Tema-Tema Agung al-Qur’ān.

Sememangnya telah sedia maklum bahawa pendekatan tafsir tematik yang dipanggil sebagai tafsir mau’dhū’i sudah wujud dalam turath keilmuan Islam, akan tetapi, pendekatan segar yang dibawa oleh Fazlur Rahman adalah tidak sekadar menghimpunkan ayat-ayat al-Qur’ān dalam suatu tema, bahkan kefahamannya digali daripada kefahaman terhadap intipati pesan Tuhan, konteks sosio-sejarah zaman pewahyuannya dan dihubungkaitkan dengan realiti yang berlaku dalam konteks masyarakat kontemporari. Sebabnya, Fazlur Rahman menginsafi bahawa pendekatan tafsir al-Qur’ān sedia ada yang kebanyakannya memetik daripada teks secara ayat demi ayat dan memberikan penjelasan terhadapnya adalah tidak mencukupi untuk memahami kehidupan dan alam semesta secara menyeluruh.

Fazlur Rahman sedar akan implikasi mewujudkan pembaharuan terhadap disiplin tafsir tradisional yang telah diterima pakai. Tetapi, dengan ketelusan dan penuh kepekaan, beliau mengambil risiko untuk melakukannya demi mengembalikan semangat dan kesedaran kaum Muslimin kepada keaslian al-Qur’ān sebagai kitab wahyu yang terus relevan sepanjang zaman. Sebabnya, tujuan utama Fazlur Rahman menulis Major Themes of the Qur’ān itu sendiri adalah bagi menjawab penulisan para orientalis, terutamanya John Wansbrough dalam bukunya, Qur’anic Studies (1977) yang mengatakan bahawa al-Qur’ān itu adalah terhasil daripada tradisi Yahudi.

Maka, Fazlur Rahman menyedari bahawa al-Qur’ān itu perlu diperjelaskan secara tematik, iaitu penyatuan ayat-ayat Qur’ān mengikut tema kerana yakin bahawa “eksposisi sintetik ini merupakan satu-satunya cara untuk memberikan sebuah rasa keaslian bagi al-Qur’ān terhadap seseorang pembaca, iaitu Pesan Tuhan kepada manusia.” Cara ini dapat membalas hujah-hujah orientalis tersebut dalam menjawab bahawa al-Qur’ān itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW kerana tema-tema Qur’āni tersebut membawa mesej ketulenan ajaran Islam yang kekal relevan sepanjang zaman dan kepada semua umat manusia.

Dengan pendekatan ini, maka ia memberi asas panduan moral dan etika kepada para pembacanya tentang seruan utama al-Qur’ān dalam kehidupan, sebelum pergi lebih jauh kepada disiplin-disiplin pengajian Islam yang lebih mendalam. Kata Fazlur Rahman, “Tidak ada keraguan lagi bahawa tujuan utama al-Qur’ān adalah untuk mendirikan sebuah aturan sosial mampan yang akan menjadi adil dan berteraskan etika.” Dalam mengusahakan pendekatan ini, Fazlur Rahman mengusulkan Teori Gerakan Berganda (Double Movement Theory) dalam usaha beliau untuk berdialog antara teks dan konteks. Beliau sangat mengapresiasi sejarah dan cuba untuk menyesuaikan perkembangan dalam segenap ruang dan waktu. Beliau mencuba teori gerakan berganda ini dengan pertamanya; bergerak dari realiti masakini kepada zaman di mana teks diturunkan dengan memahami nuansa konteks historis bagi teks tersebut; dan keduanya, bergerak dari zaman konteks historis yang tersebut itu untuk balik semula kepada realiti yang kontemporari.

Daripada teori ini, Fazlur Rahman mengajak masyarakat untuk memahami al-Qur’ān dalam konteks yang lebih luas dan tidak disempitkan kepada perihal hukum perundangan semata-mata seperti yang lazim dilakukan oleh para ulama. Sebab itu Fazlur Rahman mempertegaskan untuk membezakan perihal hukum-hakam dan perintah moral di dalam al-Qur’ān itu. Katanya, “…dalam memahami reformasi sosial al-Qur’ān, kita akan menuju kepada kesalahan fundamental sekiranya kita tidak membezakan di antara enakmen hukum dan perintah moral. Hanya dengan membuat pembahagian terhadap kedua-dua perkara tersebutlah, maka kita tidak bukan sahaja memahami orientasi sebenar pengajaran al-Qur’ān, malahan turut menyelesaikan permasalahan rumit tertentu yang berkaitan…”

Tidak dinafikan bahawa, dalam keunggulan sumbangan Fazlur Rahman terhadap bidang keIslaman kontemporari, beliau tetap tidak terlepas daripada kontroversi pendekatannya yang dianggap menyalin pendekatan hermeneutika. Bagi para tradisionalis Islam, hermeneutika adalah metodologi dalam mentafsir dan mengkritik kitab Bible, justeru adalah terasing daripada tradisi keilmuan Islam dalam mendekati teks-teks wahyu. Tetapi, sebenarnya ia adalah tuduhan yang tidak berasas terhadap kesarjanaan Fazlur Rahman kerana – sekiranya diteliti Major Themes of the Qur’an secara menyeluruh – kita akan dapat faham sesegeranya bahawa hermeneutika yang dibawa oleh Fazlur Rahman adalah berbeza daripada tuduhan-tuduhan kontroversial terhadapnya yang salah faham terhadap pendekatan Fazlur Rahman dalam menanggapi teks wahyu.

Fazlur Rahman bukan sahaja telah menjadikan al-Qur’ān sebagai sebuah teks wahyu yang hidup malar segar sepanjang zaman, bahkan telah memberi ruang kepada norma moraliti dan hukum-hakam al-Qur’ān untuk berinteraksi dengan suasana kontemporari meskipun konteks pewahyuannya telah selesai lebih daripada 1500 tahun yang lalu. Penjelasan terhadap metodologi Fazlur Rahman ini akan lebih jelas kalau dibaca bukunya yang lain, Islam and Modernity, yang menekankan perihal moral-sosial dan konteks sejarah pewahyuan sewaktu zaman Nabi Muhammad SAW. sebagai respon Ilahi terhadap apa yang berlaku di sekeliling melalui Nabi. Jadi, nilai dan makna wahyu digali secara menyeluruh dan tidak sekadar bergantung kepada harfiah teks semata-mata.

Bahkan, kontroversi ini turut dijawab oleh Moh. Agus Sifa dan Muhammad Aziz dalam makalahnya, Telaah Kritis Pemikiran Hermeneutika “Double Movement” Fazlur Rahman (1919 – 1988). Mereka menekankan bahawa, pendirian Fazlur Rahman ini adalah selari dengan Imam asy-Syātibi – seorang ulama usul fiqh yang terkenal dengan teori maqāsid syari’ah –  bahawa “memahami al-Qur’ān perlu memahami situasi dan kondisi dimana al-Qur’ān itu diturunkan dan memahami teks bahasa Arab dibutuhkan juga pengetahuan sejumlah keadaan (muqtadhayat al-ahwal), keadaan bahasa (hal nafs al-khithab), keadaan mukhathib (pengarah) dan keadaan mukhathab (audien).” Maka, pendirian Imam asy-Syātibi yang menyarankan agar para pentafsir al-Qur’ān untuk memahami al-Qur’ān berdasarkan teks dan konteks bahasa Arab pada ketika itu adalah sejajar dengan kefahaman Fazlur Rahman dalam Teori Gerakan Berganda. Secara tidak langsung, ia adalah kritik beliau terhadap mufassir klasik yang tidak memberi perhatian kepada konteks zaman Arab dan bagaimana pewahyuan al-Qur’ān diturunkan sebagai respon kepada kasus-kasus peristiwa sewaktu zaman Nabi.

Dalam hal ini,  pengalaman saya secara peribadinya dalam menterjemah Major Themes of the Qur’an adalah sangat berharga kerana ia membuka ruang kepada sisi pandang yang lebih luas tentang ranah keIslaman, terutamanya tentang wacana Qur’āni. Kefahaman jitu Fazlur Rahman terhadap kandungan al-Qur’ān terlihat ketara dalam buku ini, di mana beliau telah menghubungkan banyak ayat al-Qur’ān di mana-mana tempat dalam menjawab persoalan-persoalan asas dan penting kaum Muslimin yang dijalinnya dalam tema-tema besar ajaran Islam. Hampir tiada suatu petikan pun daripada sumber-sumber lain dijadikan sebagai pembuktian atau penguatan hujah, melainkan segala-galanya yang terkait dengan persoalan kaum Muslimin itu adalah dijawab secara langsung oleh al-Qur’ān itu sendiri.

Di tangan Fazlur Rahman, al-Qur’ān terlihat hidup untuk berkomunikasi langsung dengan para pembacanya untuk menjawab sebarang syubhat dan keraguan yang bersarang dalam jiwa. Sebagai seorang manusia dan seorang ilmuwan, sudah tentulah ada kelemahan Fazlur Rahman di sana sini, seperti yang ditimbulkan oleh Ebrahim Moosa dalam ruangan Kata Pengantar. Tetapi kritikan itu tidaklah menafikan kesarjanaan Fazlur Rahman yang sangat besar pada abad ke-20 dalam menumbuh dan mengembangkan wacana Qur’āni kontemporari dengan lebih matang, serta memberi idea kepada sarjana-sarjana Muslim kontemporari selepasnya untuk menyuburkan wacana-wacana Islam secara lebih kritis.

Darihal itu, sumbangan Fazlur Rahman dalam dunia kesarjanaan Islam adalah sangat besar sehingga mempengaruhi ramai tokoh pemikir Islam abad ke-21 seperti Abdolkarim Soroush, Abdullah Saeed, Farid Esack, Ebrahim Moosa, Abdullahi Ahmed An-Na’im dan ramai lagi. Pengaruh itu dapat terlihat dalam kerja-kerja keilmuan para tokoh tersebut yang mula melihat akan kepentingan untuk mendekati disiplin keIslaman secara kritis dan bersifat kontemporari namun dalam masa yang sama masih mengekalkan turāth Islam dalam pewacanaan. Dengan pendekatan Gerakan Berganda yang diusulkannya, maka ia memberi idea kepada para pemikir kontemporari untuk tidak sekadar menjengah semula konteks kesejarahan bangsa Arab bagi menganalisis intipati kewahyuan dengan lebih tajam dan tepat, bahkan turut menggali moraliti dan norma sosial yang Fazlur Rahman percaya adalah bersifat universal tetapi memiliki nilai dan kepercayaan yang berbeza mengikut konteks masyarakatnya.

Contohnya, Fazlur Rahman membicarakan secara terperinci perihal hak kesaksamaan antara lelaki dan wanita serta kesetaraan manusia yang seringkali tidak seimbang dalam perbincangan para ulama silam yang membataskan kefahaman mereka sekadar pada zahir ayat al-Qur’ān. Tetapi di sisi Fazlur Rahman, kesaksamaan hak lelaki dan wanita dan kesetaraan manusia sebetulnya sudah dijamin dalam al-Qur’ān yang difahami melalui perbandingan di antara konteks sosio-sejarah masyarakat Arab sewaktu zaman pewahyuan, sebab-musabab hukum, dan semangat sebenar yang diisyaratkan dalam al-Qur’ān sebagai sebuah perintah moral daripada Tuhan.

Major Themes of the Qur’an merupakan adikarya Fazlur Rahman yang telah menampilkan bahawa ajaran Islam itu adalah kekal relevan sepanjang zaman serta mampu menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporari dengan baik. Buku ini memperjelaskan bagaimana hubungan di antara Tuhan, manusia, alam semesta dan alam ghaib, berinteraksi antara satu sama lain sebagai suatu bentuk hubungan bersepadu dan mewujudkan tauhid keimanan yang mewujudkan kesan kepada faham hidup yang berasaskan prinsip keadilan, kesaksamaan, dan kebebasan. Buku ini wajar dibaca oleh semua orang sebagai asas untuk memahami perkara-perkara fundamental dalam ajaran Islam dan tidak menyempitkan kefahaman Islam hanya berlandaskan kepada kitab-kitab klasik semata-mata dalam keadaan realiti dunia sudah banyak berubah daripada zaman dahulu. Buku ini, seperti kata Ebrahim Moosa, adalah mengenai “penghormatan terhadap masa lalu atau sejarah” dan “menolak tanggapan-tanggapan mengenai masa lalu yang tidak bersepadu dengan kisah mengenai kemajuan.” Dan buku ini, adalah upaya penting Fazlur Rahman dalam memapar dan mempertegaskan bahawa al-Qur’ān adalah kitab agung yang membawa pesan Tuhan kepada manusia untuk hidup makmur di atas muka bumi ini dengan berteraskan pada keadilan dan etika sosial yang baik.


Ahmad Muziru Idham Adnan adalah Felo di Islamic Renaissance Front dan sarjana Hubungan Antarabangsa daripada Universiti Kebangsaan Malaysia. Buku Tema-tema Agung al-Qur’ān ini akan diterbitkan oleh Islamic Renaissance Front pada bulan Mei 2023 ini.

Bagaimana Membaca Turāth di Masa Kini? Memahami Tafsiran Terdalam Samudera al-Qur’ān

$
0
0

Mohd Syazreen Abdulllah || 3 Mac 2023 

Turāth (tradisi) harus mentakrif zaman. Tentang zaman yang dilalui oleh seseorang. Bukan sekadar pembaca, ia mesti menjadi seorang yang berfikir dan menterjemahkan tafsirannya ke dalam zaman tersebut.  Turāth bukan lagi tentang peristiwa masa dahulu, tetapi tentang saat kini dan masa hadapan. Setiap peristiwa yang terjadi harus mempunyai nilaian pentakrifan baru. Ia dimaknai tradisi yang kekal selagi mana sifatnya itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal.

Persoalannya, bagaimana turāth itu membawa nilai-nilai keIslaman yang universal (al-huquq ath-thabit’iyyah, al-hurriyah wal-musawah, adl, ihsan) dalam kehidupan sekali gus fikiran seseorang dalam zaman yang dilalui?

Dalam konteks ini, fikiran Islam universal tidak membentuk dengan hanya sekadar usaha hafalan matan-matan keIslaman untuk memahami kefahaman agama khususnya melalui disiplin keilmuan tradisi seperti matan-matan kitab fiqah, nahw, balaghah, tafsir, hadis, dan teologi – Kitab kuning. Tidak cukup sekadar alat atau tools disiplin keilmuan Islam tanpa seseorang itu gagal dalam memahami sifat yang mengalir di dalamnya itu adalah simbol-simbol Ilahi ketika upaya memahami hakikat samudera ketuhanan. Justeru, turāth mementingkan upaya nalar dalam memahami hikmah tafsiran Tuhan dengan melalui penggalian kerja-kerja memahami tafsiran terdalam dari kalimat Tauhid – Penyucian jiwa dan suluk dalam kerangka syari’at.

Dalam hal ini, sifatnya membentuk terjadinya kerja-kerja rasionalitas melalui takwilan dengan jalan kebijaksanaan tertinggi dan penyucian jiwa – Qalb.

Selama ini, turāth mungkin dianggap suatu disiplin keilmuan warisan Islam mapan. Atas tanggapan itu, kita mudah terpesona dengan warisan sedia ada tanpa kita memahami sifat dan upaya menggali kerja-kerja tafsiran teks suci bagi tujuan mencapai nilai universal. Walhal, jarak antara zaman kini dan zaman Nabi begitu lama sehingga perkembangan turāth dicorak menjadi suatu bidang disiplin keilmuan warisan Islam yang bukan lagi atas semangat rasio dan “wisdom” untuk mencapai kebenaran hikmah Ilahi. Malangnya berlaku atas semangat kekuasaan dan kepentingan ideologi tertentu. Nilaian kita bukan lagi hikmah dan kebijaksanaan terhadap konteks wahyu sebaliknya terpesona dengan tafsiran yang disusun oleh para pengkaji dan ilmuwan berdasarkan peristiwa keIslaman atas dasar keimanan dan keyakinan tertentu.

Persoalannya lagi, apakah perkembangan turāth yang terjadi itu telah memberi dampak keIslaman universal khususnya amalan-amalan nilai kemanusiaan seperti hak-hak asasi, keadilan, ihsan dan kebebasan dalam sikap beragama hari ini?

Jika sifat tradisi turāth tersebut tidak mengundang kepada sifat universal tetapi sebaliknya, maka kita harus meragui dan melakukan semak-ulang. Tidak pula kita meragui peninggalan tradisi turāth dahulu yang kekal tafsiran nilai universal. Mereka orang-orang dahulu iaitu telah pun selesai menyempurnakan tafsiran di zaman mereka. Itu zaman mereka. Keadaan dan permasalahan pasti banyak berubah. Kita juga tidak perlu mudah teruja pada semua tafsiran-tafsiran lampau sebaliknya berusaha dan beriltizam mencari sebuah pendekatan dan gaya baharu selari dengan tujuan universal pada hari ini. Jelas lagi bahawa membaca hikmah keislaman hari ini bukan lagi semata-mata bergantung kepada penilaian yang bertentangan dengan kehendak tujuan universal walaupun tafsiran itu ditafsirkan oleh ulama’ agung sekali pun.

Demikian, kebergantungan kita pada sifat turāth bukan lagi hanya semata-mata nilaian disiplin ilmu bagi tafsiran ulama’ terdahulu, tetapi bagaimana kita mempersiapkan diri kita dalam jalan hikmah dan kebijaksanaan untuk memahami keluasan samudra Ilahi terhadap konteks masa kini.

Melalui cabaran global dan kemodenan hari ini, tentu sekali banyak yang harus dikaji, difikirkan dan disesuaikan dengan kehendak zaman. Kita tidak mahu dua kaki melangkah kehadapan sedangkan kepala mengundur kebelakang. Yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai keIslaman universal dengan menumpukan hal-hal khusus yang baharu. Dan ia kekal relevan selama-lamanya.

Kita harus melepaskan diri daripada akar kata waratsa. Dalam al-Qur’an, istilah tersebut merujuk kepada harta warisan orang yang telah mati. Malah al-Qur’an menggantikan istilah tersebut dengan kata sunan iaitu merujuk kepada sunnah. Dalam al-Quran, makna sunnah banyak ditujukan kepada sunah Tuhan iaitu tentang hakikat kewujudan-Nya meliputi ketundukan segala hukum alam dan makhluk yang ditetapkan oleh-Nya. Ia sama sekali berbeza dengan sunnah atau warisan manusia yang ditinggalkan atau istiadat orang-orang lampau. Kerana itu, al-Qur’an memprotes sikap taqlid. Sikap ikut-ikutan daripada perbuatan makhluk. Taksub terhadap kefahaman orang-orang lampau. Al-Qur’an menyeru untuk berfikir dan merenungi zaman yang dilalui pembacanya – mencerap samudera Tuhan ke dalam konteks masa kini dan terus menerus melakukan kerja-kerja memahami tafsiran terdalam sama ada lahirian atau batiniah Qur’an.

Berikutan itu, selain turāth yang difahami sebagai alat perlaksanaan warisan mengenal hakīkatul Haq, di masa sama bahawa al-Qur’an itu adalah sebenar-benar atau hakikat turāth. Malangnya upaya kefahaman dalam memahami al-Qur’ān menjadi tidak sempurna andai kita masih gagal memaknai kerja-kerja memahami tafsiran terdalam – Takwil memahami hikmah Ilahi.

Memahami turāth hakikatnya memahami sunnah Tuhan dengan melalui pendekatan takwil. Bukan hanya tafsir atau hafalan semata-mata. Bukan bergantung kekuatan rasio semata. Malah, takwil ini berhubung hubungan kekuatan rasionalitas dengan rohani dalam mendaki puncak hikmah mengenal iIahi. Takwil tidak menolak akal, tetapi sumber cahaya kepada akal menuju puncak tertinggi. Umpamanya, samudera itu adalah bulatan syiling. Manakala hadapan syiling itu adalah ilmu-ilmu atau alat, tools (rasio) dan belakang itu himmah iaitu jiwa dan hati (Qalb) yang murni (cahaya) Maka. Disiplin sifat turāth ini tidak lengkap sekiranya ia tidak berhubung dengan jiwa yang universal – two sides of the same coin.

Oleh kerana itu, memahami al-Qur’ān yang sedalam-dalamnya disebut memahami sifat turāth. Kerana digambarkan sunnah Tuhan adalah segala hukum alam dan makhluk yang ditetapkan oleh-Nya. Ia sebagai air yang mengalir subur ke dalam pohon-pohon universal, iaitu memancarkan cahaya kepada hati orang-orang yang bertakwa dan diberi petunjuk kefahaman universal. Ia sumber pemahaman yang murni ke atas setiap makna-makna yang tersembunyi dalam alam semesta ini. Sifat dan asma’ Tuhan diterjemahkan ke dalam lautan keilmuan yang Maha Luas dan Rahmah. Ia bukan bersifat sementara. Ia proses bekerja yang berterusan. Yang membentuk tafsiran nilai-nilai Islam universal itu bukanlah sekadar daripada kerja-kerja melalui perantara ilmu alat sahaja, sebaliknya turāth adalah sebuah sifat yang membentuk suatu disiplin keilmuan yang menghubungkan fikiran dan jiwa – Qalb. Ia bukan seketul daging. Ia jiwa yang sentral dalam membentuk fikiran ketika memahami alam, dan semesta – Haqiqatul Hal.

Maka itu, proses rasionalitas dan kerohanian saling berhubung dalam membantu memanifestasikan Wujud Tuhan atau Rahmat Tuhan di alam semesta. Justeru, arahan Tuhan boleh dicapai dengan bantuan sunnah (bukan konteks sunnah terdahulu) iaitu sunnah jawapan para nabi dan ijtihad melalui kemurnian hati cahaya universal yang mencerahkan setiap alam yang didudukinya seperti pesan Nabi “antum a’lamu bi-umūri dunyā-kum” iaitu kamu lebih faham tentang urusan dunia kamu. Syari’at atau jalan hidup – Addin.

Begitulah, turāth menjadi suatu sifat yang diterjemahan sebagai takwilan universal bersumberkan cahaya keimanan dan kecerdasan umat dalam membaca zaman. Ia disebut dengan cahaya mata hati atau ‘ain basyirah dalam memahami pesan-pesan wahyu. Jadi, turāth bukan sahaja tentang disiplin ilmu yang difahami daripada warisan peninggalan para ulama’ terdahulu, tetapi ia soal sebuah sifat melalui pemikiran metafizik yang berhubung dengan kerohanian, jiwa, dan hati yang murni. Ia bukan sebuah perantara suatu zaman kepada zaman lain tetapi ia adalah sifat intipati yang mewujudkan keluasan sifat Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang.

Kehilangan cahaya, turāth hilang rūh universal

Berikutan salah faham memahami sifat sesebuah makna turāth, kita masih membayangkan perlaksanaan kerja turāth sebagai kerja disiplin ilmu yang sakral. Kita masih keliru antara sifat yang sakral atau perlaksanaan. Kadangkala perlaksanaan dianggap ketetapan agama. Walhal, sepatutnya sifatnya yang sakral. Kekeliruan ini tidak mustahil dalam kefahaman turāth sehingga boleh menjelma dan terbitnya pemikiran binari, ekstrimis, dan sektarian agama. Pemikiran yang menganggap bahawa sifat itu adalah perlaksanaannya yang sakral dan hanya disusun oleh para ulama’ aliran tertentu sahaja. Sepatutnya kita menumpukan kerja-kerja perlaksanaan turāth yang kembali kepada hal-hal sakral sebagai sifat hakikinya – Kembali kepada ketauhidan yang universal dan menumpukan hal-hal khusus bagi tujuan universal.

Realitinya, kita beriman kepada turāth warisan peninggalan orang-orang lampau, mazhab dan aliran tertentu. Bukan universal. Justeru, tidak mustahil, turāth menjadi senjata dalam memuaskan kepentingan nafsu sehingga kita rela menggunakannya atas nama demi membela kezaliman dan kekuasaan. Tanpa kita sedar, manusia telah menjadi hamba kepada corak turāth yang tidak selari dengan sifat universal.

Maksudnya, turāth yang asalnya adalah objek kepada subjek pemikiran atau jiwa-jiwa universal, telah dicorak, ditadwin dalam ranah wilayah fikiran manusia sehingga ia menjadi subjek yang mematikan nilai-nilai bersifat universal. Ia dibentuk ke dalam disiplin ilmu warisan Islam bercorak keras, rigid, dan kaku. Apatah lagi di zaman politik ini turāth telah menjadi senjata kekuasan kerakusan politik. Pengesahan ini membentuk satu formula sakral, utuh, sekali gus menempatkannya sebagai subjek yang mencorakkan budaya, pemikiran, dan masyarakat

Lihat, banyak hari ini lahirnya agamawan yang mahir berbahasa Arab dan keilmuan islam. Kalangan mereka mahir menggunakan fikah yang tinggi. Hafalan hadith mereka banyak. Namun, sebahagian mereka berfikiran cenderung kepada Islam yang mundur, Islam yang tidak meraikan the others, Islam patriarki, Islam penjilat kekuasaan dan berbagai lagi.

Konteks masa kini, Islam dicorakkan dengan pengamalan yang jauh dari meraikan nilai-nilai universal. Kerana takbur atas kemahiran mereka itu, mereka boleh alihkan sifat turāth kepada kecenderungan fikiran mereka. Kerana itu kita akan dipertemukan berbagai persoalan yang kontradiksi dalam memahami agama yang universal.

Jadi di mana kedudukan turāth hari ini?

Saya tidak mengatakan kita harus menghilangkan upaya turath. Kerana seperti disebutkan di awal tadi bahawa turāth berperanan membentuk sebuah alur pemikiran manusiawi melalui zaman yang ditempuh. Bukan sahaja kepentingan penguasaan turāth dalam konteks alat keilmuan memahami Islam di samping mempunyai upaya sifat turāth itu sendiri dalam proses pemurnian jiwa rohani yang universal – Takwil. Ia adalah two sides of the same coin.

Semua orang boleh menguasai kaedah turāth dengan kemahiran Arab dan penguasaan hadith. Tetapi kebimbangan adalah dalam soal takwilan dan kecerdasan kita membaca zaman bagi tujuan nilai universal. Jadi soalnya, bukan disiplin penguasaan ilmu turāth, tetapi ia persoalan sifat turāth itu yang mempengaruhi pemikiran, kerohanian, jiwa, dan hati yang murni berdasarkan upaya kerja-kerja takwilan memahami teks suci.

Ramai orang terpukau dengan turāth. Tapi gagal memahami sifat universalnya. Kata mereka untuk melawan keganasan adalah dengan kembali kepada turāth. Mereka juga mengatakan turāth sebagai jalan solusi kepada permasalahan keagamaan yang terjadi di masa kini. Senang kata, kembali kepada turāth. Mereka ini tidak ubah seperti golongan harfiah atau literal yang gemar melaungkan kembali kepada al-Qur’ān dan Sunnah.

Justeru, turāth ialah pemahaman samudera Tuhan nan luas. Ia bukan soal tafsir kritis semata-mata. Ia soal takwilan di dasar hati yang dalam. Al-Qur’ān harus difahami dengan sifatnya yang qadim (seperti kepercayaan ramai orang) dan hadith. Qadim sifatnya yang azali kekal sementara hadith bahawa sikap pembaharuan yang dicapai dan dicerap saat terkini melalui jiwa universal – Turāth. Ia memerlukan hubungan given atau pemberian direct dengan Tuhan. Al-Qur’ān harus difahami dengan kaedah zahir dan batin.

Hal ini dapat dilihat daripada klasifikasi ilmu yang dipetakan oleh Ibn Arabi. Ia membahagi ilmu menjadi dua iaitu ilmu “pemberian” (mawhubah) dan ilmu “perolehan” (muktasabah). Bagi pemberian Tuhan yang disebut sebagai orang yang berakar kukuh dalam ilmu (al-rasikhuna fi al-ilm) firman Allah dalam al-Qur’ān surat Āli Imran ayat 7 yang bermaksud “Tidak ada yang mengetahui ta’wil-nya kecuali Allah dan orang-orang yang berakar kukuh dalam ilmu”- Ilmu Irfani.

Ilmu jenis kedua adalah ilmu perolehan disebutkan firman Allah min tahti arjulihim (apa yang dari bawah kaki mereka). Menurut Ibn Arabi bahawa ia didapati melalui kerja keras dan ijtihād. Demikian tafsir menggunakan metode ilmu capaian (muktasab). Sementara takwil adalah ilmu “given” langsung dari Tuhan yang diperolehi pada hati-hati universal melalui pendakian puncak kerohanian dan kebijaksanaan tertinggi.

Demikian, memahami turāth adalah memahami al-Qur’ān yang dicapai dalam hati-hati universal melalui pengkaedahan disiplin ilmu (rasio) dan doktrin universal (cahaya).


Mohd Syazreen Abdullah adalah Felo Penyelidik, Abduh Study Group, Islamic Renaissance Front. Beliau adalah pengasas TRADISI, sebuah Pusat Kajian Irfan yang memberi fokus pengkajian Falsafah Islam dan Irfan. Beliau mendapat pendidikan Tahfiz al-Qur’an di Dārul Qur’ān, JAKIM kemudian melengkapkan Ijazah Sarjana Muda dalam bidang Usuluddin di Universiti Yarmouk Jordan dan Pengajian Sarjana di Universiti Malaya.


Kata Pengantar Edisi Terjemahan Bahasa Melayu “Islam, Autoritarianisme, dan Kemunduran: Suatu Perbandingan Global dan Pensejarahan.”

$
0
0

Ahmet T. Kuru || 29 Mac 2023

Para pembaca di Malaysia menunjukkan minat yang tinggi terhadap buku asal berbahasa Inggeris ini semenjak tiga tahun yang lalu. Perkara tersebut telah saya cerap di media sosial dan dalam dua webinar utama yang dianjurkan di Malaysia mengenai buku ini. Sebuah laporan pendek saya dengan penghujahan yang sama juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan tajuk “Perikatan Ulama-Negara: Punca Autoritarianisme Dan Kemunduran Dunia Muslim” (Lestari Hikmah, 2022). Mengapa pembaca Melayu menanggapi buku saya dan penghujahan-penghujahannya secara serius? Saya ada dua jawapan ringkas bagi perihal itu.

Pertama, buku saya menganalisis tentang bagaimana perselingkuhan ulama-negara menghalang demokrasi dan pembangunan negara hari ini, di mana ia merupakan masalah utama di kebanyakan negara kontemporari yang majoritinya bermasyarakat Muslim, termasuklah Malaysia. Kedua, bagi para pembaca yang berminat dengan sejarah, buku ini menjelaskan bagaimana umat Islam mengalami zaman keemasan dalam bidang sains dan ekonomi di antara kurun ke-8 dan ke-11. Sepanjang tempoh ini, dunia umat Islam memiliki pelbagai kelas intelektual dan borjuis yang lebih unggul ketimbang di Eropah Barat. Bagi pembaca di Malaysia dan di tempat-tempat lain, analisis-analisis yang terdapat dalam buku ini mengenai krisis-krisis moden masyarakat Muslim dan zaman keemasan sejarahnya membentuk sebuah perbandingan yang menarik. Saya berharap dengan adanya terjemahan ini, maka buku ini akan menemukan dengan lebih ramai pembaca di Malaysia.

Di dunia Muslim, Malaysia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi pembangunan dan demokrasi yang terbesar. Dengan letaknya di Asia Tenggara yang ekonominya sedang berkembang, Malaysia dan Indonesia boleh menjadi model kepada dunia Muslim lainnya bagi mencapai pembangunan sosioekonomi. Buku ini telah diterjemahkan kepada beberapa buah bahasa, termasuklah bahasa Arab, Parsi, Bosnia, Bengali, Kyrgyz, Perancis, dan Belanda. Namun begitu, terjemahannya dalam bahasa Indonesia telah memberikan dampak terbesar dengan pelbagai ulasan berserta lima buah edisi cetakannya. Saya berharap agar terjemahan bahasa Melayu ini akan turut mendorong kepada perbincangan produktif yang sama dalam dunia akademia dan media.

Saya berterima kasih kepada Hasyir Mursyidi Husam yang telah menterjemahkan buku tersebut dan Dr. Ahmad Farouk Musa serta Islamic Renaissance Front di atas penerbitan buku terjemahan dalam bahasa Melayu ini.


Ahmet T. Kuru (Phd, University of Washington) merupakan pengarah di Center for Islamic and Arabic Studies dan mantan Profesor Porteous Bruce E. bagi Sains Politik di San Diego State University. Beliau merupakan sarjana pascadoktoral di Universiti Columbia. Kuru merupakan penulis bagi buku Secularism and State Policies toward Religion: The United States, France dan Turkey (Cambridge University Press, 2009) yang menerima Anugerah Buku Society for the Scientific Study of Religion (SSSR). Beliau juga merupakan penulis bersama (dengan Alfred Stepan) bagi buku Democracy, Islam, and Secularism in Turkey (Columbia University Press, 2012). Artikel-artikel Kuru disiarkan di pelbagai jurnal termasuklah World PoliticsComparative Politics, dan Political Science Quarterly. Buku terkininya, Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison (Cambridge University Press, 2019) turut memenangi Anugerah Bahagian Sejarah dan Politik Antarabangsa daripada American Political Science Association, menerima penghargaan khas daripada Anugerah SSSR, dan telah disenaraikan sebagai Buku Terbaik Tahunan dalam Times Literary Supplement. Karya-karya Kuru telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Bosnia, China, Perancis, Indonesia, Melayu, Parsi dan Turki.

Viewing all 176 articles
Browse latest View live